Zomia, Seni Tata Kelola Wilayah Tanpa Negara

Saya pertama mengetahui kata “Zomia” dari band asal Singapura, The Observatory pada single serta album “Oscilla”. Tentunya pesan dari lirik band ini sangat asing dalam kuping dan pikiran saya waktu pertama kali mendengarnya, selain menikmati musik berdurasi 14 menit ini tanpa mengulik lebih jauh pesan yang hendak mereka sampaikan. Namun, yang menarik ketika saya menelusuri kata “Zomia”, yang muncul karya James Scott dan sebuah peradaban masyarakat yang hidup secara berkelanjutan di wilayah perbukitan.

James C. Scott sangat tertarik pada masyarakat yang memilih hidup di atas perbukitan. James Scott adalah Antropolog, Ilmuwan Politik, dan Studi Agraria Universitas Yale. Ia menulis buku The Art of Not Being Governed: An Anarchist History of Upland Southeast Asia yang meneliti 100 Juta orang hidup di dataran tinggi dalam rentang waktu 2.000 tahun di Asia Tenggara, Cina, dan India yang hidup di atas ketinggian 200 hingga 250 meter di Vietnam, Laos, Kamboja–Mereka sering disebut sebagai “orang-orang primitif” karena tidak disentuh negara.

Konsep Zomia yang digunakan oleh James Scott merujuk pada wilayah geografis yang secara historis berada di luar kendali pemerintah yang berbasis di pusat populasi dataran rendah. Wilayah ini meliputi sebagian besar Asia Tenggara, dari pegunungan Himalaya hingga Semenanjung Malaya.

Wilayah Zomia didefinisikan oleh Willem van Schendel, seorang sejarawan dari Universitas Amsterdam, pada artikel jurnal geografi  Environment and Planning D: Society and Space  yang dipublikasikan pada tahun 2002. Istilah Zomia berasal dari bahasa Tibet-Burma, yang digunakan oleh penduduk di sekitar perbatasan India, Bangladesh, dan Burma untuk menyebut orang-orang yang tinggal di dataran tinggi.

 Zomia asli Van Schendel (2002) dan perluasannya ke utara dan barat (2007). Sumber: Peta berdasarkan sebagian dari van Schendel, 'Geographies', halaman 653.
 Zomia asli Van Schendel (2002) dan perluasannya ke utara dan barat (2007). Sumber: Peta berdasarkan sebagian dari van Schendel, ‘Geographies’, halaman 653.

Dalam Youtube Universitas Yale, Scott menerangkan temuannya, bahwa orang-orang di bukit berpindah karena epidemi, pajak, kelaparan, dan perang, tapi keputusan sadar mereka adalah untuk tetap di luar sistem negara. Menurutnya, sebagian besar negara di Asia Tenggara adalah negara perbudakkan. Namun, karena posisi mereka di perbukitan, hampir tidak mungkin mereka diperbudak. Oleh karena itu, orang-orang Zomia telah hidup di luar struktur negara (stateless).

Zomia di Nusantara, Suku Dayak Kalimantan

Buku  Scott mempengaruhi peneliti muda, Bima Satria Putra. Penelitian terbaru adalah yang dilakukan Bima pada apa yang ia namai sebagai Projek Suku Api, sebuah proyek penelitian masyarakat tanpa negara di Nusantara. Penelitian perdana meneliti Suku Dayak Kalimantan menggunakan sudut pandang Scott. Penelitian ini menghasilkan buku Dayak Mardaheka: Sejarah Masyarakat Tanpa Negara di Pedalaman Kalimantan, ia  yang  menemukan bagaimana identitas etnis Dayak sepanjang sejarah telah ditandai dengan ketidakpatuhan terhadap otoritas.

Bima dalam temuan penelitiannya menyimpulkan, Suku Dayak di Kalimantan adalah masyarakat yang relatif egalitarian dan mampu mempertahankan otonomi dari berbagai negara; mampu menjaga masyarakat meski tanpa hukum, polisi dan penjara; bekerjasama tanpa uang dan pasar; membunuh kepala suku dan raja tiranik; kabur dan bermigrasi ke wilayah tak berpenghuni; menjadi bajak laut, pemburu kepala dan pemberontak yang menolak pajak, upeti dan perbudakan.

Menurut Scott, kehancuran masyarakat perbukitan ini sejalan dengan perkembangan teknologi dan alutsista, warga perbukitan ini dihancurkan oleh helikopter, tank, telegraf,  dan komunikasi elektronik pada rentang waktu 1945.

 Orang-orang yang pernah menjalani kehidupan yang berkelanjutan baik dari sistem pertanian, pemerintahan, pelestarian alam, ilmu pengetahuan, kesenian, dan sastra pernah menjadi mayoritas sebelum ada negara, tapi  setelah ada negara mereka kini jadi minoritas untuk “diberadabkan”.

Dua penelitian di atas merupakan alternatif melihat masyarakat yang memilih hidup di atas perbukitan dan memilih tetap di luar sistem negara untuk menghindari perbudakaan, pajak, peperangan, penyakit menular, dan kelaparan. Membuka perspektif kita tentang model tata kelola wilayah di luar perspektif yang dikonstruksi oleh negara dan menstigmanya sebagai orang tidak beradab. Mengakhiri tulisan ini, saya  meminjam  lirik lagu The Observatory, “Oscilla”:

Inner barbarians
(Orang barbar pedalaman)

Keepers of the forest
(Penjaga hutan)

We are acephalous
(Mereka  orang yang berotak encer)

Egalitarian peoples
(Masyarakat yang egaliter)