Di satu panggung, remaja dilarang hadir demi regulasi sponsor rokok. Di panggung lain, mereka berdatangan seperti arus tak terbendung—membayar tiket, melompat, dan membentuk pusaran bising yang mereka ciptakan sendiri.
Beberapa waktu lalu, MEROCKET hadir dengan gemerlap. Tata panggung presisi, lineup impresif, dan semangat lintas komunitas yang, jujur saja, patut diapresiasi. Tapi di balik semarak dan dentuman dari speaker raksasa, ada satu suara yang tidak terdengar—bukan karena terlalu kecil, tapi karena disenyapkan: suara para remaja.
Dengan dalih regulasi sponsor yang berasal dari produk rokok, penonton di bawah usia 21 tahun dilarang masuk. Konser menjadi zona eksklusif bagi yang telah “cukup umur”. Mungkin benar dari sisi hukum, tapi pertanyaannya tetap menggantung:
Sejak kapan musik keras harus tunduk pada batas usia?
Secara historis, musik keras justru lahir dari ruang pemberontakan kaum muda. Punk, metal, hardcore—semuanya muncul dari rahim kegelisahan remaja.
- Punk meledak di tangan anak-anak kelas pekerja Inggris.
- Metal tumbuh di kawasan industri Birmingham.
- Hardcore diracik oleh anak-anak muda yang bosan dengan kemapanan di Amerika.
Musik keras bukan dibuat untuk kenyamanan. Ia lahir dari keresahan, diledakkan oleh mereka yang baru belajar bersuara.
Jadi, sejak kapan musik keras harus tunduk pada batas usia?
Sejak kapital mulai ikut campur.
Saat panggung mulai dikemas demi sponsor, izin, dan branding—muncul standar “kesopanan” baru yang harus dipatuhi. Distorsi mulai dipoles, noise dijinakkan, dan panggung disterilkan.
Usia pun dijadikan pagar.
Padahal, musik bukan iklan.
Dan mereka yang datang ke konser tidak serta-merta harus jadi target pasar.
Tapi ironi terbesarnya: remaja tetap mencari jalan.
Dan semalam, jalan itu bernama Sound of Killer.
Bertempat di timur jauh Lombok Timur, tepatnya di aula Kantor Camat Wanasaba, Sound of Killer adalah gelaran dari Wanasaba Corpse Grinder yang memanggil para metalhead dari berbagai penjuru. Line-up malam itu adalah parade kekacauan yang indah: Lock Block, Gallery of Death, Cranial Disorder, Nomad, Error Mind, Repentless, Better Than Us, Face Blood, Kill A Phaleria, hingga Kronis.
Sound of Killer tidak mewah. Tapi ia hidup. Tidak disponsori brand besar, tapi dihuni oleh semangat yang lebih besar: semangat untuk menyalurkan bising.
Dan penontonnya? Anak-anak muda. Tapi bukan berarti mereka datang dengan kekonyolan, melainkan dengan hasrat: hasrat untuk memberontak dari rutinitas, dari kekangan rumah dan tekanan sekolah.
Remaja yang datang bergerombol, sebagian bahkan belum cukup umur untuk motoran jauh, tapi tetap hadir. Mereka bukan penonton pasif—melainkan pelaku.
Mereka datang bukan hanya untuk menonton, tapi untuk melebur. Untuk menghantam satu sama lain dengan tubuh, bukan kebencian—melainkan semacam ritual fisik untuk membebaskan diri.
Moshing mereka mungkin belum sempurna. Tapi semangat mereka—mengumpulkan keberanian, menyisihkan uang jajan demi tiket 30 ribuan, lalu melompat ke tengah kerumunan—adalah bukti bahwa skena keras di Timur Lombok masih hidup, bahkan bertunas kembali.
Di antara crowd, ada yang berdiri mematung, ada yang mengangguk pelan, dan tentu saja: ada yang melompat masuk ke pusaran mosh pit tanpa banyak pikir. Mereka tidak hanya ingin menonton, tapi menjadi bagian dari ledakan itu sendiri.
Di Wanasaba malam itu, regenerasi bukan teori. Ia hadir dalam tubuh-tubuh muda yang bersedia basah oleh keringat dan debu, hanya untuk merasakan apa itu bebas. Bebas yang tidak bisa mereka temukan di rumah atau sekolah, tapi bisa mereka ciptakan sendiri—di tengah deru amplifier dan gebukan drum.
Mereka tidak datang untuk gaya-gayaan—mereka datang karena butuh. Karena tubuh mereka menuntut ruang untuk meledak.
Kita terlalu sering menaruh “kematangan” sebagai syarat menikmati seni.
Padahal, siapa pun yang pernah menjadi remaja tahu—justru di umur segitu, kita paling membutuhkan bising.
Bukan bising sembarangan, tapi bising yang memberi ruang: untuk marah, untuk bingung, untuk menyalurkan hasrat yang tak bisa dijelaskan.
Melarang remaja dari konser musik keras bukan hanya menyensor tubuh. Tapi juga menyensor hak mereka untuk mencari bentuk suara mereka sendiri.
Dan ketika dunia dewasa sibuk membuat pagar, anak-anak ini menciptakan jalannya sendiri: panggung kecil, amplifikasi seadanya, tapi penuh dengan kehidupan.
Di panggung Sound of Killer, aku melihat regenerasi yang selama ini diragukan.
Mereka hadir seperti jamur di musim penghujan: liar, cepat, dan mustahil dihentikan.
Bising itu tidak bisa disensor.
Yang bisa kita lakukan hanyalah mendengarkannya lebih dalam—atau terus menutup telinga dan bertanya-tanya:
“Kenapa generasi muda hari ini terlihat makin jauh?”