Menggila Bersama Jazz & Relax: Sebuah Laporan Gonzo

Begitu tiba di Natura Cafe & Resto, saya langsung terpukau dengan tempat berlangsungnya Jazz & Relax itu, yang bangunannya seperti mengusung arsitektur tropis. Sungguh menawan! Terlebih bagian depan Natura, yang bentuknya segi lima raksasa, dan ditutup oleh kaca transparan. Dengan konsep arsitektur tersebut, membuat bagian dalam cafe terlihat jelas, terlebih di malam hari.

Memasuki pintu yang transparan itu, saya seolah sedang memasuki rumah kaca yang dipenuhi pohon, juga tanaman. Bedanya kala itu di Natura, selain mata jadi adem dengan tanaman hijau nan menyegarkan, telinga juga turut rileks saat mendengarkan musik bergenre jazz, yang kata seorang psikolog: bisa kurangi stres. Sungguh! Itu jadi pengalaman musik yang menyenangkan. Seperti sub judul acara Jazz & Relax ini: Feel the beat of jazz in your heart. Begitu kiranya pembukaan ini.

Chandra Irawan ketika tampil di Jazz & Relax di Natura Cafe & Resto pada Rabu (9/8) malam. Bayu/Selaswara
Chandra Irawan ketika tampil di Jazz & Relax di Natura Cafe & Resto pada Rabu (9/8) malam. Bayu/Selaswara

Para line-up di Jazz & Relax

Acara Jazz & Relax ini diorganisir oleh KOMA.Co. Digelar pada Rabu (10/8) lalu di Natura Cafe & Resto. Mulai sejak pukul 17.00 hingga 22.00 Wita. Ada dua sesi di acara tersebut, sesi sore dan sesi utama pada malam harinya. Titik Temu menjadi satu-satunya line-up di sesi sore. Mereka membawakan lagu-lagu ciptaannya. Kemudian jeda sejenak tatkala surup nampak di ufuk barat.

Chandra Irawan membuka sesi utama dengan dua lagu instrumental dan tiga lagu—yang oleh Chandra disebut old jazz—yang di-cover ulang. Dua lagu instrumental Chandra itu Let’s Play dan lagu barunya, Time and Reflection yang baru saja rilis April lalu. Sedang tiga lagu old jazz dengan penyegaran aransemen tersebut adalah Sunny, L.O.V.E. dan Misty.

Kelima lagu yang dibawakan Chandra Irawan itu bikin debar jantung saya jadi tak beraturan. Karenanya, di Let’s Play, kita seolah diajak mengikuti ritme yang cepat dan tak beraturan, namun tetap bikin rileks. Beda halnya di lagu barunya, Time and Reflection, yang begitu menenangkan jiwa dan jadi bikin merenung itu. Sayang, di sana Chandra tak membawa gitar double neck seperti yang ada di klip video lagunya. Tak apa, tetap keren!

Berlanjut ke line-up selanjutnya, adalah Ary Juliyant, seorang musisi folk yang juga dikenal sebagai Presiden Indie Indonesia. Jika diulik sedikit, julukan itu hadir lantaran Ary yang kerap bergerak secara mandiri dan kreatif dalam bermusik. Bahkan, banyak album yang ia rilis secara independen.

Uniknya, Ary Juliyant menyebut musiknya sebagai “musik gerilya,” yang diungkapkan oleh Ary sebagai musik yang tidak terikat oleh aturan atau pasar industri hiburan. Gokil! Menariknya lagi, Ary pernah melakukan tur ke beberapa negara di Asia dan Eropa.

Mengenai penampilan beliau, tak perlu kiranya diragukan lagi. Sebagai salah satu penonton di sana, saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana Ary Juliyant yang ‘menghipnotis’ banyak penonton di Natura malam itu untuk sing-along di lagu-lagunya. Bahkan, ada satu momen dimana Ary Juliyant menggila! Kala itu, sembari penonton tetap sing-along, ia turun dari panggung dan berjalan-jalan di sekitar penonton untuk membakar kembali semangat dari mereka yang belum ‘terhipnotis’.

Melihat kejadian gila itu, saya selaku penonton—yang juga masih asing dengan aliran musik ini—mata saya jadi berseri-seri. Terlebih oleh kedua line-up sesi malam yang ‘baru’ tampil tersebut: Chandra Irawan dan Ary Juliyant. Seolah, dalam setiap bulir darah ini, jazz telah menjelma sungai-sungai yang mengalir di taman eden. Sungguh hanya hiperbola semata!

Suradipa menutup line-up inti Jazz & Relax malam itu dengan membawakan beberapa lagu bikinannya sendiri, yang juga tak kalah gokilnya. Sebelum Jazz & Relax ditutup dengan lagu terakhir Suradipa, terdapat ‘extra time‘ untuk memperpanjang malam yang, sayang jika lewat begitu saja. Sesi tambahan tersebut adalah jamming session yang menampilkan beberapa penonton untuk semakin memeriahkan acara.

Selaku line-up terakhir, juga penggagas Jazz & Relax, Suradipa mengaku terkejut dengan antusiasme dan banyaknya penonton di malam itu. Momen itu, ia katakan sebagai bahan bakar sekaligus penyemangat untuk dirinya dan juga teman-teman musisi jazz.

Musisi sekaligus salah satu penonton Jazz & Relax malam itu, Sidzia Madvox, memberikan tanggapan soal acara tersebut. Pria yang kerap disapa Sid itu mengapresiasi Jazz & Relax lantaran membuka peluang para musisi untuk mengekspresikan diri.

Gerakan-gerakan kecil musik jazz di Lombok

Meminjam perkataan dari Suradipa, tujuan dari Jazz & Relax ini sebenarnya sederhana, sangat sederhana. Tujuannya hanya untuk memberikan space kepada musisi yang memang fokus bermain Jazz. Lantaran space yang belum banyak itu, khususnya di Lombok, Suradipa akhirnya bikin Jazz & Relax. Dalam benaknya, ia berusaha membangun rumah buat musisi jazz.

Sejak 2015, Suradipa dan teman-temannya sudah melakukan gerakan-gerakan kecil untuk perkembangan musik jazz di Lombok. Namun sayang, lantaran ruang bermusik yang sangat minim waktu itu, membuat gerakan-gerakan kecil itu jeda.

“Kalau bicara soal movement, kita sudah lakukan dari 2015,” kata Suradipa saat bercerita di backstages saat sesi jamming. “Namun sempat lama vakum, bukan karena musisinya, tapi space-nya yang belum nemu,” lanjut Suradipa.

Sebelum di Natura, Jazz & Relax pernah terselenggara di Kemuning Resto pada Juli lalu. Dalam keterangan Suradipa, saat di Kemuning Resto, ia menggunakan momen tersebut untuk ‘pemanasan’ lantaran sudah lama vakum. Bagusnya, momen tersebut disambut dengan baik, tidak hanya oleh musisi, namun juga penikmat musik jazz.

Sorot mata Suradipa tetiba berkaca, saat ia bercerita bagaimana teman-teman di Natura memberikan ruang bagi gerakan-gerakan kecil Suradipa dan para musisi jazz lain. Dan benar saja—saat menyaksikan secara langsung Jazz & Relax—acara ini mendapat sambutan yang bagus, baik dari penonton yang hadir, maupun antusiasme dari penonton. Terbukti dari banyaknya penonton yang tidak mendapatkan tempat duduk lantaran tempat duduk yang sudah penuh, juga dari beberapa penonton yang memeriahkan sesi jamming.

Dalam ceritanya yang lain, Suradipa kilas balik soal ruang-ruang untuk memainkan musik jazz yang tidak ada. Ia mengeluhkan banyaknya tempat-tempat yang didatanginya kala itu menolak jazz, mereka beranggapan bahwa musik jazz itu musik yang tidak ada peminatnya.

Usaha tidak menghianati hasil. Itu barangkali adalah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan perjuangan yang dilakukan Suradipa dan teman-temannya. Bak seorang penjemput bola ulung, dengan gerakan-gerakan kecilnya yang terus bergerilya sejak lama itu, akhirnya kini mulai banyak acara maupun festival jazz yang terselenggara. Misalnya saja Senggigi Sunset Jazz, dan acara bernuansa jazz lainnya. Applause!

Sebelum menutup obrolan, Suradipa berharap agar Jazz & Relax ini menjadi rumah bagi masyarakat di Lombok, terkhusus para musisi Jazz. Suradipa juga menginginkan agar musik jazz menjadi salah satu penopang di lini pariwisata atau turisme. Ia mengambil contoh perkembangan jazz di luar Lombok, yang nyatanya banyak mendatangkan wisatawan.

Sedang Chandra Irawan, berharap supaya musik jazz semakin berkembang dan memiliki peminat yang semakin banyak lagi. Chandra juga mengharapkan supaya musisi-musisi jazz segera bermunculan. Atau setidaknya terlahir, ya! (red).

Jazz bukan milik kaum elitis

Di layar-layar televisi (sekarang berubah YouTube), ada beberapa stereotip yang berseliweran yang mengatakan bahwa musik jazz adalah musiknya kaum elitis, musiknya orang-orang kaya. Mendengar pernyataan itu, Chandra Irawan langsung menepisnya. Chandra mengatakan bahwa sebenarnya musik jazz itu akarnya dari blues dan melahirkan subgenre berupa jazz. Namun seiring berjalannya waktu, orang-orang mulai beranggapan bahwa musik jazz adalah musik yang eksklusif, padahal tidak.

Sependek yang saya tahu, dan baca, Jazz bukanlah musik orang-orang kaya. Jazz adalah musik yang berasal dari komunitas Afrika-Amerika di Amerika Serikat, yang kala itu mengalami diskriminasi dan penindasan. 

Jadinya, musik jazz dijadikan ekspresi juga kebebasan bagi mereka yang tertindas dan mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Selain itu, musik jazz itu tidak membedakan kelas sosial, ras, maupun agama. Seperti yang juga diungkapkan oleh Suradipa, ia bilang bahwa siapapun boleh menikmati musik jazz.

Hal senada turut diungkapkan oleh Sidzia Madvox. Sid mengatakan bahwa musik jazz itu bukan musik yang eksklusif, bukan musik yang hanya bisa diminati dan dinikmati oleh kalangan tertentu saja. Tetapi, jazz adalah musik yang semua orang bisa nikmati. Gokil!

Waktu yang tepat untuk menikmati musik jazz

Saya bertanya kepada Suradipa dan Chandra Irawan, mengenai waktu yang tepat untuk menikmati musik jazz. Dan coba tebak, apa kira-kira jawaban dari mereka.

Jawaban Suradipa: tidak ada waktu yang spesifik untuk menikmati musik jazz. 
Jawaban Chandra Irawan: anytime, kapanpun, tergantung suasana hati.

Dari jawaban dari kedua musisi jazz itu, yang saya tangkap, bahwa musik jazz adalah musik yang dapat didengar kapanpun dan dimanapun. Juga musik yang fleksibel dan adaptif yang bisa memberikan kepuasan dan kebahagiaan bagi siapa saja yang mau mendengarkannya. Dan kamu, coba deh dengerin. Demikianlah!