
Peradaban kerap kali datang dari pengalaman dan pengamatan. Kemudian ia terbentuk sekaligus dirawat dalam ingatan, biasanya ingatan kolektif masyarakat, dan mulai berkembang setelah disalurkan ke generasi mendatang lewat cara perkembangan pengetahuan dan teknologi. Maka lahirlah budaya sampai ilmu pengetahuan. Kita mengetahui Islam, dan sekarang menjadi pondasi prinsip mereka, lewat pengalaman dan pengamatan seorang nabi, orang Islam memanggilnya Nabi Muhammad. Ia mengalami bagaimana zaman jahiliah itu menggerogoti kemanusiaan. Dengan pengamatan yang cemerlang ia pun mencari solusinya. Pengamatan yang cemerlang ini mereka sebut wahyu. Lambat laun dari perjuangannya, kemudian dibantu dan didukung oleh berbagai sahabatnya, peradaban Islam lahir kemudian.
Dengan pernyataan pendek saya di atas, maka saya meyakini Ronni ingin membangun peradaban lewat berbagai banyak masa lalu orang-orang, melalui pengalaman-pengalaman yang mungkin akan spektakuler jika diceritakan ke orang lain. Program The Human Library pun terbentuk. Bersama saudaranya Dany dan dua temannya, Asma Mouna serta Christoffer Erichsen, Ronni mengenalkan konsep ini di Denmark untuk pertama kalinya pada tahun 2000.
Ia sadar akan cara kerja ingatan manusia yang sarat dengan pengalaman dan hasil pengamatan yang sesuai dengan profesi dan pengetahuan mereka. Kesadaran inilah yang mempengaruhi perkembangan konsep ini ke hampir seluruh negara, terutama di Indonesia.
Lalu Abdul Fatah, seorang esais dan penulis sastra, menjangkau informasi konsep dari Ronni ini kemudian. Fatah menggelar konsep ini pertama kali di Taman Wisata Lembah Hijau, Desa Ijo Balit, Desa Korleko, Lombok Timur.
Digelar di bawah suasana alam Lembah Hijau lengkap dengan sejuk anginnya dan suara desiran daun-daun kelapanya, Fatah mendatangkan 20 peserta, yang menjadi audiens, dalam hal ini disebut sebagai pembaca buku hidup (istilah dalam konsep ini) dan 20 tutor, atau narasumber, atau buku hidup yang bertugas memberikan masa lalunya kepada para pembaca. Masa lalu yang dimaksud bukan kehidupannya yang diisi dengan kegiatan sepele, namun proses kehidupannya dalam menjadi seseorang yang diakui dalam lingkungannya, sehingga menularkan energi tertentu, yang bisa diambil beberapa nilai tertentu bagi pembaca. Nah, semacam itulah nanti output yang didapatkan oleh pembaca buku hidup.
Program yang berasal dari Denmark ini dilakukan Fatah bersama timnya selama 2 hari, 2-3 Maret. Satu hari dipakai untuk mengisi otak para peserta terkait ilmu berkomunikasi dengan baik dan cara menulis dengan baik. Apa yang dianalisa oleh pembaca buku hidup setelah mendengar buku hidup terkait isi dari kisah-kisah pengalaman mereka direncanakan akan dihidangkan dalam bentuk buku.
Yap… mereka akan membukukan masa lalu orang-orang. Mereka percaya ada nilai yang begitu banyak, yang bisa diolah menjadi pengetahuan, dalam masa lalu seorang. Siapapun itu.
Masa lalu adalah semesta kehidupan yang sangat luas dan jelas asalkan skala kekuatan daya ingat kita mendukung keluasannya. Berlimpah ruah rahasia di dalamnya. Seorang astronot harus mengetahui masa lalu kehidupan antariksa untuk membaca pergerakan benda-benda di dalamnya dan apa nanti yang akan terjadi pada benda-benda itu ketika sudah pada masa tertentu, antropologi pun dihadirkan dalam disiplin kosmologi.
Alihkan perhatian Anda ke arah itu (masa lalu), begitulah kata Rainer Maria Rilke kepada Kappus saat Rilke mengajarkannya mencari ide dalam membuat puisi. Masa lalu memiliki benda-benda yang sangat bernilai, walau itu mewujud pengalaman kelam.
Pengalaman-pengalaman dari masa lalu itulah, seperti kata Rilke, “harta karun kenangan” berlimpah ruah, “sumber yang luar biasa dan mewah”. Di sini saya melihat Rilke melihat masa lalu lebih berpotensi ketimbang imajinasi. Sebab barang ini lebih jelas dan mudah dijangkau, sementara imajinasi lebih kerap tersentuh saat-saat tertentu, ia lebih sukar bentuknya, bahkan juga imajinasi yang kuat akan lahir dari ingatan akan kenangan yang kuat. Bentuk masa lalu dijaga oleh ingatan dan kenangan. Ingatan menghasilkan data, kenangan menyentuh intuisi dan perasaan.
Itu sebabnya konsep dari Ronni Abergel ini menyebar luas. Ia tahu orang-orang sangat menyukai masa lalu. Itu alat interaksi yang paling efektif ketika sudah sampai di tengah obrolan. Dengan mementingkan masa lalu, saya melihat konsep ini sebagai sebuah cara menyentuh bayang-bayang masa depan. Seperti yang dikatakan seorang penyair (saya lupa namanya), untuk menentukan masa depan kita, kita harus pandai-pandai mencerna dan menerawang masa lalu kita. Sekali lagi, masa lalu penuh dengan pengalaman-pengalaman, ia akan mengarahkan manusia pada pembelajaran yang lebih baik, ia bisa menentukan sikap evaluasi yang lebih baik.
Dan uniknya, dalam konsep Human Library ini, pengalaman yang sering melahirkan nilai menarik kerap ditemukan pada masa lalu dari orang-orang yang mempunyai stigma di masyarakat, dan sering dikucilkan dalam lingkungannya.
Kita mempunyai masa lalu, kata Om Joe, salah satu buku hidup di kegiatan di Lembah Hijau itu, mungkin ada benih-benih masa depan di sana, mungkin? Setidaknya kita terlebih dulu mencari dan menganalisanya di sana. Nah, ini caraku juga membentuk cerita-cerita di film-filmku.
Tulisan adalah milik penulis dan tidak mencerminkan pandangan dari redaksi Selaswara.