Mencoba Menjangkau Bayang-Bayang Masa Depan: Menemukan Kembali Masa Silam

Seorang pembaca buku hidup sedang berinteraksi dengan salah satu buku hidup dalam Lokakarya Human Library pertama di NTB pada 2-3 Maret 2024 di Taman Wisata Lembah Hijau. SELASWARA FOTO/Bayu Utomo

Ia ingin mengenalkan peradaban lewat berbagai banyak masa lalu orang-orang. Program The Human Library pun terbentuk. Bersama saudaranya Dany dan dua temannya, Asma Mouna serta Christoffer Erichsen, Ronni mengenalkan konsep ini di Denmark untuk pertama kalinya pada tahun 2000.

Peradaban tidak pernah jauh dari pengalaman dan pengamatan yang kemudian disimpan dalam ingatan seorang, umumnya ingatan kolektif masyarakat tertentu. Ia terbentuk di dalamnya, dan mulai berkembang setelah disalurkan ke generasi mendatang lewat cara perkembangan pengetahuan dan teknologi. Bukankah peradaban Lombok, tempat yang kita banggakan ini, bisa kita tahu seluk-beluk budaya dan tradisinya dari masa lalunya yang dijajah oleh Karang Asem sebagai contoh dekat untuk pernyataan saya ini?

Ia sadar akan hal itu, yang kemudian mempengaruhi perkembangan konsep ini ke hampir seluruh negara, terutama di Indonesia.

Lalu Abdul Fatah, seorang esais dan penulis sastra, menjangkau informasi konsep dari Ronni ini kemudian baru-baru ini, tepatnya tahun kemarin atau kemarinnya lagi? ia kurang ingat. Lalu menggelar konsep ini pertama kali di Taman Wisata Lembah Hijau, Desa Ijo Balit, Desa Korleko, Lombok Timur.

Digelar di bawah suasana alam Lembah Hijau lengkap dengan sejuk anginnya dan suara desiran daun-daun kelapanya, Fatah mendatangkan 20 peserta, yang menjadi audiens, dalam hal ini pembaca buku hidup (istilah dalam konsep ini) dan 20 tutor, atau narasumber, atau buku hidup yang bertugas memberikan masa lalunya kepada pembaca. Masa lalu yang dimaksud bukan kehidupannya yang diisi dengan kegiatan sepele, namun proses kehidupannya menjadi seseorang yang diakui dalam lingkungannya, sehingga menularkan energi tertentu, yang bisa diambil beberapa nilai tertentu bagi pembaca, setidaknya seperti itu outputnya.

Program yang berasal dari Denmark ini dilakukan Fatah bersama timnya selama 2 hari, 2-3 Maret. Satu hari dipakai untuk mengisi wawasan kepada peserta terkait berkomunikasi dengan baik dan cara menulis dengan baik.

Manuskrip sumber yang paling tepat dalam perkembangan peradaban, lingkungan literasi dan budaya, dan perluasan pengetahuan masyarakat, dalam program itu buku adalah bentuk maksud saya ini.

Masa lalu, yang dicerna, yang dianalisa dan diamati, dan kemudian diolah dalam bentuk tulisan oleh pembaca (orang yang mendengar buku hidup dalam konsep ini) akan dibukukan. Harapannya—begitulah yang dilakukan (berharap) manusia di setiap tujuannya—buku itulah yang mengubah apapun yang masih perlu diperbaiki, semisalkan ketandusan literasi di wilayah ini untuk bisa mempertimbangkan bentuk masa depan literasi di masyarakat.

Masa lalu atau masa silam adalah semesta kehidupan yang sangat luas dan jelas asalkan ingatan kita mendukung keluasannya, maksud saya memang ada beberapa momen tertentu yang tertimbun dalam ingatan kita, dan di dunia keilmuan kita butuh data-data dari masa lalu dan sejarah terdahulu. Berlimpah ruah rahasia di dalamnya. Seorang astronot harus mengetahui masa lalu kehidupan antariksa untuk membaca pergerakan benda-benda di dalamnya dan apa nanti yang akan terjadi pada mereka ketika sudah pada masa tertentu, antropologi pun dihadirkan dalam disiplin kosmologi.

Dalam kesenian pun kehadiran masa lalu sangat diperlukan. Alihkan perhatian Anda ke arah itu, begitulah kata Rainer Maria Rilke kepada Kappus saat Rilke mengajarkannya mencari ide dalam membuat puisi. Masa lalu memiliki benda-benda yang sangat ternilai, seperti trauma misalnya. Atau ketika Anda sulit untuk mengungkapkan trauma itu, atau Anda belum tahu cara mengungkapkannya, tidak perlu khawatir, masa lalu masih memiliki banyak hal lain. Sekali lagi ia penuh rahasia.

Masa lalu penuh dengan pengalaman. Seniman tinggal mengamatinya: apa yang bisa diberikan nilai untuk menghasilkan estetika. Kemudian, dengan pengetahuan dan keterampilan tertentu, seniman mulai mengelolanya.

Pengalaman-pengalaman dari masa lalu itulah, seperti kata Rilke, “harta karun kenangan” berlimpah ruah, “sumber yang luar biasa dan mewah”. Di sini saya melihat Rilke melihat masa lalu lebih berpotensi ketimbang imajinasi. Sebab barang ini lebih jelas dan mudah dijangkau, sementara imajinasi lebih kerap tersentuh saat-saat tertentu dimana indra-indra bekerja pada saat ini, ia lebih sukar bentuknya, bahkan juga imajinasi yang kuat akan lahir dari ingatan akan kenangan yang kuat. Bentuk masa lalu dijaga oleh ingatan dan kenangan. Ingatan menghasilkan data, kenangan menyentuh intuisi dan perasaan. Bukankah seniman melihat dengan cara ini dalam berkarya?

Itu sebabnya konsep dari Ronni Abergel ini menyebar luas, dan diterima dengan energi positif yang luar biasa. Sebuah obrolan biasa, yang lumrah dan sering sekali kita lihat dan lakukan setiap hari semasa hidup kita, dijadikan konsep secanggih ini: sebuah cara menyentuh bayang-bayang masa depan. Setidaknya, maksud dari pernyataan ini, kita punya cara menerawang ke arah mana kita nanti untuk kemajuan perkembangan peradaban kita.

Dan uniknya, masa lalu yang luar biasa ditemukan dalam konsep ini adalah masa lalu dari orang-orang yang mempunyai stigma di masyarakat. Nilai humanity pun sarat di setiap obrolan mereka.

Kita mempunyai masa lalu, kata Om Joe, salah satu buku hidup di kegiatan di Lembah Hijau itu, mungkin ada benih-benih masa depan di sana, mungkin? Setidaknya kita terlebih dulu mencarinya di sana. Begitulah caraku membentuk cerita-cerita di film-filmku.

Tulisan adalah milik penulis dan tidak mencerminkan pandangan dari redaksi Selaswara.