Pagi itu Bu Yayah, kepala panti memanggil Daria. Hari ini masa tinggal Daria berakhir. Ia telah lulus SMK jurusan perhotelan yang tak jauh dari panti. Daria menghela napasnya. Ada rasa sedih di hatinya, bahkan gamang akan kemana hidupnya berlanjut. Panti adalah rumah satu-satunya selama ini. Daria mengetuk pintu ruangan Bu Yayah. Bu Yayah memepersilakannya duduk.
“Daria, Ibu berat melepasmu nak, tapi kamu pasti paham aturan panti. Kami telah membekalimu cukup dan kini waktunya kamu berjuang di masyarakat. Tapi nak, sebelum itu ada yang mau ibu sampaikan padamu,” ujar Bu Yayah.
“Apa itu, Bu?”
“Ini, nenek kamu waktu mengantarkan kamu kemari menitipkan bungkusan ini dan harus ibu berikan padamu saat meninggalkan panti.”
“Nenek?” Daria terperanjat. Ia tak menyangka bahwa neneknya sendiri yang mengantarkannya ke panti ini.
“Maaf ya nak, sesuai pesan nenekmu saat itu kami tak boleh memberitahumu sebelum waktunya. Dulu nenekmu yang membawamu kesini dengan terburu-buru dan benar-benar minta dirahasiakan demi keselamatanmu. Nama aslimu pun nenek tak memberitahu. Daria adalah nama dari Bu Ipah,” jelas Bu Yayah dengan mata teduh.
Ada rasa sakit di dada Daria, seperti kehadirannya tak diharapkan sekaligus penasaran kenapa neneknya bersikap seperti itu. Ada apa ini?
“Bukalah nak, sudah saatnya kita sama-sama tahu apa isi dari bungkusan itu.”
“Hah, Ibu juga ga tahu isinya?”
“Amanah harus kita jaga, nak.”
Daria segera membuka bungkusan yang kira-kira sebesar kardus mi instan itu. Tak lama, terlihatlah isi bungkusan tersebut: sebuah kalung dengan liontin berbentuk tears drop. Di dalamnya ada foto seorang wanita dan lelaki muda, mungkin sekitar usia 20 tahunan. Apakah itu kedua orang tuanya? Lalu dompet yang berisi set perhiasan emas dan kwitansinya. Emas seberat 20 gram. Daria kaget dan saling tukar pandang dengan Bu Yayah. Sepucuk surat yang tergesa-gesa Daria buka isinya sangat singkat, sebuah alamat yang harus ia datangi setelah menjual emas itu. Daria sedikit lega ada tempat yang ia tuju. Alamat itu berlokasi di Lembang, Desa Pagerwangi.
Berbekal ongkos gojek, Daria pamit kepada pengurus dan teman-temannya di panti. Ia pergi ke Pasar Baru, menjual emas sesuai perintah nenek dan langsung menyewa mobil untuk berangkat menuju alamat itu. Sepanjang jalan, pikiran Daria berkelana. Seribu satu pertanyaan mengantung di pikirannya. Supir mobil itu, yang belakanngan ia ketahui bernama Mang Odeng, mencoba menegurnya dan daria memutuskan bercerita sejujurnya kepada supir itu kecuali emas dari nenek sebagai bekalnya. Mang Odeng prihatin dan bersedia membantu Daria jika dibutuhkan. Daria hanya tersenyum senang tapi ia tak tahu harus bersikap apa saat ini.
Daria tiba di alamat itu pada sore hari. Tampak sebuah rumah tua bangunan Belanda yang masih terawat dan sebuah mobil jenis minibus terparkir rapi. Daria memencet bel rumah itu. Mang Odeng setia menanti, memastikan daria diterima di rumah itu. Tak lama seorang wanita setengah baya keluar dengan pakaian rumah santai yang elegan.
“Cari siapa, neng? tanyanya dengan logat sunda yang kental.
“Hmm maaf Bu, nama saya Daria, saya mendapat amanah dari nenek untuk datang ke sini. Ini kalung dari nenek juga,” jawab Daria seraya membukakan liontin berisi foto.
Wajah wanita itu terkejut, ia langsung membukakan pagar dan mengajak Daria masuk. Daria masuk ke ruang tamu yang luas, tanpa sekat. Ia bisa melihat ruang tv dan juga meja makan. Aura dingin di ruang itu sedikit mencekam, kekhawatiran diam-diam sesak di hati Daria.
“Neng, saya teh Bi Iche, adik dari perempuan di foto itu,” ujar wanita itu.
Daria tak menjawab apa-apa, ia tampak belum bisa merespon kejadian-kejadian yang menggerayanginya.
“Perempuan di foto itu adalah Teh Elis,” Bi Iche melanjutkan ucapannya.
Daria pelan-pelan mulai menceritakan tujuannya mendatangi rumah itu, “Maaf ya bi, saya besar di panti dan ibu panti memberikan bungkusan dari nenek saya yang berisi foto ini.”
“Umur neng berapa sekarang?”
“18 tahun, bi.”
“Maaf, bibi boleh lihat tangan kirinya neng?”
Daria bingung tetapi memberikan tangan kirinya.
Tahi lalat di jari tengah nampak jelas. Bi Icje menarik napasnya dan menghembuskan sekaligus.
“Kenapa, bi?”
“Neng teh keponakan Bibi yang hilang,” sahutnya lirih.
Mata Daria memanas sesuatu meledak dari dalam dirinya. Bi Icje memberikan pelukan hangat sekadarnya. Ia cukup bingung mengingat sumpah teteh dan suaminya, orang tua Daria.
“Bi, ibu dan ayah saya tinggal di mana?”
Wajah Icje berubah sendu, “Ayo ikut Bibi.” perintah yang tak bisa ditawar. Jantung Daria berdebar kencang, seperti apa kedua orang tuanya? Itje membawanya ke kebun belakang rumah yang asri. Di sebelah kanan kebun itu tampak seperti beberapa makam. Di sana dua nisan bertuliskan Elis Sumiati dan Agus Fauzi.
“Ini kedua orang tuamu, nak,” ada desah berat di suara Bi Icje.
Daria segera berlutut memeluk nisan ibu dan bapaknya serta meluapkan segala rasa dalam hatinya dengan tangisan pilu. Hancur harapan berjumpa kedua orang tuanya. Sejuta pertanyaan berkecambuk di benaknya. Lalu Bi Icje juga mengenalkan daria dengan makam kakek neneknya. Nama Kakeknya asli Belanda, Theo Van Derjick, sedang neneknya Imas Sulastri.
Lalu Bi Icje mengajaknya ke dalam rumah membawa Daria ke kamar tidur orang tuanya. Kamar yang luas dengan jendela terbuka lebar menghadap ke kebun asri. Di dinding, foto tua Ibunya tampak menawan. Namun, entah mengapa Daria seperti merasakan aura kesedihan yang amat menusuk hatinya di kamar itu. Dingin sekali.
Bi Icje memintanya untuk beristirahat terlebih dahulu, nanti ia akan datang saat makan malam tiba. Daria baru menyadari bahwa ia tak melihat siapapun kecuali Bi Icje di rumah ini. Ia akan bertanya nanti malam. Daria melihat lemari tua ala Belanda yang kokoh dan sedikit menyeramkan. Ia membukanya, suara berdecit khas lemari tua terdengar. Lemari itu rapi dan bersih. Ada album foto, nampak olehnya keluarga Kakek Theo dan Nenek Imas hanya berputri dua, Elis dan Icje. Ia sedikit kaget melihat anak lelaki seumuran ibunya dengan wajah yang seperti ia kenal, entah di mana ia lihat. Tak sadar ia tertidur lelah di kasur tua dengan foto-foto di tangannya.
Dalam tidurnya, ia bermimpi bahwa ibu bapaknya datang menjemputnya. Mereka pergi bertamasya bertiga dan tiba-tiba nenek datang dan langit mendadak gelap seperti malam. Ia terbangun dengan keringat dingin di sekujur tubuhnya. Ia duduk dan merenungkan semua sebagai bunga tidur akibat pikirannya yang kacau balau hari ini. Jika orang tuanya ada, mengapa ia berakhir di panti asuhan? Jika kedua orang tuanya meninggal karena satu hal, bukankah ia masih punya nenek dan bibi? kenapa tega membiarkannya ke panti asuhan? pertanyaan demi pertanyaan begitu menyesakkan dadanya.
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, Bi Icje dengan senyuman manis mengajaknya makan malam. Mereka segera menuju meja makan, berbagai hidangan khas masakan sunda tersaji. “Ayo makan yang banyak, nak.”
“Hmm bi, kok rumah ini sepi sekali. Bibi tinggal di sini kan?”
“Iya nak, hanya bibi tinggal sendirian,” jawabnya lembut.
“Oh, bibi tidak menikah, maaf kalau aku tanya?”
“Gak, nak, bibi takut menikah.”
“Loh kenapa begitu?”
“Sudah, ayo dimakan.”
Selesai makan, bibi mulai bercerita kisah cinta ibu dan ayah. Ayah adalah anak dari tukang kebun pekerja rumah di sini. Kisah cinta mereka ditentang oleh nenekku, hingga akhirnya membuat ibu dan ayah nekat menikah tanpa restu dan ibu pindah ke rumah ayah yang hanya gubug reyot. Pada saat ibu hamil, nenek menjemputnya pulang dan memperbolehkan ayah tinggal di rumah ini. Ibu meninggal saat melahirkan dan ayah bunuh diri tak sanggup kehilangan ibu tepat semalam setelah pemakaman ibu. Nenek membawaku ke panti sebab tak sanggup mengasuh cucunya itu.
Daria merasakan pedihnya takdir atas dirinya. Ia menangis tersedu-sedu dalam pelukan Bi Icje. Malam itu mereka tidur larut setelah saling bertukar cerita. Awalnya Daria tidur dengan nyenyak karena lelah dan banyak menangis seharian. Ia merasa tangannya menyentuh sesuatu yang lengket, lebih lengket dari air dan hangat. Ia seakan terbangun dan melihat ke arah tangan kanannya berlumuran darah. Dariah memekik lalu tiba-tiba ranjang tua itu berderit mengeluar suara yang mengerikan “Kkkriet!” dan serentak ranjangnya bergoyang, ia kaget dan berupaya turun dari ranjang itu tapi tak bisa. Ranjang itu bergoyang semakin kencang dan ceceran darah di atas seprainya muncrat ke segala arah hingga ke wajahnya. Dariah panik. Napasnya terasa berat, di saat itu sesosok bayangan hitam terbang dari ujung jendela luar menuju posisinya yang tengah terayun-ayun di ranjang. Ia memekik ketakutan tapi suaranya tak keluar. Lalu ranjang kembali normal tak bergerak, tapi napasnya sangat sesak seperti dadanya tengah ditindih sesuatu yang amat berat. Tubuhnya kaku, tegang seperti kayu. Dariah tak bisa bergerak dan sulit bernapas. Sementara bayangan hitam itu semakin dekat, dekat dan ia merasakan rambutnya yang tergerai seperti ada yang menarik di kanan dan kiri lalu menjambaknya ke atas dengan kuat. Rasa sakit dan tegang menjalari tubuhnya. Ia mencoba bergerak dan bangun tapi tak berdaya. Sesuatu telah menindih tubuhnya, sosok itu pula menjambak rambutnya. Di tengah ia berjuang keras untuk lepas dari sesuatu yang menindih tubuhnya, di telinganya terasa sesuatu berhembus dan satu kata terdengar olehnya, “Mati.”
Dariah melawan sekuat tenaganya dan tiba-tiba ia terbangun dengan sisa sesak napasnya dan kepala berdenyut-denyut. Ia terduduk di atas ranjang, tak sadar kondisinya berantakan, rambutnya awut-awutan, keringat dingin di keningnya, tubuhnya masih tegang. “Astagfirullah!” tersengal-sengal. Ia terduduk cukup lama berusaha tenang. Ia melirik ke arah jam di dinding. Pukul 3.20 pagi. Tak berani tidur lagi, ia memutuskan tetap duduk terjaga hingga subuh tiba.
Pagi itu ketika Bi Icje mengetuk dan masuk ke kamar, ia terkejut melihat Dariah yang duduk bersandar di ranjang dengan wajah pucat dan matanya kosong. “Nak, kamu kenapa?”
“Gak apa-apa, bi!” sahut Dariah pendek.
Bi Icje menghela napasnya. Ia cemas menyadari keponakannya seperti kerasukan, tetapi ia mencoba bersikap tenang. “Ayo kita sarapan.” Dariah mengikuti bibinya tanpa kata. Ia terlihat kosong dan aneh. Pagi itu nampak dua orang pembantu tengah membersihkan rumah dan menata sarapan. Selesai sarapan, Dariah memilih berkunjung ke makam kedua orangtuanya di kebun belakang rumah itu. Ia duduk dan menatap lurus ke arah nisan dengan tatapan kosong dan nyaris tak bergerak. Bi Icje memperhatikannya dari balik jendela.
Hari dilalui dengan hening. Bi Icje pun sempat keluar rumah untuk beberapa perkerjaan. Dariah tenang tak bergeming. Hingga malam tiba, selesai makan malam, dariah diam di kamar dan tertidur. ia tiba-tiba terbangun pukul 3 pagi dan melihat seorang wanita tua yang menatapnya dengan benci. Nenek itu melayang ke arahnya dan belum sempat ia mengelak, nenek itu sudah di hadapannya dan mencekiknya. Jari-jari tangan nenek yang keriput membiru dengan kuku sangat tajam. Kuku itu menancap di leher belakangnya. Daria tak sanggup berteriak, ia hanya terperangah dan sesak napas amat sangat.
“Kau, pembunuh anakku! bayi sialan! mati kau!” Ucap nenek itu dengan suara sangat mengerikan dan mulutnya berbau busuk, menambah Daria sulit bernapas. Daria tak bisa melawan. Ia merasa semakin lemah dan kesadarannya mulai menipis. Dari mulut si nenek itu keluar binatang-binatang berlendir yang menjijikan serta berlendir.
Tiba-tiba muncul seorang wanita cantik dengan raut wajah sedih menjerit keras, “Lepaskaaan dia, ibu!”
Si nenek tua itu menoleh tanpa melepaskan jari-jarinya di leher daria. Ia memekik suara yang mengerikan dan melengking tinggi membuat wanita itu menutup kedua telinganya. Nenek itu kembali menatap Daria yang sudah lemas dan melepas cekikannya lalu menusukkan kuku-kukunya ke arah jantung Daria. Kesadaran Daria mulai hilang. Wanita beraut sedih menjerit mulai menarik-narik sang nenek dari belakang.
Tiba-tiba pintu terbuka lebar! Bi Icje berteriak kencang, “Ibu, pergilah!” sambil menyipratkan air ke arah si nenek tua. Di belakang Bi Icje, lelaki murung dengan leher patah menatap Daria.
***
Pagi hari, Daria terbangun di kamar Bi Icje. Rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya. Bi Icje sudah mengobati leher dan dadanya dengan air doa dari seorang sesepuh kampung.
“Maafkan bibi, nak. Hari ini kita pindah, kamu tak bisa tinggal di sini.”
“Kenapa Bi?”
“Nanti saja, ayo. Gocar sudah menunggu kita.”
Mereka melaju ke Bandung kota, daerah Sukajadi. Rumah pribadi Bi Icje. Di rumah itulah Bi Icje bercerita, bahwa yang membawa Daria ke panti adalah dirinya sebab khawatir Daria akan dibunuh oleh neneknya. Saat ibunya meninggal, nenek merasa hancur dan ialah yang memerintahkan ayah Daria di gantung hingga tewas. Saat itu Bi Icje terburu-buru membawanya ke panti asuhan. Alamat itu diberikannya sebab kala itu Bi Icje belum punya tempat tinggal sendiri. Ia memutuskan tidak menikah sebab khawatir arwah nenek yang bergentayangan akan membunuh suami dan anaknya kelak.
Daria menangis tersedu-sedu, betapa bibinya menyayanginya dan menyelamatkannya sejak ia baru lahir. Mereka mulai menata hidup sebagai ibu dan anak di rumah Bi Icje dan setiap minggu mereka mengikuti terapi psikolog untuk dapat hidup wajar. Daria masih sering bermimpi buruk sejak kejadian itu.
Editor: EYOK EL-ABRORII
Eyok El-Abrorii (1999), penulis cerpen dan esai asal Lombok Timur. Tulisannya tersiar di berbagai media cetak maupun elektronik. Menyelesaikan studi Master of Linguistics di Program Pascasarjana Universitas Warmadewa. Bukunya berjudul Hipertimesia (2025). Kini ia mengajar di sebuah perguruan tinggi suasta di Lombok Timur.