Musik

Suara yang Tak Ingin Cepat Pulang, Tapi Tak Juga Sampai Tujuan

Dua malam di Kava 2.0 yang membicarakan musik, luka, dan logika promosi yang sering tersesat. SELASWARA.COM — Langit Mataram belum lama menuntaskan...

Written by Bayu Utomo · 2 min read >

Dua malam di Kava 2.0 yang membicarakan musik, luka, dan logika promosi yang sering tersesat.

SELASWARA.COM — Langit Mataram belum lama menuntaskan jingga saat sebuah panggung kecil di Kava 2.0 mulai berdetak. Di antara lampu kafe dan gelas-gelas kopi yang mengepul pelan, musik tiba seperti sahabat lama—tak gaduh, tapi hangat. Acara bertajuk Melancho-Pop! ini diadakan oleh Let’s Move Gank sebagai upaya kecil namun berdampak, untuk mempertemukan manusia dengan perasaannya sendiri.

Empat nama tampil malam itu: Tria Raya, Zaky Kartana, Hans Cahyo, dan D’Jempol. Masing-masing membawa cerita yang tak ingin buru-buru disudahi.

Tria Raya membuka malam dengan kisah yang—sesuai judul lagunya—tak mudah. Lagu tersebut lahir dari pengalaman hidup dan percakapan dengan sesama penyintas cinta. Meski ini pengalaman rekaman profesional pertamanya, Tria tampil dengan keyakinan seorang yang pernah kalah, tapi enggan menyerah.

Menyusul kemudian, Zaky Kartana, hanya berselang beberapa jam dari rilis single barunya, Cerita Kita (2 Mei 2025). Lagu itu bukan tentang perpisahan, melainkan tentang berdamai. Sebuah keikhlasan yang terdengar dalam setiap baitnya—berjalan perlahan tanpa dendam, mengenang tanpa mengutuk.

Hans Cahyo hadir dengan Tentang Bunga, lagu debutnya yang digubah sejak 2019 dan baru menemukan nyawa penuh di 2023. Ia tidak banyak bicara, tapi musiknya menjelaskan segalanya: tentang kehilangan yang tidak melukai, dan harapan yang tidak menggebu, tapi bertahan.

Menutup malam, D’Jempol membawa energi berbeda lewat Tertusuk Pedang, single yang dirilis pada 5 April lalu. Lagu itu adalah elegi yang dibungkus dengan keberanian. Nada-nadanya tajam, tapi jujur. Mereka membuktikan bahwa luka pun bisa menjadi lagu, asal tidak buru-buru dilupakan.

Acara ini dipandu dengan santai oleh Wahid Zea. Tidak sebagai MC, tapi lebih sebagai penjaga alur: memastikan malam mengalir tanpa terburu-buru.

Dan benar saja, malam itu bukan tentang siapa yang paling ramai. Tapi siapa yang paling jujur dalam bersuara. Di tengah dunia yang kian berisik, mungkin kita hanya butuh satu malam untuk duduk diam dan merasa. Musik, malam itu, memberi kita izin untuk sejenak menjadi manusia yang utuh.

Namun, sepekan sebelumnya, masih di tempat yang sama, suara-suara lain mencoba mengambil ruang dalam forum diskusi bertajuk #rembukAn: Mau Nampak Tapi Tak Punya Jejak.

Kava 2.0, malam Kamis 24 April 2025. Aroma kopi dan keringat kreatif bercampur di udara. Kursi-kursi penuh. Mic berpindah tangan dari narasumber ke peserta, dari keresahan ke keresahan lainnya. Forum ini hadir menjanjikan ruang tukar gagasan tentang promo plan musik dan strategi branding di tengah kebisingan digital yang makin pekat.

“Karya udah jadi, lagu udah rilis, konten udah numpuk… tapi kok nggak ada yang notice?” adalah premis yang cukup menggelitik. Bagi sebagian peserta, mungkin terasa seperti memandang cermin. Ini bukan soal kurang usaha, tapi kadang algoritma memang lebih menyukai kucing lucu daripada, misalnya, rilisan EP eksperimental.

Dalam laporan Konser Lombok, Yuga Anggana, sang moderator, membuka diskusi dengan pernyataan yang jujur sekaligus menohok: “Banyak musisi kita punya karya bagus, tapi hanya terdengar di lingkar komunitas.”

Yogi Mahatma dari Inside Lombok membawa semangat media sebagai pembentuk identitas. Ia berkisah tentang awal mula platformnya—sebuah unggahan video kebakaran yang viral, dan dari sana lahirlah mesin pemberitaan yang kini dikenal sebagai salah satu media terbesar di NTB. Tapi kita diam-diam bertanya: jika identitas bisa dibentuk dari api, kenapa banyak karya musik bagus malah padam diam-diam?

Bagus Krishna Adhitria berbicara tentang pentingnya konsistensi visual, tone of voice, dan segmentasi pasar. Ia sebut .Feast dan Hindia sebagai contoh. Tapi pertanyaan muncul: apakah musisi dari Lombok bisa meniru strategi yang dikembangkan dalam ekosistem Jakarta? Atau justru kita butuh logika promosi yang lahir dari tanah sendiri, bukan dari label?

Helmy Prastowo Budi, tokoh penting dari Pepadu Badjang, menguraikan strategi distribusi digital secara runtut: dari promo kit hingga data agregator. Ia mengatakan dalam laporan Lombok24Jam, “Musisi harus mulai membuat content plan, bukan cuma rilis lalu diam.”

Foto-foto dari acara menunjukkan audiens yang serius menyimak—dan di beberapa bagian, terlibat aktif. Ada wajah-wajah muda, gelisah, beberapa dengan notebook terbuka, beberapa lainnya hanya mengangguk pelan. Tapi seperti yang ditulis Harian Musik Lombok, meski forum ini dihadiri banyak komunitas dan podcaster, suara perempuan sebagai pelaku tetap absen dari panggung utama.

Refleksi Igor Amtenar di akhir forum menjadi kalimat paling politis malam itu. Ia menyebut perlunya “rembak”—gerakan nyata setelah rembuk. Kalimat ini menyelamatkan forum dari jebakan motivasi kosong. Bahwa kolaborasi antar musisi, media, podcaster, dan pengelola venue adalah harga mati. Tapi siapa yang akan memulai?

Kita butuh lebih dari diskusi. Kita butuh kerja sunyi—yang bukan hanya mengandalkan mic dan kamera, tapi spreadsheet distribusi, pitching yang ditolak berkali-kali, dan riset tentang cara kerja platform digital. Kita butuh agenda lanjutan, bukan hanya agenda.

Dua malam, dua nada.
Satu memeluk luka lewat lagu. Satu lagi membedah luka lewat kata.
Tapi keduanya sama-sama berbicara tentang hal yang belum selesai.

Barangkali, suara yang tidak ingin cepat pulang juga harus tahu ke mana ia menuju.
Dan karya, seperti manusia, juga butuh jalan pulang: entah ke telinga, ke hati, atau ke ruang yang lebih luas dari sekadar lingkar komunitas sendiri.

Karena dalam musik yang tidak hanya ingin terdengar, tapi juga dimaknai, kita semua sedang belajar satu hal: bahwa nampak tidak selalu berarti jejak, dan jejak tidak selalu tercipta dari suara yang lantang.

Written by Bayu Utomo
Merayakan hidup dengan cara paling amatir~ Profile

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *