Tesis Rabu: Senjakala Demokrasi Menuju Distopia Lanjut

“Dalam demokrasi, rakyat memilih pemimpin yang mereka percayai. Kemudian pemimpin yang terpilih berkata, ‘Sekarang diam dan taat padaku.’ Rakyat dan partai kemudian tidak lagi bebas untuk ikut campur dalam urusannya.”

—Max Weber

SELASWARA.COM — Rabu, 14 Februari 2024, seolah menjadi hari yang sibuk sekaligus menegangkan bagi seluruh warga Indonesia untuk memilih calon presiden bersamaan dengan calon legislatif. Perhelatan politik lima tahunan digelar dengan gegap gempita secara serentak. Bilik-bilik suara disebar di berbagai wilayah baik di kota, desa, hingga ke pelosok terpencil sekalipun.

Semuanya digerakkan, dihidupkan, dimobilisasi dengan segala sumber daya untuk menjaring suara sebanyak-banyaknya dan memastikan semua warga negara dapat melakukan pencoblosan. Meskipun tidak sedikit ada yang memilih untuk tidak memilih (golput) dengan berbagai alasan yang tak kalah politis.

Rabu 14 Februari 2024 barangkali menjadi Rabu kelabu bagi calon pemimpin mereka yang kalah dalam arena pertarungan politik praktis. Atau sebaliknya, Rabu akan jadi hari yang paling menggebu-gebu bagi calon pemimpin mereka yang mendulang suara terbanyak.

Rabu menjelang sore, pengumuman hasil hitung cepat lamat-lamat sudah mulai disiarkan di berbagai saluran media baik di televisi, radio, internet maupun sosial media. Semua mata tertuju pada saluran-saluran tersebut untuk memastikan suara siapa yang nantinya akan terpilih. Prabowo-Gibran unggul.

Rabu 14 Februari 2024 seharusnya menjadi hari kasih sayang sedunia atau yang dikenal dengan Hari Valentine; hari yang biasanya identik dengan ucapan kasih sayang, bertabur kado cokelat, hingga warna merah muda yang berpendar di mana-mana.

Namun, hari itu seolah menjadi hari yang cukup mencekam sekaligus senyap setelahnya. Hari di mana ada kelompok yang kalah dan kelompok yang menang. Hari di mana ada yang berpesta pora sekaligus ada yang kecewa. Sebuah konsekuensi logis dari situasi politik kotak suara lima tahunan sebagai representasi dari negara-bangsa hari ini dengan sistem demokrasi modern produk Amerika.

Sebelum Datangnya Sang Rabu, Kita Tetap Kelabu

“Besok pagi kita ke pabrik kembali kerja sarapan nasi bungkus ngutang seperti biasa.”

—Wiji Thukul

Pemilihan Umum (Pemilu) yang dimitoskan sebagai tahun politik untuk mencari sosok ratu adil, seolah tidak ada bedanya dengan tahun-tahun sebelumnya. Rutinitas yang terus berulang, hanya bongkar pasang kubu semata, setelahnya kembali berkoalisi.

Mulai dari menghadirkan sosok kandidat, membentuk tim sukses, konsolidasi parpol, pembentukan panitia, agenda kampanye hingga pembagian jatah anggaran. Semuanya diatur sedemikian rupa secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM).

Kemudian rakyat dijadikan objek yang akan diperas suaranya, dipolarisasi menjadi kubu-kubu, bahkan dibenturkan. Setelahnya, si terpilih yang akan menentukan maunya gimana.

Jauh sebelum datangnya hari pencoblosan pada 14 Februari 2024, hari-hari di mana kampanye para pasangan calon dan segenap timsesnya menggunakan segala sumber daya manusia hingga finansial hanya untuk memenangkan kandidat yang diusungnya.

Mulai dari pemasangan poster atau baliho yang menyesakkan jalan dan merusak pohon, gelaran kampanye akbar, mengerahkan tokoh agama, budayawan, selebriti, hingga influencer ternama. Bahkan penggunaan politik uang tanpa malu-malu masih terus dilanggengkan hingga sekarang.

Lantas apa bedanya dengan pemilu-pemilu sebelumnya ketika Indonesia masih dikuasai oleh segelintir elit mulai dari pejabat, konglomerat, pemilik media hingga militer. Selama cengkraman itu tidak pernah pudar dalam gugusan politik Indonesia, jangan harap demokrasi akan benar-benar terjadi.

Akan tetapi, dalam demokrasi kotak suara semuanya bisa saja terjadi. Seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Siapa punya kuasa, ia mendulang kekuasaan. Jarum-jarum yang berserak dalam jerami akan mudah ditemukan dan terkumpul dalam waktu dan jumlah yang tak terduga. Ibaratnya 2 + 2 = 5, begitulah rumus yang digambarkan Orwell dalam karyanya 1984 saat melihat masa distopia, buah dari watak otoritarian partai.

Reformasi 1998 adalah momentum paling menyeruak dalam sejarah politik demokrasi di Indonesia untuk memenggal rezim otoritarian Orde Baru. Krisis moneter kala itu yang melanda Asia Tenggara adalah sumbu pemantiknya. Seluruh lapisan masyarakat terpanggil dan bergerak demi meruntuhkan musuh bersama, Soeharto.

Kran kebebasan atas pembungkaman dan penindasan terhadap masyarakat Indonesia selama 32 tahun akhirnya mulai dibuka lebar-lebar. Pers kembali menghirup udara segar, etnis Tionghoa kembali dapat berekspresi, lembaga antirasuah (KPK) dibentuk hingga partai-partai politik baru bermekaran.

Namun, tidak sedikit korban yang berjatuhan hingga hilang sampai sekarang atas peristiwa itu. Selamat datang era baru, selamat datang demokrasi. Pasca reformasi 1998 berlalu lebih dari dua dekade, apakah demokrasi benar-benar berjalan dengan semestinya.

Apakah Orde Baru sudah benar-benar tumbang ke akar-akarnya? Seperti apa yang dilansir oleh berbagai survei, indeks demokrasi pada rezim populis Jokowi justru mengalami kemunduran. Indikatornya begitu nyata, mulai dari penggunaan kekerasan aparat negara, pelanggaran HAM terus meningkat, kekerasan pers, konflik agraria semakin merajalela, deforestasi semakin massif hingga diterbitkannya produk hukum bermasalah seperti UU Ciptaker.

Rentetan semua peristiwa itu terakumulasi pada gelombang aksi terbesar setelah reformasi 98, yaitu gerakan #ReformasiDikorupsi tahun 2019.

Pada rezim populis Joko Widodo yang diusung oleh banyak kalangan aktivis pro demokrasi 98 maupun pegiat budaya, seolah menjadi harapan baru di tengah cengkraman kroni Orde Baru yang masih mengakar di tubuh kekuasaan. Namun, harapan baru itu menjelma dalam wajah politik dinasti keluarganya dengan memasang sang anak sulung, Gibran Rakabuming Raka yang bersanding dengan mantan jenderal pelanggar HAM Prabowo Subianto sebagai calon presiden, sekaligus mantan rivalnya dalam dua periode terakhir.

Berbagai skenario telah digunakan Jokowi untuk memenangkan pasangan Prabowo-Gibran dalam kontestasi politik 2024. Mulai dari putusan MK untuk mengubah batas umur oleh sang paman, politisasi bantuan sosial (Bansos), menggerakkan para kades, kenaikan gaji bagi petugas KPU hingga ketidaknetralan presiden Jokowi dalam kampanye.

Bahkan sebelumnya sempat muncul wacana tiga periode Jokowi, namun upaya itu gagal. Semua gejala itu menunjukkan bahwa Jokowi di akhir masa jabatannya sebagai presiden, telah menyelewengkan amanat rakyat demi melanggengkan kekuasaan pada keturunannya.

Selain pasangan Prabowo-Gibran, apakah pasangan lainnya seperti Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud benar-benar bersih dari berbagai relasi kekuasaan? Dalam hasil studi yang dilakukan oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), ketiga pasangan calon terhubung dengan jaringan oligarki yang ada di belakangnya.

Mulai dari politikus parpol, pemilik perusahaan media, hingga pengusaha tambang dan perkebunan ekstraktif. Begitu juga yang dipaparkan dalam film Dirty Vote cukup gamblang dan tiba-tiba film itu menghilang dari saluran youtube. Lantas pertanyaannya, untuk siapa pemilu yang menurut Sri Mulyani sudah menghabiskan anggaran kurang lebih 70 triliun lebih itu?

Dengan munculnya Prabowo selaku pelanggar HAM mulai dari penculikan aktivis 98, peristiwa Santa Cruz di Timor Leste hingga Aceh, seakan menunjukkan bahwa reformasi akan usai. Di samping Gibran sebagai anak sulung presiden Jokowi dalam kontestasi melalui jalur belakang, jelas-jelas akan mengantarkan Indonesia menuju distopia lanjut.

Watak rezim otoritarian Orde Baru kembali dihidupkan dari liang kubur. Dalam sebuah wawancara dengan Alan Nairn, Prabowo mengatakan dengan lantang bahwa Indonesia tidak butuh demokrasi, Indonesia butuh fasis.

Setelah Rabu, Apa Rencana Hari Depan Kita?

“If voting changed anything, they’d make it illegal.”

—Emma Goldman

Dengan situasi yang semakin gelap, apa yang bisa kita harapkan dan lakukan untuk menyelamatkan demokrasi hari ini? Atau semua itu sudah menjadi kewajaran dan konsekuensi dalam demokrasi kotak suara? Dan kita dipaksa mengulangi gejala yang terus berulang tanpa ada imajinasi lain.

Jika otoritarian adalah kanker ganas yang harus dibasmi hingga ke akar-akarnya, sudah semestinya politik antiotoritarian yang lebih progresif perlu dihidupkan kembali, melampaui apa yang disebut sebagai demokrasi kotak suara. Ada beragam reaksi dan aksi yang bermunculan sebelum hari pencoblosan berlangsung pada hari Rabu.

Para akademisi di berbagai kampus saling gayung bersambut menyerukan dan menyatakan sikap atas situasi politik yang semakin mengkhawatirkan atas krisis demokrasi. Begitu pula dengan mahasiswa dan masyarakat sipil di beberapa kota turut menyuarakan keresahannya dengan melakukan beragam aksi nonpartisan.

Bahkan muncul gerakan salam empat jari untuk membendung pasangan Prabowo-Gibran menang dalam pemilu. Meskipun gerakan ini bisa dibilang cukup partisan karena terafiliasi dengan pasangan 01 dan 03, sehingga muncul seruan yang penting bukan 02. Satu catatan penting dalam melihat kondisi demokrasi sejak lahirnya rezim populis Jokowi yang dibanding sebagai orang baik, adalah absennya oposisi permanen.

Kubu Prabowo yang digadang-gadang menjadi oposisi rezim Jokowi, turut dirangkul dan melebur menjadi satu kesatuan. Hingga mengantarkan sang jenderal berdarah dingin menuju ke podium.

Kemudian apakah kita berharap kubu 01 dan 03 menjadi representasi oposisi permanen dalam mengawasi rezim lima tahun ke depan? Bukankah di balik semua parpol itu juga mengandung unsur-unsur jaringan oligarki yang menjadi sistem keruk hari ini?

Mau sampai kapan kita akan menjadi pemirsa dalam permainan para elit politik dan pengusaha yang cukup dinamis. Mampukah kita menjadi oposisi permanen atau tawaran demokrasi langsung tanpa bergantung pada partai-partai tersebut yang kerap menipu kita. Jika rezim Gemoy menawarkan tarian penyembah fasis, maka Emma Goldman menawarkan begini: “If I can’t dance to it, it’s not my revolution.”