Kampung Lelemer, Desa Sapit — Ada semilir angin dari kaki Gunung Rinjani yang berbisik tentang kebangkitan sebuah komunitas literasi. Namanya Puan Aksara, sebuah komunitas nirlaba yang kini telah resmi bertransformasi menjadi Taman Baca Masyarakat (TBM). Minggu pagi, 15 Desember 2024, menjadi saksi perjalanan panjang komunitas ini menuju ruang baru yang penuh harapan. Di antara tenda-tenda sederhana dan deretan buku yang tertata rapi, senyum anak-anak terlihat begitu tulus. Mereka duduk di tikar yang digelar di bawah rindang pohon, menanti kisah-kisah baru untuk dijelajahi.
Peresmian yang digelar di Kampung Lelemer, Dusun Pesugulan, dihadiri oleh banyak tokoh penting. Kepala Desa Sapit, Andrea Ardi Ananda selaku Pustakawan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Lombok Timur, serta Lalu Abdul Fatah, Kepala Perpustakaan Lembah Hijau, semuanya hadir memberikan dukungan dan apresiasi. Bagi mereka, Puan Aksara bukan hanya sebuah komunitas, melainkan simbol harapan di tengah tantangan literasi yang kian kompleks.
Bermula dari cita-cita sederhana pada Oktober 2020, Navia Fathona Handayani bersama rekan-rekannya—yang kebanyakan adalah guru—memutuskan untuk menanam benih literasi di Desa Aikmel. Dengan membawa buku-buku seadanya, mereka mendirikan lapak baca sederhana di sudut-sudut desa yang sering kali terabaikan. Tikar lusuh menjadi alas, rak kayu sederhana menjadi tempat buku-buku mereka. Namun, semangat yang mereka bawa tak pernah lusuh. Setiap akhir pekan, anak-anak datang dengan wajah penuh rasa ingin tahu, siap mendengar cerita-cerita yang membawa mereka ke dunia baru.
Di awal perjalanan, tidak semua berjalan mulus. Banyak tantangan menghadang. Akses buku yang terbatas, cuaca yang kadang tak bersahabat, dan minimnya dukungan fasilitas membuat mereka harus berjuang ekstra. Namun, setiap kali melihat mata anak-anak yang berbinar saat mendengar cerita atau memegang buku, lelah mereka seakan terbayar lunas. Bagi Navia dan timnya, momen-momen kecil itulah yang menjadi bahan bakar untuk terus melangkah.
Metode Read Aloud (membaca nyaring) menjadi andalan mereka. Dengan suara lembut dan penuh ekspresi, relawan membacakan kisah-kisah penuh makna. Anak-anak tak hanya mendengar, tetapi juga merasakan, membayangkan, dan belajar dari setiap kata yang diucapkan. Di sela-sela kegiatan membaca, permainan tradisional seperti congklak dan lompat tali dimainkan. Aktivitas ini bukan sekadar jeda, tetapi juga cara untuk melestarikan budaya lokal yang mulai tergerus zaman.
Seiring berjalannya waktu, Puan Aksara mulai dikenal luas melalui media sosial. Konten-konten menarik yang mereka bagikan berhasil menarik perhatian penggiat literasi lainnya. Dukungan dari berbagai pihak pun mulai berdatangan, baik berupa sumbangan buku maupun dukungan moral. Namun, pada tahun 2022, setelah menerima Penghargaan Hari Aksara Internasional dari Forum Relawan Literasi NTB, kegiatan mereka sempat vakum selama dua tahun. Pandemi, kesibukan para relawan, dan keterbatasan dana menjadi alasan di balik vakumnya kegiatan tersebut.
Transformasi menjadi TBM adalah titik balik bagi Puan Aksara. Dengan dukungan administratif dari pemerintah desa, ruang gerak mereka kini lebih luas. Kepala Desa Sapit mengungkapkan harapannya agar TBM ini menjadi cikal bakal perpustakaan desa. Dukungan dari pemerintah desa, fasilitas yang lebih memadai, dan semangat dari para relawan menjadi kombinasi yang diharapkan mampu membawa Puan Aksara ke level yang lebih tinggi.
Dalam acara peresmian tersebut, Andrea Ardi Ananda, Pustakawan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Lombok Timur, menyoroti pentingnya membangun kebiasaan membaca sejak dini. Mengutip penelitian dari Journal of Developmental and Behavioral Pediatrics, ia menjelaskan bahwa anak yang dibacakan satu buku setiap hari bisa memiliki 290.000 kosakata saat masuk TK, dibandingkan hanya 4.600 kosakata bagi anak yang tidak pernah dibacakan buku. “Peran orang tua sangat penting. Lima menit membaca bersama anak setiap hari bisa membawa perubahan besar,” tegasnya.
Lalu Abdul Fatah, Kepala Perpustakaan Lembah Hijau, menambahkan bahwa TBM adalah cara efektif untuk melawan dominasi teknologi digital yang kerap menggeser kebiasaan membaca. “Membaca bukan hanya soal menambah pengetahuan, tetapi juga membangun imajinasi dan empati,” ujarnya. Ia mendorong masyarakat untuk memanfaatkan TBM ini dan menjadikannya sebagai bagian dari rutinitas harian. Menurutnya, dukungan dari pemerintah daerah dan hibah buku dari Perpustakaan Nasional akan semakin memperkuat upaya ini.
Kini, dengan semangat yang diperbarui, Puan Aksara siap melangkah lebih jauh. Mereka tidak hanya ingin menjadi TBM biasa, tetapi juga pusat aktivitas literasi yang dinamis. Dengan kegiatan rutin seperti lapak baca, kelas kreatif, dan diskusi buku, mereka berharap dapat menjangkau lebih banyak anak dan menghidupkan kembali semangat membaca di kalangan masyarakat.
Di antara derai tawa anak-anak dan desau angin pegunungan, Puan Aksara bersemi kembali. Setiap halaman yang dibuka adalah langkah kecil menuju masa depan yang lebih cerah. Di kaki Rinjani, aksara itu terus hidup, menanti tangan-tangan kecil yang siap menyentuhnya.
Sebuah kisah yang belum selesai, namun penuh harapan.