Psikologi Pascakolonialisme

Lamanya kolonialisme berkuasa membuat kita tak sadar akan pengaruhnya dalam mewarisi pengetahuan yang rasis serta menindas yang diwajarkan. Derek Hook mencoba menguliti kolonialisme dari teks pascakolonialisme mulai  dari Homi Bhabha, Steve Biko, J.M. Coetzee, Frantz Fanon, Julia Kristeva, Chabani Manganyi dan Slavoj Žižek melalui bukunya A Critical Psychology of the Postcolonial. Tujuannya sebagai kritik dan membuka wawasan dalam psikologi sosial.

Derek Hook adalah dosen Studi Psikososial di Birkbeck College London, dan seorang profesor tamu dalam bidang Psikologi di University of the Witwatersrand, Afrika Selatan. Dia adalah penulis buku Foucault, Psychology and the Analytics of Power (2007), seorang peneliti di Proyek Arsip Apartheid, dan psikoanalis peserta pelatihan di Pusat Analisis dan Penelitian Freudian di London.

Teks A Critical Psychology of the Postcolonial ini menyasar mahasiswa psikologi dan sosiologi yang terdaftar dalam kursus tentang rasisme atau studi budaya. Serta akan menarik bagi mahasiswa pascasarjana, akademisi, dan siapa pun yang tertarik pada psikoanalisis dalam kaitannya dengan masalah sosial dan politik.

Penelitian ini berfokus di Afrika Selatan dan berfungsi untuk menekankan sejarah yang sedang berlangsung mengenai pentingnya perjuangan anti-apartheid untuk dunia global saat ini.

Ilustrasi Pascakolonialisme. Ilham/Selaswara
Ilustrasi A Critical Psychology of the Postcolonial: The Mind of Apartheid – Derek Hook

Seringkas

Buku bertajuk A Critical Psychology of the Postcolonial: the mind of apartheid pada sampulnya ini dipublikasikan pada 2012 oleh Psychology Press Taylor & Francis Group dengan sistematika penulisan — pengantar dan Lima Bab tulisan.

Pada bab satu pembaca akan disuguhkan pembahasan dengan judul The postcolonial, the psychopolitical, Black Consciousness and vernacular psychology, yang membahas kasus Fanon dan Biko, tentang bagaimana kritik postkolonial atau anti-apartheid menawarkan cara untuk menutup gap antara intelektual dan aktivitas politik, kemudian antara kritik picik dan dorongan untuk aksi sosial yang lebih luas. Penulis sendiri merasa perlunya psikologi vernakular dari kritik pascakolonial, dan elemen-elemen politik Kesadaran Kulit Hitam yang didasarkan pada tujuan untuk menjungkirbalikkan berbagai dehumanisasi, fitnah dan penolakan terhadap rasisme kolonial.

Dalam bab dua berjudul Abjection as a political factor: Racism and the ‘extra-discursive’ mencoba menguraikan  keterlibatan yang memadai dengan konteks apartheid atau pasca kolonial — yaitu dari menghadapi secara tepat fitur-fitur yang tidak manusiawi, merendahkan, dan hina ini dari rasisme.

Menurut penulis, yang penting kemudian adalah pertimbangkan faktor ‘ekstra-diskursif’ tersebut, untuk melihat bagaimana mereka menanggung dan memberikan pengaruh pendorong pada pola signifikansi yang rasis, mereka tidak menghargai kompleksitas penuh wacana rasis. Mereka tidak akan cukup memahami cara di mana wacana rasis bergabung dengan kekuatan tubuh, atau cara-cara yang menghubungkannya dengan sebagian besar mekanisme subjektivitas dan egokonstitusi. Singkatnya, mereka tidak cukup memahami ekonomi libidinal (ekonomi yang berpusat pada nafsu dan hasrat) dari wacana rasis itu sendiri.

Sementara Postcolonial psychoanalysis: Fanon, desire, fantasy and libidinal economy adalah bab tiga yang membahas bagaimana rasisme tidak pernah hanya merupakan fungsi dari ketidaktahuan, objektifikasi atau antar kelompok antagonisme — tiga penyebab rasisme yang paling sering dikutip — tetapi sebaliknya menyajikan hubungan yang jauh lebih kompleks dari keinginan, fantasi dan investasi libido.

Kemudian dalam bab empat, The stereotype, colonial discourse, fetishism and racism. Bab ini berfokus pada pemahaman baru tentang stereotip rasial dikemukakan oleh ahli teori poskolonial Homi Bhabha.

Terakhir, bab lima, The ‘real’ of racializing embodiment menganggap ketidakterbandingan ini sebagai titik awal kita untuk bab ini, tetapi mengarahkan perhatian kita ke satu aspek, yaitu ketidakcocokan kita dengan diri kita sendiri, serta menelaah kembali keprihatinan yang melekat di bab sebelumnya, yaitu dilema perwujudan.

Selama dasawarsa ini, wacana pascakolonial memang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia seperti  Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur Sebagai Subjek (2010) oleh Edward Said yang diterbitkan Pustaka Pelajar. Kemudian Jalasutra menerbitkan Black Skin White Mask: Kolonialisme, Rasisme dan Psikologi Kulit Hitam (2008) Frantz Fanon. Serta buku tipis Homie K.Baba  membahas konsep Mimikrinya yang di terbitkan oleh penerbit Circa dengan judul Tentang Mimikri (2021).

Meski begitu, teks di atas menurut saya tidaklah familiar dikalangan mahasiswa Psikologi. Padahal wacana ini sangat penting mengingat pengaruhnya atas psikologis individu dan kolektif. Meski A Critical Psychology of the Postcolonial belum pernah dialih bahasakan dalam bahasa Indonesia, tapi saya kira teksnya akan menjadi pelengkap di kemudian hari guna memahami dampak kolonialisme di kehidupan dan kesadaran kita sekarang ini.

Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan sikap editorial Selaswara.