Membaca Ungkapan Cinta dan Rindu pada Budaya dan Tradisi melalui Puisi “Ingat Lupa” karya Elpan Suyadi

Elpan Suyadi sedang membacakan puisi Ingat Lupa saat Opening Ceremony Alunan Budaya Desa (ALBD) Pringgasela Raya di Angka 7. Foto: Izan Maghrib

Sudah tiga minggu berlalu sejak Opening Ceremony Alunan Budaya Desa (ALBD) Pringgasela Raya di Angka 7. Acara yang digelar pada akhir September tersebut menampilkan beragam kesenian dan budaya yang dirawat. Salah satu penampilan yang menarik perhatian adalah sesi pembacaan puisi oleh dua pemuda asli Pringgasela, yaitu Elpan Suyadi dan Wikan Nihayat. Mereka berdua sudah lama menggeluti dunia sastra dan teater. Elpan kini menjadi bagian dari Teater Putih Universitas Mataram, sedangkan Wikan bergabung dengan Teater Ibnu Battutah yang bermarkas di Desa Pringgasela Timur, Kecamatan Pringgasela.

Salah satu puisi yang dibacakan oleh Elpan, yang berjudul “Ingat Lupa”, berhasil menggetarkan hati saya. Puisi karya Elpan ini memiliki pesan yang sangat mendalam tentang pentingnya mengingat sejarah dan perjuangan dalam melestarikan budaya. Selain itu, puisi ini juga dibawakan dengan sangat ekspresif oleh Elpan. Suaranya yang lembut dan penuh emosi membuat saya merasakan setiap kata yang ia ucapkan. Elpan mampu menghidupkan puisi ini dengan intonasi dan olah rasa yang sempurna. Puisi ini merupakan salah satu penampilan dalam Opening Ceremony ALBD 7 yang digelar pada bulan September lalu.

Puisi tersebut dibacakan dengan penuh penghayatan oleh Elpan. Suaranya yang lembut dan penuh emosi berhasil menyampaikan pesan puisi dengan cara yang sangat menyentuh hati. Elpan mampu menghidupkan puisi ini dengan intonasi dan olah rasa yang mendalam. Saya merasa seolah-olah dibawa ke dunia fiksi yang penuh warna. Saya diajak untuk menyaksikan perjalanan waktu para pemuda Alunan Budaya yang terus berjuang untuk menjaga budaya dan tradisi.

Berikut adalah puisi karya Elpan Suyadi yang berjudul “Ingat Lupa” yang ia bacakan secara khusus pada Opening Ceremony ALBD 7:

“Ingat Lupa”

Rumahku langit di atas kaki gubuk

Bercahaya semangat bumiku menunduk

Apabila siang menyerang mata

Yang terlihat hanya dedaunan jatuh mengerang kesakitan

Dan apabila malam membutakan cahaya

Kata-kata tertidur dipangkuan bapak

Dan Kalimat-kalimat menyelimuti tubuh ibu

Dan aku menyaksikan semuanya


Aku

Adalah anak desa

Dari Timur Nusa Tenggara

Diasuh oleh harapan bertiang semangat

Diasih oleh keinginan berdinding keharusan

Mau ku apakan desaku? tanya kawanku yang mulai membatu

Berteriak salah satu berucap

“Berikan aku sepuluh pemuda akan kuguncangkan dunia”


Mulut kami mulai berebut mencari jalan suara

Suara kami berbusa-busa menemukan akarnya

Daun hidup diakarkan

Ranting kuat diakarkan

Hidup seperti sebuah pohon

Lupa yang menghidupkan sebab yang terlihat hanya kekaguman


Jangan ganggu kami

Biarkan kami menemukannya sendiri

Kalian hanya cukup tertawa menikmati

Bahkan lebih kejam lagi menghujat dan menghakimi

Tapi lihatlah kini

Yang ada di depan kalian adalah hasil dari pertarungan pikiran anak muda

Aku dan kawan-kawanku

Keringatnya yang tidak kalian lihat

Pertengkarannya yang tidak kalian dengar

Kebingungannya yang tidak kalian pahami

Maka simaklah sajakku ini


Kita

Adalah tanda yang harus terbaca ada

Bukan sekedar di ada-ada

Kita

Adalah generasi yang haus akan tanggung jawab

Tumbuh dan terganti

Seperti ritual yang kita jalani

Mati

Hidup

Hidup

Mati

Untuk kehidupan dan kematian

Untuk pergantian dan tergantikan


Tapi jangan menyedihkan diri

Hasil kita malam ini adalah tengadah atas doa-doa orangtua terdahulu

Bapak yang lelah dengan harapan

Ibu yang penat dengan ketakutan


Ibu Bapak

Lihatlah kini

Kami generasi bukan sekedar basa-basi

Kami tidak sekedar

Kami ada

Kami bukan televisi

Apalagi penonton yang haus sensasi

Kami

Adalah anak-anak kalian

Yang kebingungan

Yang kelaparan

Yang gundah

Yang haus

Yang tersesat

Seluruh dahaga kebodohan

Membuat kami haus akan ilmu pengatahuan


Kami ke barat menimba ilmu

Kaki kami tertinggal di sini

Kami berkenalan ke sana kemari seperti orang gila

Tapi kami tahu rumah yang menunggu kami berpulang

Kami adalah anak dari hasil tangis dan kesedihan kalian

Maka nikmatilah segala sesuatu yang ada kini

Hidangan mulai dari tongkat kayu dan batu

Nikmatilah dengan lahap

Dan kami hanya ingin terlelap


Kepada pemikir berikutnya

Jangan tertidur terlalu lama

Bangunlah dari sekarang

Agar desa tetap menjadi tempat yang paling nyaman

Tempat kepulangan yang paling baik dari segala bentuk kepulangan


Ingat lupa

Adalah penyakit kebodohan!

— Elpan Suyadi, 2023