Memahami Penderitaan Seorang Istri

(sebuah catatan kecil atas pertunjukan monolog Prita Istri Kita)

kita lebih menderita dalam imajinasi daripada kenyataan.”
Seneca, Filsuf dan Dramawan Romawi

SELASWARA.COM — Ungkapan terkenal dari Seneca inilah yang terus mengiang di benak saya setelah menyaksikan pertunjukan monolog Prita Istri Kita karya Arifin C. Noer oleh Dela dari Overact Teater selasa malam di Sinergi Kopi, Sawing sebagai rangkaian dari kegiatan Overactour pertama mereka.

Menyaksikan seorang perempuan dari sejak awal mengomeli hampir segala hal tetang rumah tangganya. Mulai dari prabotan rumahnya, pekerjaannya, suaminya, tetangga sampai mantan pacarnya sambil tetap bekerja mengurus rumahnya.

Keinginan dan hayalan seorang perempuan dalam menjalin rumah tangga yang penuh dengan kebahagiaan ternyata adalah sebab utama ia akan menderita dalam rumah tangganya. Bayangannya yang menjauh dari kenyataan itu membuatnya ikut melarikan diri ke dalam pikiran terjauhnya.

Sepanjang pertunjukan, ia mungkin tak berani diam-diam mengemas pakaiannya dan meninggalkan sebuah rumah yang menjadi seting panggung itu, sebab sampai akhir pertunjukan ketika terdengar suara ketukan pintu sebagai tanda kepulangan suaminya, ia masih tak beranjak dari sana. Tetapi, dalam pikirannya, ia telah jauh mengembara ke masa lalunya, berenang-renang di kolam, lalu menari dan jatuh ke pelukan Mas Deni, mantan pacarnya.

Tetapi sekali lagi, semua itu hanya ada dalam pikirannya, bayangan yang sekejap kemudian mengubah raut wajahnya dan membuatnya tambah menderita. Membuatnya semakin meratapi nasibnya yang tak seperti ia bayangkan.

Jika kita perhatikan, sebenarnya nasib Prita ini tidak terlalu parah, setidaknya tidak separah raut wajahnya apalagi nada bicaranya itu. Ia setidaknya masih punya rumah untuk tinggal, makanan yang cukup untuk sehari-hari, juga suami yang bekerja dan berpengasilan tetap. Ia juga punya hiburan yang pada masa itu masih menjadi trend, radio. Akan tetapi hal-hal itu menjadi tidak ada artinya sejak ia mulai melakukan perbandingan. Membandingkan dirinya dengan hal-hal lain seperti masa lalu, pekerjaan, tetangga-tengganya dan ekspektasinya.

Saya tidak sedang membenarkan apalagi menyalahkan tokoh Prita dalan pertunjukan itu. Bagaimanapun, apa yang disampaikan tokoh Prita tentang kondisinya itu benar adanya. Kondisi sosial masyarakat yang penuh ketimpangan, kemiskinan, dan ketidakadilan adalah kenyataan sehari-hari. Sampai hari ini, kita masih melihat banyaknya orang yang mengeluh dan menjadi korban karena kemiskinan, pekerjaan yang tak ideal dan sistem sosial masyarakat yang mengekang.

Sebagai seorang suami dan guru honorer, saya sebenarnya tersinggung oleh ungkapan-ungkapan tokoh Prita terhadap Mas Broto, suaminya, tapi saya juga akan membenarkan hampir semua fakta-fakta yang diungkapkannya perihal masalah-masalah yang bisa timbul karena ketidaksejahteraan sosial. Saya menyadari dan sampai sekarang mengamini bahwa dalam rumah tangga, dapur adalah kunci. Dapur dalam hal ini tidak hanya berarti tempat memasak, tetapi lebih dari itu, ia berarti seluruh kebutuhan ekonomi keluarga yang terpenuhi.

Kembali ke Prita Istri Kita, pertunjukan yang dibuka dengan adegan mengulek sambal sambil mengomel membelakangi penonton itu berhasil menyita perhatian seluruh pengunjung Kafe di Sinergi Kopi. Tak sedikit yang spontan berdiri, merekam dan berbisik-bisik entah apa, seolah peristiwa yang sedang berlangsung di hadapan mereka tidak ada bedanya dengan peristiwa pertengkaran, kecelakaan dan kejadian-kejadian mengejutkan yang sering viral mereka temukan dalam berita dan media sosialnya.

Kemudian saya teringat dengan sebuah catatan kecil soal teater dari sastrawan Kiki Sulistyo yang belum lama ini saya baca:

Apa yang masih penting dari teater di era ketika segala sesuatu sudah menjadi tontonan; ketika tulisan di kertas sudah pindah ke layar; ketika peristiwa sehari-hari yang kocak, brutal, remeh-temeh bisa disaksikan tanpa kita benar-benar hadir; ketika orang-orang bisa saling merekam saat mereka berkelahi?

Catatan yang dibuka dengan pertanyaan itu menyadarkan saya posisi sekaligus—meminjam istilah Kiki Sulistyo— “watak terpenting” teater masa kini yakni selalu kini dan di sini.

Saya pikir, pertunjukan monolog Prita Istri Kita ini sudah termasuk sebuah pertunjukan langka yang dimaksudkan Kiki dalam catatan itu, pertunjukan “yang sanggup memberi kita pengalaman yang berguna untuk memperbarui kemanusiaan kita”.

Terima kasih.