Lawas Pemban Selaparang: Sastra Lisan Masyarakat Sasak

Amaq Maisur (tengah) dan pemukul Klenang lain saat sedang memainkan Klenang Nunggal, Musik Tradisional Pringgasela Selatan. SELASWARA/Bayu Utomo.

SELASWARA.COM — Lawas Pemban Selaparang merupakan salah satu syair tradisional yang dimiliki oleh masyarakat Sasak. Tidak diketahui pasti kapan dan siapa yang menciptakan lawas ini (anonim).

Banyak yang mengatakan lawas ini diciptakan oleh Amaq Raya, seorang maestro yang berasal dari Desa Lenek, Lombok Timur. Namun sejatinya Amaq Raya hanya sebagai penggugah, karena lawas ini sempat hilang eksistensinya.

Pada saat itulah Amaq Raya yang seorang maestro mengangkat atau membangkitkan kembali lawas ini sekaligus mengalih wahanakannya. Pada awalnya lawas Pemban Selaparang ini murni sebagai produk lisan atau sastra lisan, kemudian pada sekitar tahun 1960an Amaq Raya mengkreasikannya ke dalam bentuk gending.

Lawas Pemban Selaparang terdiri dari empat bait dengan masing-masing bait terdapat dua larik atau dua baris. Bahasa yang digunakan dalam lawas ini ialah bahasa Kawi.

Melihat terjemahannya, pesan yang ingin disampaikan yaitu terkait bagaimana menjaga keseimbangan antara adat dan agama untuk mencapai kesejahteraan. Keunikan yang dimiliki lawas ini terletak pada struktur cerita di dalamnya. Berisi kisah antara seorang pemban (raja) dengan kaule (rakyat).

Diceritakan seorang raja yang berpesan kepada rakyatnya untuk selalu menegakkan hukum dan keadilan, dan menjaga adat juga agama.

Secara garis besar pesan yang terkandung dalam lawas ini ialah menjaga keseimbangan adat dan agama. Hal ini senada dengan prinsip utama yang dipegang teguh oleh leluhur masyarakat Sasak sejak dulu ‘ndek ne dengan Sasak lamun ndek ne Islam’ yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘bukan orang Sasak kalau tidak Islam’.

Menyambung hal tersebut, masyarakat Sasak sedari lama juga meneguhkan lima prinsip dasar yang berakar dari prinsip utama tersebut.

Pertama tindih, yang diartikan sebagai patuh dan taat, masyarakat Sasak sejak lama dikenal dengan taat terhadap norma, baik itu norma agama, norma sosial, norma masyarakat, hingga norma bernegara.

Kedua maliq, diartikan sebagai pantangan bagi orang Sasak untuk berbuat sesuatu yang tidak benar atau melanggar norma.

Ketiga likat napak, hal ini diartikan dengan kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri pada posisinya dengan baik. Bagaimana memosisikan diri sebagai anak, sebagai orang tua, sebagai murid, dan posisi atau sikap ketika berada di tengah masyarakat.

Keempat merang, artinya saling berbuat baik terhadap sesama, saling membela dan membantu. Kelima sabar syukur, prinsip terakhir ini bertujuan untuk mengingatkan masyarakat Sasak selalu bersabar dan bersyukur atas semua hal yang terjadi atas kehendak Tuhan.

Kehadiran dari lawas Pemban Selaparang sering dijumpai di acara-acara adat yang sifatnya sakral. Lawas ini dilantunkan untuk mengenang sosok Raja Selaparang yang terkenal dengan kearifannya. Kemudian seiring berjalannya waktu. Lawas ini juga sering ditampilkan dalam pementasan kesenian seperti gendang beleq, dan drama gong. Akan tetapi saat ini drama gong sudah jarang dijumpai.

Berikut teks lawas Pemban Selaparang dan terjemahannya.

Pemban / Raja
Rahayu Ing Kaulade (Semoga selamat dan sejahtera wahai rakyat Selaparang)

Kaule / Rakyat
Inggih, Pemban Selaparang (Iya, wahai Raja Selaparang)

Pemban / Raja
Purwe Sile Dhane Dharme (Tegaknya hukum dan keadilan ialah karena sumbangsih (amal) dan bakti (ibadah) kita.

Kaule / Rakyat
Inggih, Pemban Selaparang (Iya, wahai Raja Selaparang)

Pemban / Raja
Rahayu Ing Adat Game (Semoga selamat dan sejahtera dalam naungan adat dan agama)

Kaule / Rakyat
Inggih, Pemban Selaparang (Iya, wahai Raja Selaparang)

Pemban / Raja
Purwe Urip Makmur Iye (Tegaknya kehidupan sejahtera ialah landasan kemakmuran)

Kaule / Rakyat
Inggih, Pemban Selaparang (Iya, wahai Raja Selaparang)