Kenikmatan Semu, Sebuah Refleksi Filsafat dan Agama

Ibarat seorang pencari kayu yang saya jepret tahun lalu, di sekeliling saya terdapat bencana. Arusnya besar. Saya terombang-ambing. Tidak ada mahluk hidup yang menolong, termasuk manusia. Penolong hanyalah diri sendiri dan Tuhan. “Terdapat sifat iblis dalam diri manusia,” kata Al-Ghazali yang ditulis dalam buku Kimia Kebahagiaan, saya baca beberapa tahun lalu.

Al-Ghazali melanjutkan, “Terdapat sifat malaikat dalam diri manusia”. Yang ketiga, diungkapkan, “Terdapat sifat hewani dalam diri manusia,” paparnya dengan renyah dipahami.

Bencana terkadang dibuat oleh diri sendiri. Begitupula dengan keceriaan dan kebahagiaan. Saya tidak memakai kata kenikmatan atau kesenangan. Sebab, keduanya bisa membuat bencana. Apalagi kenikmatan ilegal. Tapi, bencana tidak hanya membuat menderita, terkadang mendatangkan kabar baik. Gunung meletus yang dapat membuat tanah menjadi subur misalnya. Bencana yang sebenarnya ialah keinginan dan nafsu. Kenikmatan itu semu. Keliru. Keluar dari jalurnya. Bisa jadi bersifat Iblis.

Tidak dinikmati secara fakta. Namun, dinikmati secara ego dan nafsu. Tidak ada pertimbangan, apalagi kerangka berpikirnya. Bisa jadi bersifat hewani.

Mensyukuri yang ada. Kalau lebih, berikan kepada yang membutuhkan, meskipun 0,1 persen. Bila ikhlas dan tulus, kebaikan akan terpental kembali pada diri bisa menjadi 10 persen. Kira-kira begitu maksud para pakar keagamaan. Mungkin ini yang dimaksud Al-Ghazali soal sifat malaikat dalam diri manusia. Kalau dalam puisinya, Joko Pinurbo menulis, “Kurang atau lebih, setiap rizeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi.

Entahlah… paragraf paling banyak mungkin sedang dialami penulis. Atau mungkin anda juga?