Egoisme Pria di atas Ratapan Perempuan

Di antara sampah plastik, koran bekas, kepala ikan, dan kucing yang sudah bosan dengan semuanya. Tengah berdiri seorang perempuan dengan tangan yang membawa satu kantong plastik merah yang entah apa isinya. Mengenakan pakaian yang terbilang cukup bagus untuk berada di tempat itu. Jarak sekitar lima puluh meter, ada seorang pria yang tengah menunggunya, dari kejauhan pria itu tampak gelisah sebab beberapa kali aku perhatikan pria itu awas melihat sekeliling. Dan perempuan yang membawa kantong plastik itu terlihat kilauan air di pipinya, sepertinya dia sedang menangis karena berusaha membendung emosi yang sukar untuk dikendalikan. 

Aku menyadari tampaknya ada suatu hal yang tidak beres di sana. Aku yang baru saja selesai mengobrol dengan seorang pemulung, mengamati perempuan itu dari kejauhan. Perasaanku mulai tidak enak, instingku berkata aku harus melakukan sesuatu. Tapi bagaimana mungkin aku melakukan suatu hal ketika aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. 

Tidak kurang sepuluh menit perempuan itu tetap saja berdiri mematung di tempat yang sama, sesekali pergelangan tangannya menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Ternyata memang benar perempuan itu menangis. Dari kejauhan pria yang menunggunya berteriak memanggil namanya. Suaranya samar terdengar di telingaku karena jarak yang cukup jauh ditambah suara anjing menggonggong di sekitar. Kalau aku tidak salah dengar nama perempuan itu Lina.

Kalau dilihat dari raut wajahnya, perempuan itu seperti gelisah dan terlihat kepasrahan diri dari tangisannya yang tidak kunjung mereda. Selang beberapa saat setelah pria itu berteriak dari kejauhan, perempuan itu merogoh tas yang menggantung dari pundak hingga samping pinggangnya. Ia sepertinya menerima telepon. Dapat aku pastikan yang menelepon adalah si pria karena dari kejauhan pria itu tampak menempelkan ponsel di telinganya. Melihat dari gerak si pria, dia sepertinya kesal karena perempuan itu hanya melihat sekilas panggilan telepon darinya, perempuan itu tidak menjawab telepon yang terus berdering dari si pria. Di situasi itu aku semakin penasaran pada apa yang sedang terjadi di depan mataku. 

Hari semakin sore. Dan aku terus mengamati dari kejauhan sembari kebingungan harus melakukan apa. Perasaanku campur aduk, ingin rasanya menghampiri perempuan itu lalu menanyakan apa yang sedang terjadi. Menanyakan kenapa dia menangis. Atau barangkali ada yang bisa aku lakukan untuk membantu jika dia memang butuh bantuan. Tapi aku tidak bisa berbuat banyak hal, karena melihat ekspresi si pria dari kejauhan seperti ada masalah serius di sana. Tapi pertanyaannya apa masalah yang sedang mereka hadapi. Pertanyaan penasaran seperti itu terus saja bermunculan di benakku. 

Suara azan magrib mulai terdengar, matahari juga sudah hampir terbenam. Perempuan itu menyadari gelap sebentar lagi akan menyelimuti tempat itu. Dengan tangan yang gemetar ia perlahan menaruh kantong plastik merah yang ia bawa sejak tadi di antara tumpukan sampah yang menumpuk dan berserakan. Sesaat kemudian perempuan itu mundur pelan beberapa langkah dan balik badan lalu berlari menghampiri si pria. Perempuan itu menangis, terlihat si pria memeluk perempuan itu berusaha menenangkan. Aku masih belum bisa memahami apa yang sedang terjadi karena hanya bisa menyaksikan dari kejauhan. Tidak lama kemudian mereka pergi dengan tergesa-gesa, seperti halnya orang yang sedang ketakutan. 

Di saat itu aku semakin bingung. Terus bertanya dalam batin tentang apa yang sedang terjadi. Menanyakan kenapa perempuan itu menangis, apa isi kantong plastik merah itu, kenapa mereka pergi terburu-buru seperti orang ketakutan. Pertanyaan-pertanyaan itu terus saja berlarian di kepala. Tidak lama setelah kedua orang itu pergi, aku juga memutuskan untuk beranjak pergi dari sana. Meskipun sebagian dari diriku penasaran akan isi dari kantong plastik yang ditinggalkan perempuan itu. Namun aku tetap memutuskan untuk pergi karena langit semakin gelap ditambah lagi tempat itu tidak ada lampu penerang.

Keesokan harinya sekitar pukul sembilan pagi aku kembali ke tempat itu. Seperti hal yang sudah aku lakukan seminggu terakhir, aku memotret kondisi dan kesibukan di tempat itu. Juga sesekali mengobrol bersama seseorang yang sedang mengumpulkan sampah plastik di sana. Seminggu terakhir aku mengunjungi tempat itu yang aku saksikan hanya tumpukan sampah dan aktivitas para pemulung sebagaimana biasanya. Tidak ada masalah serius kecuali tumpukan sampah yang semakin meninggi setiap harinya. Akan tetapi ada yang berbeda pada hari itu, tidak hanya tumpukan sampah dan orang-orang yang sedang memulung di sana. Ada garis polisi dan juga sekitar enam orang anggota polisi. Terlihat juga beberapa wartawan yang sedang mewawancarai salah satu anggota polisi yang di dada kanan tertulis nama Hafiz . 

Aku mencoba mendekat dan berusaha memahami situasi yang sedang terjadi. Tanpa sengaja aku mendengar keterangan yang diberikan pihak kepolisian kepada wartawan itu. Melihat garis polisi yang membentang, aku langsung teringat perempuan yang kemarin sore berdiri di sana, tepat di tengah garis batas polisi. Aku langsung memahami apa yang sedang terjadi di sana. Sesaat aku melamun teringat kemarin sore ada yang memang terlihat menjanggal dari ekspresi perempuan dan pria itu.

“Ini dia pak, namanya Mas Ranu. Dia yang kemarin sore terakhir berada di tempat ini” suara bapak yang kemarin sore aku ajak ngobrol memecah lamunanku.

Aku sedikit terkejut mendengar bapak yang kemarin sore mengobrol denganku, mengatakan aku yang terakhir di tempat itu kemarin sore. Ia mengatakan itu kepada seorang polisi wanita yang sepertinya sedang mengumpulkan keterangan dari orang-orang yang beraktivitas di tempat itu. 

Selamat pagi Mas Ranu. Dengan saya Adya dari pihak kepolisian. Apa benar Mas Ranu kemarin sore di sini?” tanya polisi wanita itu dengan ramah.

Jujur aku cukup gugup. Karena aku belum memahami apa yang sedang terjadi sepenuhnya di sana. Ditambah lagi pihak kepolisian yang meminta keterangan adalah seorang polisi perempuan atau biasa disebut orang polwan. Namun, aku harus dengan tenang memberikan keterangan yang aku lihat kemarin sore di sana. Karena pastinya ada masalah serius jika polisi harus mengunjungi tempat sampah yang menggunung itu.

Iya benar bu”

“Ada ngga orang selain Mas Ranu kemarin sore di sini?”

Sungguh aku belum memahami sepenuhnya apa yang sedang terjadi di sana. Aku tidak berani menyimpulkan apa-apa karena kemarin sore aku hanya melihat seorang perempuan yang membawa kantong plastik berwarna merah sambil menangis.

“Eee.. Mohon maaf bu. Jujur saya belum paham sepenuhnya apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini. Karena saya baru saja datang beberapa menit yang lalu” dengan sedikit gugup aku mengatakan itu.

“Ada penemuan jenazah bayi Mas” jawab pendek bapak yang mengobrol denganku kemarin sore.

Mendengar jawaban bapak itu, aku langsung spontan mengucap “Astagfirullah…Innalillahi”. Aku semakin gugup dan takut. Pikiranku langsung teringat dengan kantong plastik merah yang ditinggal perempuan itu kemarin sore. Tapi aku tetap tidak berani menyimpulkan sesuatu. Barangkali kantong plastik yang ditinggal perempuan itu berisi barang-barang pemberian mantannya, dia menangis karena dipaksa si pria membuang semua pemberian mantan nya agar cepat move on. 

Aku terus berusaha untuk berpikir positif. Meskipun feelingku mengatakan bahwa mereka pasti ada kaitannya dengan penemuan bayi itu. Tapi tetap saja aku tidak berani menyimpulkan bahwa mereka adalah pelaku sekaligus orang tua dari jenazah bayi yang ditemukan pemulung di antara tumpukan sampah di sana. 

“Jadi gimana Mas Ranu, mungkin ada keterangan yang bisa disampaikan untuk membantu kami dari kepolisian melakukan penyelidikan lebih lanjut?”

Dan kemudian semua yang aku lihat kemarin sore di sana, aku ceritakan kepada polisi perempuan itu. Tidak ada yang kurang juga tidak ada yang lebih. Aku juga menjelaskan ciri-ciri perempuan yang kemarin sore berdiri di tempat itu, mulai dari baju yang ia kenakan hingga warna rambutnya. Untuk ciri si pria, aku tidak bisa memberikan keterangan lebih karena jarak pandang lumayan jauh, yang jelas pria itu mengenakan kacamata. Sembari mendengar ceritaku, polisi perempuan itu mencatat beberapa hal yang mungkin bisa mereka jadikan acuan untuk mengidentifikasi pelakunya.

Setelah selesai menceritakan semuanya, polisi perempuan itu meminta kontak untuk dihubungi jika membutuhkan keterangan lebih lanjut. Tidak lama, aku kemudian meninggalkan tempat itu. Tidak ada gairah untuk memotret seperti hari-hari sebelumnya. Pikiranku dipenuhi dengan perasan yang tidak karuan. Bertanya-tanya apa sebenarnya isi kantong plastik yang dibawa perempuan itu. Apakah kantong plastik itu berisi bayi. Jika iya. Aku terus menanyakan, kemarin sore apakah perempuan itu membawa kantong plastik merah berisi bayi yang masih dalam kondisi bernyawa atau tidak. Jika memang bernyawa kenapa bayi itu tidak menangis. Apakah dia sedang tidur pulas tidak peduli meskipun dia sedang berada di tempat pembuangan sampah yang sudah menggunung. 

Harusnya selepas perempuan dan pria itu pergi aku langsung memeriksa apa isi kantong plastik itu. Karena ekspresi mereka berdua terlihat mencurigakan. Andai saja aku memeriksa kantong plastik itu. Jika memang isinya seorang bayi dan masih bernyawa aku masih bisa segera membawanya ke rumah sakit dan kemudian melapor ke polisi. Atau jika memang sudah dalam kondisi tidak bernyawa setidaknya dia lebih awal ditemukan. Pikiranku terus saja dipenuhi dengan andai-andai dan kecurigaan kepada perempuan dan pria itu.

Rasa bersalah sekaligus penyesalan diri terus menghantuiku hingga beberapa hari. Tapi apa boleh buat, mungkin ini memang garis yang sudah ditakdirkan untuk bayi itu. Dan beberapa hari setelah kejadian itu, aku terus mengikuti media untuk melihat perkembangan pencarian pelaku oleh pihak kepolisian. Kemudian kurang dari seminggu setelah kejadian, aku dihubungi pihak kepolisian. Kata polisi pelakunya sudah berhasil ditangkap setelah identifikasi DNA dan ternyata ada kecocokan dengan terduga pelaku menurut keterangan dari para saksi. 

Lalu kecurigaanku benar, bahwa perempuan yang aku lihat beberapa hari yang lalu di tempat pembuangan sampah itu adalah pelakunya. Tetapi kenapa dia hanya seorang diri. Di mana si pria. Setelah mendengar cerita dari polisi perempuan yang meminta keterangan beberapa hari yang lalu. Si pria ternyata masih belum tertangkap. Menurut pengakuan si perempuan bahwa pria yang bersamanya adalah pacarnya. Pacarnya kabur ke luar kota setelah melihat berita di media tentang penemuan jenazah bayi di tempat pembuangan sampah. Namun polisi sudah mengantongi identitas pelaku dan sedang dilakukan pengejaran.

Cerpen karya Ahmad Rijal Alwi
Malang, Juli 2023