SELASWARA.COM — Media Selaswara kembali mengadakan mini lokakarya dengan tajuk “Pengantar Jurnalisme Musik” pada 17 November 2023 di Bread.are, Pringgasela Raya. Acara ini bertujuan sebagai ruang bertukar pengetahuan bagi anak muda tentang peran jurnalisme terhadap musik, pun sebaliknya.
Redaktur Musik Selaswara, Bayu Utomo sekaligus pemateri dalam mini lokakarya ini memulai dengan menjelaskan sejarah jurnalisme musik di Indonesia. Mulai dari masa pra kemerdekaan, pasca kemerdekaan, era reformasi, hingga masa depannya. Yang menarik, media-media yang membicarakan musik masa itu sudah beragam. Mulai dari tesis, disertasi, radio, surat kabar, hingga terus berkembang ke dalam bentuk yang lebih baru seperti majalah, televisi, hingga memanfaatkan ruang-ruang di era internet seperti hari ini. Kerennya lagi, menurut Bayu, beberapa media musik dahulu bahkan mempunyai pengaruh besar atas pergeseran budaya—Majalah Aktuil.
“Di era Majalah Aktuil, jurnalisme musik punya pengaruh atas budaya saat itu. Hingga sempat muncul kegaduhan, misalnya soal musik gedongan vs musik kampungan, pun soal Koes Plus dengan lagu pop cengengnya yang oleh Aktuil disebut lagu kacang-kacangan atau kuacian,” terangnya di sore yang mendung.
Dari bahasan sejarah, Bayu juga menyoroti tentang bagaimana media musik bisa beradaptasi dengan zaman. Dari media musik yang harus tutup lantaran masalah keuangan, tak mampu mengikuti zaman, hingga upaya mereka yang memilih jalan di media alternatif untuk merawat kecintaannya terhadap musik. “Uang kadang menjadi sebab bagaimana media musik dapat bertahan. Dan seringkali, adaptasi [media] terhadap teknologi yang telat membuat media musik berguguran,” jelasnya.
Pada penjelasannya, Bayu juga menyinggung soal banyaknya media musik yang hanya menyorot soal hal-hal menyimpang. Seperti memburu gosip dari musisi, hingga judul-judul berita media musik yang kerap mengecoh pembaca dengan pemberitaan klik bait berlebihan.
“Jurnalisme musik yang seperti ini tentu memiliki dampak pada pandangan soal musik itu sendiri. Meski saya tak menyalahkannya sebab ini bagian dari marketing di industri musik”, ungkapnya.
Setelah menjelaskan panjang lebar persoalan jurnalisme musik. Bayu mengajak peserta lokakarya buat berpikir tentang bagaimana sebenarnya jurnalisme musik yang baik itu.
“Ada obrolan di dunia soal jurnalisme musik yang baik itu seharusnya menuliskan soal teknik musik yang baik. Namun, jurnalisme musik harusnya menjelaskan dengan mudah pada publik soal musik,” pungkas Bayu menutup pemaparanya.
Diskusi: Menghidupkan Ekosistem Musik
Musisi Solois Bedanada, Ahmad Fery, mengungkapkan bahwa memang musik digunakan sebagai alat perjuangan perdamaian, berserikat, membuat ruang yang menghidupkan ekosistem musik dari lintas disiplin keilmuan untuk beradaptasi di era sekarang.
“Sekarang, era kolaborasi saya kira untuk beradaptasi jurnalis musik harus berserikat misalnya seperti Asosiasi Jurnalis Musik Indonesia (AJMI). Saya contohkan Glenn Fredly membangun gerakan bersama Handoko Hendroyono menciptakan ruang atau ekosistem yang tetap menghidupkan musik seperti dibangunya Mblok dan menghidupkan kembali Lokananta, dan Kios Ojo Keos yang menjadi ruang buat membahas musik,” cerita Fery.
Melawan Dominasi dan Jurnalisme Musik di Luar Algoritma
Moderator mencoba memantik dengan pandangan yang agak luas tentang pengaruh Counter Culture atau budaya tanding dari gerakan yang muncul di era 70 yang menentang rasisme, militerisme, dan eksploitasi pada era perang Vietnam. Perlawanan pada apa yang dianggap dominan pada era itu melahirkan apa yang diistilahkan sebagai subculture. Dan bagaimana kita memilih ratusan ribu musik yang disodorkan algoritma dari layanan aplikasi pemutar musik.
“Fery menanggapi dengan berkata bahwa hegemoni dalam musik memang harus dilawan. Dan upaya baik tersebut bisa kita lihat dari acara di “Lotim Invasion” di Kingsman kemarin yang menampilkan musisi dari band Lombok Timur untuk tampil di Kota Mataram. Saya kira ini baik buat menentang dominasi ini, buat mengingatkan, ” jelasnya.
Bayu menjelaskan ihwal algoritma yang menentukan selera bermusik kita juga sangat tidak direkomendasikan. Sebab, akan terjadi paradox of choice atau paradok yang menawarkan rekomendasi dari banyak pilihan, tapi akhirnya karena terlalu banyak pilihan orang jadi tidak memilih.
“Saya kira kita harus menghindari gelembung pilihan dari algoritma yang hanya menawarkan musik yang itu-itu saja,” ungkap Bayu menanggapi.
Bayu menyoroti dari lokakarya ini bahwa dari awal kelahiran hingga hari ini jurnalisme musik tak pernah mati. Ia selalu ada, dan terus beradaptasi dengan zaman.