SELASWARA — Mata air itu tidak pernah lelah mengalir. Di sekitarnya, suara gong, rebab, dan denting gendang membaur dengan tawa anak-anak yang menonton di antara rimbunnya pohon bambu. Molang Maliq Mualan Benyer kembali digelar, 22 Juni 2025 — tanpa hingar bingar sponsor, tanpa baliho raksasa, hanya dengan semangat warga yang sepakat menjaga warisan leluhur di bawah rimbun pohon kelapa.
Tahun lalu, perhelatan ini dihidupkan lewat dukungan Dana Indonesiana dari Kementerian Kebudayaan. Tapi tahun ini, Molang Maliq Mualan Benyer berdiri di kaki sendiri. Gotong royong, patungan, dan tangan-tangan muda yang bekerja keras menjadi napas di balik acara yang sederhana namun hangat ini.
Gotong Royong dan Ritus di Tengah Mata Air
Sehari sebelum puncak acara, warga bergotong royong membersihkan kawasan Mualan Benyer. Para ibu membawa beras ke mata air — sebuah ritus Pesuq Beras — mencuci beras sambil memanjatkan doa. Malamnya, panci dan kuali menyala di dapur-dapur warga. Bau masakan kampung menandai rasa syukur dan antusiasme akan esok hari.
Tanggal 22 Juni pagi, warga berdatangan. Dari anak-anak, orang tua, hingga para tamu yang diundang. Akeu Surya Panji, Ketua Perkumpulan Seni Menduli Selayar, membuka perhelatan dengan nada optimistis. “Kami tetap konsisten karena ini soal merawat sumber air dan budaya kami sendiri,” ucapnya.
Dari atas panggung kecil di pinggir kolam, Junaedi, Sekretaris Desa Telagawaru, menyampaikan rasa bangga atas kebersamaan warga.
Disusul sambutan Arpin, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lombok Timur, yang menegaskan apresiasi pemerintah pada usaha warga menjaga mata air sebagai sumber hidup — dan kebudayaan sebagai sumber jati diri.
Generasi Muda Ambil Alih Pentas
Tahun ini, sorotan utama jatuh pada generasi muda. Jika di tahun pertama panggung dikuasai seniman senior, maka kali ini barisan Bajang Benyer — kelompok muda desa — menjadi penampil utama.
Mereka mementaskan kreasi ritual Kebangru’an, lahir dari tangan Irma Septiana dan dikembangkan bersama Vicka Yulia, dua murid seni dari Yuga Anggana yang kini tumbuh menjadi pendidik di desanya sendiri.
Yuga Anggana, pendamping proses sekaligus pegiat seni, menekankan bahwa hampir seluruh panitia dan pengisi acara adalah anak muda.
“Ini jadi bukti proses enkulturasi berjalan. Nilai budaya, semangat merawat alam, dan kearifan lokal berhasil diwariskan,” ujarnya.
Seni, Tradisi, dan Nafas UMKM
Tak hanya pentas dan ritus, perhelatan ini menghidupkan denyut ekonomi desa. Sekitar sepuluh pelaku UMKM lokal berjajar di sudut acara, menjajakan penganan tradisional, kerajinan tangan, dan hasil bumi.
Meski minim promosi, dagangan ludes lebih cepat dari hari-hari biasa. Begitu banyak tangan saling menggenggam: penonton yang lapar, pedagang yang bahagia, dan generasi tua yang tersenyum melihat semua masih tetap hidup.
Tantangan memang terasa: koordinasi teknis, penentuan jadwal agar tidak bentrok dengan aktivitas warga, hingga minimnya dana publikasi.
Namun, semangat gotong royong membuktikan: tanpa spanduk mewah pun warisan leluhur tetap bernyawa.
Menutup di Pinggir Mata Air
Menjelang siang beranjak sore, denting rebab mereda. Ritus ditutup dengan Dzikir dan Doa Bersama. Di pinggir kolam, warga duduk bersila dalam tradisi Begibung — makan bersama di atas daun pisang, menandai syukur, kebersamaan, dan harapan air bening terus mengalir untuk anak cucu mereka.
Molang Maliq Mualan Benyer bukan sekadar perhelatan budaya. Ia adalah cermin kecil bagaimana warisan bisa tetap hidup di tangan generasi muda — meski tanpa sokongan anggaran negara, meski hanya di pinggir mata air, meski kadang harus berjalan perlahan.
Di era yang serba instan, Molang Maliq Mualan Benyer 2025 mengingatkan kita: merawat mata air dan budaya bukan urusan satu generasi, tetapi kerja panjang yang hanya bisa hidup kalau orang-orang muda bersedia turun tangan.
Dan di pinggir mata air itu, suara rebab dan tawa anak-anak masih terdengar — tanda bahwa warisan ini belum padam.

