Ulasan & Sudut Pandang

Mereka yang Terlupakan, Lagi Tersungkur

Catatan dari Lingkar Sirkuit Mandalika Amaq Senum duduk di beranda rumahnya di Dusun Ebunut. Dari kejauhan, ia bisa mendengar raungan mesin yang...

Written by Sri Yuna · 2 min read >

Catatan dari Lingkar Sirkuit Mandalika

Amaq Senum duduk di beranda rumahnya di Dusun Ebunut. Dari kejauhan, ia bisa mendengar raungan mesin yang meraung dari arah selatan—dari sirkuit yang kini jadi simbol kemajuan Pulau Lombok. Setiap suara itu datang seperti mengingatkannya pada sesuatu yang pernah hilang, dan tak kunjung kembali.

Usianya kini empat puluh tahun, sama tuanya dengan konflik agraria di kawasan yang kini disebut Proyek Strategis Nasional (PSN) Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika. Empat puluh tahun juga usia luka, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya—tentang tanah, tentang rumah, tentang hidup yang tak pernah selesai.

Dulu, sebelum hiruk-pikuk sirkuit ini hadir, tanah di mana ia berpijak adalah ladang yang menumbuhkan jagung dan ketenangan. Di sana ada rumah kayu sederhana, kandang ternak, dan suara anak-anak yang berlarian di sore hari.

Kini, tempat itu telah disulap menjadi bangunan megah. Jalan-jalan yang dulu berdebu, kini dilapisi aspal hitam. Tapi di sela-sela pembangunan itu, banyak nama yang terhapus; banyak wajah yang tak lagi punya alamat tetap.

“Saya berharap mendapat penghasilan dari event MotoGP ini,”
Senum, RT 03 Dusun Ebunut.

Harapan sederhana itu kini menjadi satu-satunya pegangan.

Setiap kali event berlangsung, ia menata dagangannya seadanya, menunggu lalu-lalang pengunjung yang mungkin singgah. Tidak ada jaminan, tidak ada bantuan, hanya upaya kecil untuk tak sepenuhnya tersingkir dari panggung besar yang berdiri di halaman rumah mereka sendiri.

Kemegahan yang Tak Memanggil Nama Mereka

Dusun Ebunut hanya berjarak setengah kilometer dari lintasan Sirkuit Pertamina Mandalika. Namun jarak sosial dan ekonomi antara keduanya seolah terbentang berpuluh kilometer. Di satu sisi, sorotan lampu, parade sponsor, dan riuh tepuk tangan menyambut pembalap dunia. Di sisi lain, sunyi, gubuk-gubuk kayu, dan warga yang menggantungkan harap pada penonton yang lewat.

“Saya hanya ingin ikut berpartisipasi menyukseskan acara ini, karena saya tidak punya modal untuk berjualan.”
Rasip, warga & tukang ojek musiman MotoGP.

Bagi Rasip, partisipasi bukan soal keuntungan, tapi tentang keberadaan. Tentang perasaan masih diakui di tempat yang dahulu miliknya.

Ia menjemput rezeki musiman dengan motor tuanya, membawa penonton dari satu gerbang ke gerbang lain. Tak ada izin resmi, tak ada seragam, hanya tekad untuk tetap hidup di tanah yang semakin asing.

Sementara itu, Minip — warga lainnya — masih mengingat jelas langkah-langkah sepatu yang datang ke rumahnya. Bukan tamu, bukan tetangga, melainkan orang-orang berseragam dari pihak keamanan swasta yang disebut Vanguard.

“Mereka datang ke rumah saya, mencatat nama dan posisi rumah kami. Katanya, ada rencana pengosongan setelah MotoGP.”
Minip, warga Dusun Ebunut.

Suara mereka datar, dingin, seperti prosedur yang tak bisa ditawar. Bagi Minip, itu bukan sekadar berita, tapi bayangan mimpi buruk yang kembali menghantui. Sebab dalam sejarah panjang Ebunut, penggusuran bukan hal baru; ia adalah kata yang diwariskan, diulang-ulang, sampai jadi trauma kolektif.

Rumah yang Dipilihkan, Bukan Diperjuangkan

Bagi pemerintah, penyelesaian konflik agraria sering kali berarti memindahkan masalah ke tempat lain. Mereka menyebutnya “relokasi layak huni”, di Bukit Ngolang.

Namun bagi warga, Bukit Ngolang adalah pembuangan yang halus. Tempat yang tak menyediakan penghasilan, jauh dari pesisir, dan tak bisa memberi makan ternak mereka.

Beberapa menerima dengan pasrah, sebagian lain menolak. Tapi pertanyaan yang selalu mengalun di bibir mereka tetap sama:

“Bagaimana mungkin kita memiliki pilihan hidup, jika pilihan yang kita pilih, telah dipilihkan?”

Kalimat itu bergema seperti doa yang patah.

Di Bukit Ngolang, udara terasa asing. Tak ada suara ombak, tak ada ladang yang hijau, hanya perbukitan kering yang menyimpan getir. Di sana, kehidupan terasa seperti kontrak yang tak pernah mereka tanda tangani.

Kemajuan yang Menghapus Akar

Modernitas datang membawa jargon kemajuan: investasi, multiplier effect, pertumbuhan ekonomi. Namun di Ebunut, yang tumbuh bukan kesejahteraan, melainkan ketimpangan.

Mereka yang paling dekat dengan sirkuit justru paling jauh dari dampaknya. Sementara pemerintah menulis angka-angka di laporan keberhasilan, warga menulis nama-nama mereka di daftar korban.

Inilah wajah ganda pembangunan. Satu sisi penuh sorotan kamera, satu sisi penuh bayangan kehilangan. Ketika negara terlalu sibuk menghitung pendapatan, siapa yang akan menghitung air mata mereka?

Di Antara Debu dan Doa

Hari-hari berlalu seperti biasa. Anak-anak bermain di pinggir jalan, suara motor pembalap terdengar sayup. Di sela tenda-tenda kecil, warga menjual kopi sachet, kacang rebus, dan kerupuk. Setiap gelas kopi yang terjual bukan sekadar transaksi kecil, melainkan simbol perlawanan: cara mereka berkata “kami masih di sini.”

Mereka tahu, setelah riuh ini usai, setelah sorak penonton mereda, mungkin esok pagi ada surat peringatan di pintu, atau garis cat putih di dinding rumah — tanda yang dulu pernah mereka lihat, tanda yang berarti: waktumu hampir habis.

Namun kali ini mereka memilih tidak diam.

Karena yang tersisa bagi mereka hanyalah tekad dan persatuan.

Dan dengan itu, mereka bertahan — bukan karena ingin menang, tapi karena tak ada lagi tempat untuk kalah.

Di balik gemuruh mesin balap, ada suara-suara yang nyaris tak terdengar.

Mereka bukan penonton.

Mereka adalah penjaga tanah, yang perlahan disingkirkan dari sejarahnya sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *