Ulasan & Sudut Pandang

Merawat yang Tumbuh, Menjaga yang Bertahan

SELASWARA.COM — Pringgasela adalah kisah yang tak pernah selesai. Ia bukan sekadar rentetan angka dalam laporan statistik, bukan pula sekadar lanskap indah...

Written by Bayu Utomo · 2 min read >

SELASWARA.COM — Pringgasela adalah kisah yang tak pernah selesai. Ia bukan sekadar rentetan angka dalam laporan statistik, bukan pula sekadar lanskap indah yang menunggu untuk dikunjungi. Ia adalah denyut kehidupan yang terus bergetar, mengalir dalam sungai-sungai, terjalin dalam serat kain, terucap dalam doa yang berulang di setiap helai tenun.

Pringgasela, desa kecil di kaki Rinjani, adalah bagian dari cerita besar itu—sebuah halaman yang tak boleh dibiarkan kosong.

Seperti halnya desa-desa lain yang mencoba berdiri di antara modernitas dan tradisi, Pringgasela memiliki tugas yang tidak ringan: mempertahankan apa yang telah diwariskan, sekaligus membiarkannya tumbuh, menjalar, dan menemukan bentuk baru tanpa kehilangan akarnya.

Pariwisata yang berkelanjutan bukan hanya soal mengundang orang datang, melainkan soal bagaimana membuat mereka pulang dengan cerita, bukan sekadar foto.

Menghidupkan Kembali yang Sudah Ada

Ada yang harus dijaga di sini: sawah yang terbentang luas, air yang mengalir deras, dan tangan-tangan yang masih menenun sejarah. Tenun Pringgasela bukan sekadar motif atau produk. Ia adalah nyawa yang dihirup oleh perempuan-perempuan desa, yang menganyam benang sejak kecil, menjadikannya selimut bagi kehidupan.

Ada kerja keras di setiap simpul, ada ketekunan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tapi zaman berubah. Apa yang dulu dianggap biasa kini harus diperjuangkan agar tetap lestari.

Kita sering kali mengira bahwa menjaga warisan berarti membiarkannya tetap seperti dulu—tidak tersentuh, tidak berubah. Padahal, yang membuat sesuatu bertahan bukan kebekuannya, melainkan kemampuannya untuk beradaptasi. Begitu juga dengan Pringgasela. Ia harus tumbuh tanpa kehilangan identitasnya.

Pariwisata sebagai Ruang Perjumpaan

Pringgasela tidak butuh pariwisata yang serba cepat, yang hanya menjadikan desa ini sebagai latar bagi para pelancong yang sibuk mencari swafoto terbaik. Desa ini butuh pertemuan yang lebih dalam, sebuah ruang di mana orang-orang bisa memahami bahwa menenun bukan sekadar pekerjaan, tetapi bentuk perlawanan terhadap waktu.

Bahwa sawah yang mereka lewati bukan sekadar pemandangan, melainkan lambang ketahanan pangan yang dijaga dengan keringat dan doa.

Pariwisata yang dikembangkan di sini haruslah yang membangun keterhubungan. Misalnya, galeri tenun bukan hanya tempat menjual kain, tapi juga ruang bercerita, tempat pengunjung bisa merasakan bagaimana tangan-tangan itu bekerja, memahami filosofi yang tersimpan dalam setiap motif, dan bahkan mencoba menenun sendiri.

Begitu pula dengan sawah dan sungai yang menghidupi desa ini—ia bisa menjadi ruang pembelajaran, tempat orang bisa belajar tentang ekologi, tentang siklus air, tentang bagaimana manusia dan alam harus berjalan bersama.

Namun, semua itu tidak bisa berjalan sendiri. Kesadaran kolektif harus dibangun, agar masyarakat lokal tidak hanya menjadi penonton dalam geliat pariwisata, tetapi juga aktor utama yang menentukan ke mana arah pergerakannya. Pendidikan menjadi kunci.

Generasi muda harus diajak memahami bahwa identitas mereka bukan beban, tetapi modal. Mereka harus melihat bahwa tenun bukan sekadar kain, tetapi juga cerita yang bisa mereka kembangkan dalam berbagai bentuk, dari mode hingga seni instalasi. Bahwa sawah bukan sekadar tempat bertani, tapi juga ruang edukasi yang bisa dihidupkan kembali.

Pariwisata berkelanjutan juga menuntut kemitraan yang cerdas. Tidak cukup hanya mengandalkan pemerintah atau investor, tetapi juga harus melibatkan komunitas, akademisi, dan para kreator yang bisa membantu menerjemahkan nilai-nilai lokal ke dalam konteks yang lebih luas.

Ini bukan tentang membangun hotel besar atau menjadikan desa ini ‘terlalu wisata’. Ini tentang bagaimana kita bisa memperkenalkan Pringgasela kepada dunia tanpa membuatnya kehilangan dirinya sendiri.

Akhirnya, yang paling penting dari semuanya adalah kesadaran: bahwa apa yang kita miliki hari ini bisa hilang jika kita tidak menjaganya. Alam yang rusak, budaya yang hanya tinggal nama, desa yang kehilangan jiwanya—semua itu bukan sekadar kemungkinan, tetapi ancaman nyata jika kita tidak bertindak dengan hati-hati.

Pringgasela harus tetap menjadi Pringgasela. Sebuah desa yang tetap hidup dalam setiap helai kainnya, dalam setiap tetes air yang mengalir dari sumbernya, dalam setiap pertemuan yang melahirkan pemahaman baru.

Pariwisata bukan tujuan akhir, melainkan jembatan agar desa ini terus bernapas, terus tumbuh, dan terus menjadi bagian dari cerita yang belum selesai.

Informasi dan data yang digunakan dalam tulisan ini mengacu pada tulisan “Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan Desa Pringgasela” yang ditulis oleh Abdul Hafiz sebagai sumber utama. Beberapa bagian telah diadaptasi dan dikembangkan dengan pendekatan penulis untuk memberikan kedalaman pemahaman terhadap isu yang dibahas.

Written by Bayu Utomo
Merayakan hidup dengan cara paling amatir~ Profile

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *