Di ladang-ladang tembakau yang dulu menjanjikan, kini hanya tersisa harapan yang mengering bersama daun-daun yang gagal panen.
penulis: Hidayat ()
Di tengah lanskap pedesaan pulau lombok yang penuh harapan, seiring tahun keluhan lirih dari para petani tembakau konsisten terjadi. Mereka tidak hanya menghadapi musim yang tak menentu, tetapi juga sistem ekonomi dan politik yang tidak berpihak.
Krisis iklim dan ketidakberdaulatan kaum tani telah menjelma menjadi dua sisi mata uang yang menekan kehidupan agraris dari segala arah. Dalam beberapa tahun terakhir, petani tembakau terus dihadapkan pada kondisi yang sama: cuaca ekstrem, gagal panen, dan harga jual yang tidak stabil.
Dulu waktunya kapan turun hujan dan kapan musim kemarau, prediksi kami selalu tepat. Namun kini tidak bisa lagi, kalimat yang sering dikatakan petani.
Petani tembakau sangat bergantung pada siklus musim yang stabil untuk menanam dan memanen. Namun, kini yang terjadi pada musim menanam pada bulan Mei hujan terus berlanjut seharusnya sudah masuk musim kemarau dan pada musim panen pada bulan Agustus hingga September seharusnya bulan terakhir untuk musim kemarau namun hujan ekstrem terjadi.
Alhasil saat masa panen berlangsung. Akibatnya, kualitas daun tembakau menurun, serangan hama meningkat, dan petani terpaksa panen dini dengan hasil yang jauh dari harapan.
Menanam tembakau biasanya dalam 1 hektar membutuhkan biaya hingga 50 Juta, cukup mahal daripada menanam jenis pertanian yang lain. Biaya ini mencakup benih, pupuk, pestisida, tenaga kerja, dan pengolahan pasca panen.
Sebagian besar petani terpaksa berutang untuk membiayai produksi, dengan harapan hasil panen akan menutupi utang tersebut. Namun, fluktuasi harga dan gagal panen membuat utang justru menumpuk dari tahun ke tahun. Ini menciptakan siklus utang tahunan yang menjebak petani dalam ketergantungan dan kerentanan ekonomi.
Cuaca dan iklim sering dipahami sebagai hal yang serupa. cuaca merupakan kondisi atmosfer di suatu wilayah dalam waktu singkat yang berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari.
Sedangkan iklim merupakan perubahan pola cuaca dalam jangka waktu yang panjang dan skala yang lebih besar daripada cuaca mulai dari perubahan pola angin global hingga pemanasan global yang dapat mempengaruhi perubahan ekosistem, ketersediaan air dan aspek penting lainnya dalam kehidupan.
Kondisi krisis iklim yang dihadapi oleh petani tembakau bukanlah fenomena alam semata, melainkan gejala sistemik dari kerusakan ekologi global. Indonesia sebagai negara tropis, merasakan dampak dari ksploitasi sumber daya alam yang masif.
Pemerintah justru memberi ruang luas kepada investor untuk ekspansi tambang, perkebunan sawit, dan pembangunan infrastruktur melalui proyek strategis nasional (PSN) dan Ibu Kota Negara (IKN). Semua ini mengubah ekosistem secara drastis dan memperparah kerentanan iklim.
Di sisi lain, emisi dari industri dan transportasi yang menghasilkan karbon dioksida, metana, dan nitrogen dioksida memperburuk kualitas udara dan mempercepat pemanasan global.
Di tengah ancaman iklim, petani tembakau juga dihadapkan pada sistem pasar yang tidak berpihak. Harga tembakau tahun 2025 mengalami penurunan signifikan dibanding tahun sebelumnya. Seperti yang diungkapkan oleh petani rajang dan Virgina, kondisi tembakau virginia dengan rajang tidak jauh berbeda, baik dari kualitas tanaman maupun harga.
Harga tembakau saat ini menurun dibanding 2023-2024. Tahun ini daun 1-3 dijual Rp 2,3 juta-Rp 2,5 juta per kuintal, sementara tahun lalu mencapai Rp 3 juta-Rp 3,5 juta per kuintal bahkan bisa tembus Rp 4 juta. Daun ke 4-7 dengan kualitas terbaik dijual Rp 4,3 juta-Rp 4,5 juta per kuintal. Padahal tahun 2024 lalu harganya Rp 5 juta-Rp 7-4 juta per kuintal.
Rendahnya harga membuat para petani pesimis bisa meraup keuntungan seperti tahun-tahun sebelumnya. Bahkan terancam merugi kembali.
Harga yang tidak stabil setiap tahunnya adalah cara pemodal dan perusahaan untuk meruap keuntungan agar tetap meningkat setiap tahunnya. Alhasil petani pun akan dibuat tunduk dan disiplin hingga paksaan dari sistem yang berjalan ini.
Akumulasi adalah salah satu dari sifat sistem ini yang termanifestikan dalam kondisi sekarang ini. Para perusahaan bergantung dari hasil petani namun ketika petani menjual hasil panennya berdalih kondisi pasar yang tidak stabil mengakibatkan harga tembakau pun harus turun.
Parahnya, Perusahaan besar seperti PT Gudang Garam bahkan menolak membeli tembakau selama empat tahun ke depan, dengan alasan stok gudang yang masih penuh. Pemerintah hanya memberikan janji komunikasi kepada perusahaan, tanpa langkah konkret.
Hal ini menunjukkan ketundukan negara terhadap korporasi dan mengabaikan perlindungan terhadap petani. Akumulasi keuntungan oleh perusahaan dan ketundukan negara adalah manifestasi dari logika kapitalisme agraria.
Petani tembakau adalah tulang punggung industri rokok dan kretek nasional, namun mereka belum sepenuhnya berdaulat atas hasil kerja mereka. Kedaulatan petani bukan hanya soal memiliki tanah, tetapi juga menguasai produksi, distribusi, dan harga secara kolektif melalui koperasi yang kuat dan mandiri.
Diversifikasi produk tembakau menjadi penting agar petani tidak bergantung pada industri rokok, misalnya dengan mengolahnya menjadi pestisida alami, parfum, atau bahan farmasi. Jumlah petani yang relatif sedikit justru menjadi peluang untuk menyatukan kekuatan dan menentukan arah produksi bersama, tanpa tunduk pada logika pasar.
Di sisi lain, pemerintah daerah juga memiliki peran penting dalam menghadapi krisis iklim dan harus menyusun kebijakan yang melindungi petani, menghentikan kerusakan lingkungan, serta mengubah arah kebijakan yang selama ini lebih berpihak pada pasar daripada rakyat.

