Kita memiliki kemungkinan mengalami nasib yang sama dengan fenomena tersebut (kepunahan), bukan karena tabrakan asteroid namun perang nuklir. Perang nuklir memiliki banyak persamaan fenomena yang sama seperti dinosaurus, tapi kali ini benar-benar merupakan kesalahan kita sendiri (Tedx Talks, 2018).
66 juta tahun lalu, sebuah asteroid seukuran gunung bergerak 10 kali lebih cepat daripada peluru senapan serbu yang menghantam laut dangkal yang menutupi apa yang sekarang menjadi semenanjung Yucatan di Meksiko.
Dinosaurus melihat bintang-bintang yang mengeras dan menjadi semakin panas dari atas bumi yang menghantam dahsyat membakar habis bumi, awan asap yang menyelimuti sampai bagian teratas atmosfer dan menghalangi matahari sehingga bumi menjadi gelap gulita, fotosintesis terhenti, tumbuhan dan hewan di laut maupun daratan mati kelaparan dan membeku.
Seorang profesor di Departemen Ilmu Atmosfer dan Kelautan di Universitas Colorado-Boulder, Brian Toon dalam sebuah acara komunitas internasional menegaskan bahwa kita hidup di era yang berbahaya, dimana terdapat 13.000 senjata nuklir tersebar di planet ini dan 9 negara pemilik senjata nuklir sedang dalam konflik satu sama lain. Amerika Serikat dan Korea Utara, Rusia dan NATO, India dan Pakistan, dan baru-baru ini ketegangan antara Rusia dan Ukraina. Karena hanya satu kesalahan, satu kesalahpahaman, satu politisi fanatik semua ini berpotensi memancing digunakannya senjata berbahaya ini.
Sebentar lagi genap 78 tahun peringatan tragedi luar biasa umat manusia disebabkan oleh satu bom atom yang ditemukan kemudian digunakan pada Pesawat Enola Gay oleh Amerika Serikat pada Perang Dunia II di dua kota Jepang yakni Hiroshima dan Nagasaki. Dampak dari ledakan bom atom ini merupakan tragedi kemanusiaan yang mengerikan. Satu bom atom yang diangkut Enola Gay memiliki kekuatan 15.000 ton TNT, seratus ribu orang tewas.
Seiring waktu, bom hidrogen merupakan bom yang lebih kuat diciptakan. Pesawat tahun 1960-an ini membawa 5 bom hidrogen dengan kekuatan 500 bom Hiroshima, tentu saja, Amerika Serikat dan Rusia tidak hanya menggunakan pesawat, mereka memiliki rudal balistik antar benua dan kapal selam nuklir dengan rudal. Satu kapal selam rudal trident dapat membawa seratus bom hidrogen dengan daya ledak 1000 bom Hiroshima (Pesawat Pengebom V, Stekom 2022). Dengan memahami hal ini, kita memiliki gambaran kerusakan dan hilangnya nyawa yang mungkin terjadi jika bom ini pernah digunakan.
Sebelumnya sebuah perjanjian tentang senjata nuklir yang dikenal NPT (Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons) lahir setelah kesepakatan oleh berbagai pihak di dunia pada tahun 1968. NPT bertujuan untuk mencegah penyebaran senjata nuklir dan peniadaan senjata nuklir secara perlahan.
Terjadi klasifikasi antara negara pemilik senjata nuklir disebut (NWS) dengan negara yang tidak memiliki senjata nuklir (NNWS) namun poin ketiga tidak cukup memberikan hasil nyata bahkan jumlah senjata nuklir di dunia semakin bertambah.
Kemudian baru-baru ini, tepatnya pada bulan Januari 2017, PBB mengeluarkan resolusi yang melarang senjata nuklir seperti ranjau darat, senjata kimia dan biologi telah dilarang. Dan Treaty on Prohibition Nuclear Weapons (TPNW) diajukan dengan tujuan memusnahkan keberadaan senjata nuklir. Namun, negara-negara NWS terlihat mengabaikan larangan dan bahkan memboikot pertemuan tersebut sehingga terus bekerja keras dalam mengembangkan senjatanya.
Konsekuensi kemanusiaan yang timbul akibat penggunaan dan uji coba senjata nuklir adalah hal yang cakupan persisnya tidak dapat kita tentukan secara tepat. Dampak senjata nuklir, baik dalam lingkup geografi atau waktu, bisa saja lebih berat dari apa yang bisa kita bayangkan sekarang. Mungkin beberapa pihak meragukan apakah TPNW itu sendiri mampu untuk mengatasi dampak-dampak ini. Namun, TPNW dapat dipandang sebagai suatu kerangka dengan ketentuan komprehensif dan penekanan utama pada upaya pengamanan, visi untuk menghapus senjata nuklir, dan upaya untuk membantu korban-korban. Kontribusi Indonesia terhadap TPNW sangatlah besar.
Tidak hanya menandatangani Traktat tersebut sejak awal, Indonesia juga memiliki peran aktif di proses Open-Ended Working Group (OEWG) yang berlanjut pada Konferensi Negosiasi Traktat Pelarangan Senjata Nuklir – yang kemudian melahirkan sekelompok aturan terkait penggunaan dan uji coba senjata nuklir komprehensif pertama secara global. Pada tataran regional, Indonesia juga terlibat dalam diskusi dan telah meratifikasi Traktat Kawasan Bebas Senjata Nuklir di Asia Tenggara (SEANWFZ). Tertuang dalam halaman 4 “Teraktat Pelarangan Senjata Nuklir” yang dirilis International Committee Red Cross (ICRC) pada tahun 2021.
Bertambah menyebarnya pemilikan senjata-senjata nuklir akan sangat membahayakan perdamaian dunia, karena berarti bertambah besarnya kemungkinan pecahnya perang nuklir. Negara-negara menyadari bahwa pada tingkat sekarang ini, bila timbul perang nuklir maka tidak satupun negara yang akan dapat mengelakkan diri dari kehancuran. Dalam rangka memajukan kesejahteraan umum bangsa Indonesia, meningkatkan perdamaian dunia melalui Kerjasama dengan semua negara dan badan-badan internasional, Indonesia memandang perlu ikut serta di dalam Kerjasama internasional yang bertujuan mencegah penyebaran lebih lanjut senjata-senjata nuklir, dan dengan harapan agar Indonesia dalam rangka Kerjasama itu dapat lebih lancar mendapatkan manfaat dari penggunaan tenaga nuklir untuk maksud-maksud damai.
Dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, 2014. Pengesahan Konvensi Penanggulangan Terorisme Nuklir. No.59, 2014. Pemerintah Republik Indonesia mendeklarasikan bahwa pada Pasal 4 tidak ditafsirkan sebagai bentuk dukungan, dorongan, pembiaran, pembenaran, atau legitimasi penggunaan atau ancaman penggunaan senjata nuklir untuk tujuan apapun juga. Komitmen Indonesia untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial merupakan amanat dari alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Komitmen ini senantiasa diwujudkan melalui partisipasi dan kontribusi aktif Indonesia di dalam MPP PBB.
Pemerintah Republik Indonesia telah ikut berpartisipasi pada penandatangan perjanjian ini pada tahun 2017. Namun, hingga tahun ini, Indonesia belum meratifikasi perjanjian pelarangan senjata nuklir (TPNW). Ratifikasi dari Indonesia akan secara signifikan memperkuat kekuatan komunitas internasional dalam menekan Sembilan negara nuklir untuk melucuti senjata nuklirnya karena posisi Indonesia sangat diperhitungkan sebagai negara menengah dan koordinator kelompok kerja pelucutan senjata dari Gerakan Non-Blok. Meratifikasi TPNW merupakan bentuk konkret kebijakan luar negeri untuk menciptakan ketertiban dunia.
Kedudukan Indonesia dan dampak penggunaan senjata nuklir atau eksistensinya telah dapat dipahami di atas, namun pada kenyataannya Indonesia yang notabenenya merupakan salah satu aktor penting dalam isu keamanan internasional belum menunjukkan keseriusan memberikan keputusan akhir tentang isu TPNW.
Penulis: Imam Andriansyah (Sarjana Hubungan Internasional)
Editor: Ilham Lazuardi
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan sikap editorial Selaswara.