Gangguan Telinga, Sebuah Dampak Buruk Gerakan Literasi

Saking seringnya mendengar kata ‘literasi’, telinga saya yang sensitif kadang mendengung terganggu sendiri ketika kata itu digemakan di ruang-ruang formal, di forum-forum diskusi, juga di konten-konten media sosial.  Begitu juga ketika saya memulai tulisan ini, bukan soal kata itu tersusun oleh rangkaian bunyi atau fonem yang aneh, tapi peristiwa-peristiwa tak masuk akal yang berlangsung terus menerus dan bersembunyi di balik kata itulah yang saya pikir penyebab utamanya.

Tidak perlu saya uraikan satu persatu peristiwanya, sebab cukup dengan mengetik kata itu sebagai kata kunci di setiap aplikasi media sosial kita, jawabannya akan hadir di depan mata. Cara mudah menjadi penulis, cetak bukumu sekarang juga hanya dengan (nominal tertentu),  lomba menulis nasional (penulis wajib beli buku), satu guru satu buku, dst. adalah sedikit dari banyaknya contoh.

Mata saya, seperti juga mata banyak pembaca dewasa ini, yang tentu sudah dibatasi cara pandangnya oleh benda super canggih nan candu bernama telpon pintar, mulanya akan sangat tertarik dengan godaan-godaan tadi sebelum akhirnya menyadari betapa hal itu keliru belaka.

Bayangkan saja, fenomena maraknya penerbitan buku yang menjadi penyebab kelangkaan ISBN, berbanding terbalik dengan daya beli dan peningkatan minat baca. Belum lagi kualitas buku yang dihasilkan, apalagi kualitas karya.

Seperti yang beberapa waktu ini terjadi di Lombok misalnya, di balik gegap gempita terbangunnya sebuah iklim sastra yang diusahakan oleh komunitas-komunitas yang berisi para penulis dan penikmat sastra 1 dekade belakangan, tidak juga lepas dari pengaruh buruk gerakan literasi ini.

Fenomena sastra yang konon setelah era reformasi sudah memiliki 3 versi berbeda, yang pertama adalah sastra versi para sastrawan dan kritikus sastra, kedua sastra versi kebudayaan massa dan yang terbaru adalah sastra versi pemerintah, termasuk perpanjangan tangannya adalah gerakan literasi. Dua versi yang saya sebutkan terakhir sering bergandengan tangan dan menjadi sumber masalah dalam perbedaan paradigma.

Hal itu terbukti saat sebuah promosi buku menarik, hasil even pelatihan puisi yang diselenggarakan oleh sebuah penerbit lokal bekerjasama dengan kantor bahasa tingkat daerah lewat di beranda sosial media saya. Tetapi setelah dibaca seksama membuat saya tercengang. Betapa pongahnya pihak penyelenggara, baik komunitas, penerbit dan terutama lembaga atau kantor bahasa yang logonya nampang sangat besar di sampul depan buku itu menurut saya.

Saya melihat betapa sangat tidak pantasnya sebuah lembaga perpanjangan tangan pemerintah, dalam hal ini Kantor Bahasa, mendukung usaha untuk ikut mengkerdilkan para penulis. Bagaimana tidak, para penulis atau (mungkin) calon penulis yang jumlahnya tidak sedikit itu, setelah memeras energinya untuk menghasilkan karya, dipaksa lagi oleh sebuah sistem untuk membayar kembali apa yang telah mereka kerjakan secara materil. Anggaplah  begini kira-kira, jika penulis-penulis ini kita ibaratkan sebagai petani dan karya mereka adalah padi, ini seperti meminta para petani yang dengan sukarela membagikan hasil panennya di massa paceklik kepada negara atau pihak lain untuk dibelinya lagi nanti. Miris sekali bukan?

Penulis yang semestinya medapat apresiasi atau setidaknya mendapat kesempatan menempa proses kreatifnya secara sehat dalam ruang publiknya, malah semakin digiring pada upaya klaim semu berbasis sertifikat penulis dan buku ber-ISBN untuk mengejar target-target tertentu dari program pemerintah.  

Saya sebenarnya sudah tidak asing melihat praktik-praktik semacam ini sebagai pola marketing penerbit rumahan di Indonesia atau self-publishing. Sejak mulai gemar menulis puisi di bangku sekolah menengah dan mulai menyiarkannya sekitar awal-awal tahun 2015, fenomena-fenomena semacam yang berkedok even lomba atau menulis bersama yang seringnya dimotori oleh penerbit-penerbit rumahan (self-publishing)  ini sangat menjamur, sebab dipandang mampu mendongkrak produksi dan oplah dari hasil penjualan mereka kepada para penulis yang jumlahnya mencapai ribuan. Namun seiring berjalannya waktu, saya pikir marketing tak etis semacam ini sudah ditinggalkan lantaran banyak kecaman dan protes, juga tak sedikit yang merasa dirugikan. Tetapi, yang terjadi rupanya malah semakin fatal, keterlibatan lembaga-lembaga pemerintah yang seharusnya sebagai kontrol malah menjadi pintu masuk untuk makin menjamurnya praktik ini. 

Saya tidak ingin menuduh atau menyalahkan si A ataupun si B sebagai biang atau dalang, kendati saya tahu ada peran-peran tertentu dalam penentuan strategi dan pengambilan keputusan dalam suatu even/kegiatan, sebab saya pikir ini bukan saat untuk saling tunjuk hidung. Sudah saatnya pengaruh atau budaya buruk itu dilawan dengan kesadaran untuk bersama-sama saling mengingatkan, bukan saling menyalahkan. Sebab dengan itu, ekosistem penulisan kreatif dalam hal ini sastra di Lombok ini akan menemukan bentuk terbaiknya dengan peran seluruh elemen pendukung seperti publik pembaca, penulis, penerbit dan lembaga atau kantor bahasa.

Dan mungkin dengan itu pula, telinga saya tidak akan lagi mendengung dan terganggu jika kembali mendengar kata ‘literasi’ yang sebetulnya punya historis yang panjang dalam membangun peradaban intelektual di dunia.

Terima kasih, selamat menunaikan ibadah puasa.

Tulisan adalah milik penulis dan tidak mencerminkan pandangan dari redaksi Selaswara.