SELASWARA.COM — Perbincangan dengan penulis buku Panorama di Alegria cukup menarik. Sambil menunggu magrib tiba, Zajima Zan membagi pengalaman dan proses kreatifnya terkait buku pertamanya ini. HMPS PBSI Universitas Hamzanwadi, Ikatan Jurnalis Kampus (IJK), dan Toko Buku Alegria menyediakan platform diskusi interaktif lewat acara Bincang-Bincang Bersama Penulis Lombok, Zajima Zan lah sebagai tamu perdananya kegiatan ini.
Bertempat di toko buku Alegria, Selong, pada 16 Maret 2025, gerakan kolaboratif itu mengupas seluk-beluk terbentuknya buku kumpulan puisi itu. Zajima Zan pun memberikan pernyataan yang cukup menarik terkait isi dan dunia yang hadir dalam buku Panorama, begitu juga cara puisi-puisinya dihadirkan.
Salah satu yang menarik adalah konsep waktu yang hadir dalam imaji Zajima Zan; di mana konsepsi waktu yang ia terapkan di puisi-puisi dalam bukunya ini seperti mewujudkan entitas waktu. “Waktu adalah konsep, sebuah medium ruang yang relatif, jadi masing-masing kita, masing-masing kepercayaan dan pandangan saintifik akan berbeda merespon dan melihat waktu,” ujarnya dalam diskusi tersebut.
Ia menjelaskan perihal waktu dalam dunia imajinya atas pertanyaan audiens yang menanyakan kenapa di salah satu puisinya waktu itu mempunyai semak-semak: entitas waktu yang berbentuk fisik ini hadir di dua puisinya, yakni:
Aku tidak bisa merayakan pagi
yang kutahu tinggal embun, menggumpal di jendela,
di semak-semak waktu, mesin pemotong rumput…. Dalam puisi berjudul Pertanyaan;
dan juga ini:
“Tapi aku sudah tidak punya apa-apa
lemariku hanya berisi semak-semak waktu
setiap kubuka, aku hanya melihat masa mudaku yang semu”. Dalam puisi Pada Suatu Petang.
Dari keterangannya, kekuatan puitik pada sebauh puisi berada pada upaya penyair mengotak-atik realitas lingkungannya dengan modal kepelikan sudut pandangnya tentang dunia dan hidup. “Jadi, dengan menerapkan konsepsi waktu yang bersifat relatif, saya mencoba merubah yang fisik pecah menjadi metafisik; begitu juga sebaliknya. Ini semacam, seperti kata Subagio, nilai puitik yang diusahakan hadir lewat bobot-bobot pikiran saya sebagai penyair” terangnya.
Fisik pecah menjadi metafisik maksudnya adalah di mana benda-benda fisik atau yang punya wujud atau ber-entitas dipararelkan dengan yang metafisik sampai ia melebur ke dalam luar-sifat-mulanya, sebagai contoh: Kata-kata menetes ke genangan air//tik… tik… tik…// Sajak pun dingin.
Kata tidak berwujud, ia tidak punya entitas yang bisa disentuh oleh semua panca indra kita, namun di daya puitik Zajima Zan dalam bukunya ini, ia menetes sampai membentuk genangan air. Zajima juga menjelaskan bahwa berangkatnya imaji semacam ini dari konsep waktu yang ia pelajari dari teori Einstein, yakni teori relativitas.
Seperti yang dikatakan di awal, bahwa, waktu (sebuah konsep abstrak/metafisis) dihadirkan punya entitas. Seringkali wujud waktu meminjam fitur alam atau mempararelkan dirinya pada wujud alam sampai ia melebur: semak-semak waktu, daun-daun waktu, langit melengkungkan waktu, …dini hari//luruh ke gang-gang. “Dengan menggunakan fitur alam sebagai wujud waktu dalam imaji puitik saya, saya melihat waktu itu sebagai hutan,” jelasnya lagi.
Baginya, waktu itu semacam hutan rimba yang luas. “Hutan, kan, kalau kita tidak bisa menavigasi wilayahnya, kita akan tersesat. Nah, waktu juga seperti itu. Ketika kita tidak bisa mengendalikan diri kita dalam waktu, ada masalah yang ditimbulkan: gagal move on atau yang lebih parah pengalaman traumatik melekat pada kita. Waktu membuat kita tersesat dengan cara seperti itu,” terangnya.
Wujud waktu berupa hutan ini, tambahnya, pararel dengan teori Enstein sesuai dengan tangkapan dan sudut pandang yang subjektif kepenyairannya. Ia menjelaskan bahwa waktu dalam teori Einstein bersifat relatif. Konsep ini disebut dilatasi waktu. Dilatasi waktu adalah konsep yang menyatakan bahwa waktu dapat berjalan lebih lambat atau lebih cepat tergantung pada kecepatan relatif dan gravitasi. Benda yang bergerak sangat cepat mengalami waktu yang lebih lambat daripada saat diam. Teori ini menyatakan, pungkas Zajima, bahwa ruang dan waktu saling berkaitan erat.
“Dengan begitu, waktu tidak bekerja secara linier, waktu bukan lagi sungai yang mengalir. Ia sebagai sungai yang membeku. Dengan persepsi ini, konsep relativitas memandang masa lalu, masa sekarang (kalau ini ada), dan masa depan muncul bebarengan,” yakinnya.

Pernyataannya ini dibarengi dengan contoh terkait keunikan konsep waktu Einstein ini, yakni cara kerja cahaya matahari menuju bumi. “Cahaya matahari di sore ini adalah cahaya dari delapan menit sebelumnya pada waktu di matahari. Ambil contoh yang lebih sederhana, jika waktu kita sekarang ini matahari tiba-tiba kehilangan cahaya, maka kegelapan yang akan sampai ke bumi akan terjadi 8 menit kemudian dari waktu peristiwa itu terjadi. Maka dari sini, saya melihat, persepsi masa sekarang itu menjadi samar-samar sebab yang terjadi saat peristiwa itu adalah masa depan dan masa lalu bermunculan secara bersamaan, di mana kegelapan yang hadir di bumi adalah masa lalunya matahari 8 menit yang lalu, atau masa lalunya matahari akan menjadi masa depan bumi pada 8 menit kemudian,”.
Itu sebabnya, lanjutnya, waktu di dalam buku ini tidak bekerja secara linier, bukan sebagai sungai yang mengalir, tapi waktu dengan persepsi sungai yang membeku. Itu sebabnya, dalam puisi Panorama itu, bagi penyairnya, waktu itu meluas, karena kalau linier masa lalu dan masa depan dipisah oleh masa sekarang. Sementara dengan wujud yang meluas, masa lalu dan masa depan muncul secara bersamaan. Dalam imaji penyairnya, melalui konsep relativitas, masa sekarang itu terjadi ketika masa lalu dan masa depan muncul secara bersamaan.