Hawa dingin menusuk, bercampur dengan panas yang membakar kulit. Langit merah seperti api neraka. Asap hitam pekat memenuhi udara, mengaburkan setiap sudut pandang dan menyusup ke dalam paru-paru yang sudah lelah menghirup kehancuran. Di sudut ruangan yang nyaris roboh, Asyja duduk memeluk erat adiknya, Hazzafa. Tubuh kecilnya menggigil, bukan hanya karena udara yang tak bersahabat, tetapi juga ketakutan. Melalui matanya, Hazzafa mencari jawaban yang tak pernah bisa Asyja berikan.
Pikiran Asyja terus mencari harapan di tengah puing-puing kehancuran. Namun, setiap kali menenangkan diri, suara tembakan dan ledakan kembali menyadarkannya bahwa dunia mereka telah berubah menjadi neraka. Tak ada tempat aman. Tak ada tempat untuk bernapas lega. Mereka terus berjalan menyusuri reruntuhan, debu dan bau mesiu menyertai setiap langkah mereka. Sesekali, Asyja harus menghentikan langkahnya, menarik napas dalam-dalam agar kepanikan tak menguasai tubuhnya. Mayat-mayat berserakan di jalan, beberapa sudah tak bisa dikenali. Ia ingin menutup mata adiknya agar tak melihat, tetapi tangan kecil itu sudah menggenggam erat bajunya.
Namun, bagaimana mungkin seorang anak bisa mengabaikan pemandangan mengerikan itu? Tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain terus melangkah, mengikuti jejak-jejak luka yang ditinggalkan peperangan. Di sebuah tempat perlindungan sementara, mereka menemukan sedikit ruang untuk beristirahat.
Malam itu, Asyja membaringkan Hazzafa di atas selembar kain lusuh, sementara dirinya duduk bersandar di dinding. Matanya menatap langit-langit ruangan yang gelap, berpikir tentang masa depan yang terasa begitu suram. Hari-hari berlalu dengan penuh ketegangan. Asyja bertanya-tanya apakah mereka akan selamat hingga malam. Serangan demi serangan terus terjadi, seolah tak ada akhir dari penderitaan mereka. Semetara, beberapa orang yang mencoba mencari bantuan tak pernah kembali. Ada yang mengatakan mereka tertangkap, ada pula yang menduga mereka tewas di tengah jalan.
Tiba-tiba rudal mendarat tepat di tenda yang berseberangan dengan tempat Asyja dan Hazzafa beristirahat. Semua terbangun, berteriak, menangis, takut dan panik. Tenda itu terbakar bersama orang-orang di dalamnya. Asyja ingin berteriak, ingin menangis, tetapi yang keluar hanyalah deru napas ketakutan. Ia hanya bisa menatap langit, berharap keajaiban turun.
***
Saat kesempatan untuk melarikan diri akhirnya datang, mereka segera bersiap. Dengan langkah hati-hati, mereka berjalan di bawah kegelapan, mengikuti relawan yang menjanjikan tempat yang lebih aman. Harapan mulai menyala di dalam dada Asyja. Mungkin, kali ini mereka benar-benar bisa selamat.
Namun, harapan itu hancur dalam sekejap. Dentuman keras mengguncang udara, disusul dengan cahaya menyilaukan yang membuat tubuhnya terhempas ke tanah. Debu dan puing beterbangan di sekelilingnya. Sesaat, ia kehilangan arah. Lalu, kesadarannya kembali saat Hazzafa terhempas dari perlindungannya.
“Hazzafa!” Ia bangkit dengan panik, matanya liar mencari tubuh kecil itu di antara reruntuhan. Tangan dan lututnya gemetar saat akhirnya ia menemukannya, tergeletak tak bergerak dengan darah mengalir dari tubuhnya yang kecil. “Tidak. Ini tidak mungkin. Bangun, Hazzafa. Kumohon!”
Ia mengguncang tubuh adiknya, mencoba menghangatkannya dengan dekapan, tetapi kehangatan itu sudah pergi. Napas kecil yang selalu ia dengar setiap malam telah hilang. Tubuh yang selalu ia lindungi kini tak lagi bernyawa. Tangannya mencengkeram erat tubuh adiknya yang tak lagi bernyawa. Air matanya bercucuran, membasahi wajah adik kecilnya itu. Jeritan hatinya membuncah dalam dada. Kesakitan yang ia rasakan tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Dunia seakan runtuh di sekelilingnya.
“Aku telah gagal. Aku tidak bisa melindungimu. Maafkan aku. Maafkan aku.”
Asyja ingin menyerah. Kehancuran telah merenggut rumahnya, keluarganya, dan yang paling parah adalah harapannya. Ia ingin tenggelam dalam kegelapan ini, membiarkan dirinya hanyut bersama debu dan nyala api yang masih membakar di kejauhan. Kenapa harus ia yang tersisa? Kenapa bukan orang lain? Dunia ini tidak adil.
Dengan tubuh yang hampir tak lagi mampu bergerak, ia mengangkat adiknya, mendekapnya erat. Tak ada kehangatan di tubuh mungil itu, hanya kesunyian yang menusuk lebih tajam dari pisau. Untuk apa semua ini? Untuk apa ia masih saja bertahan? Dunia sudah merampas segalanya, dan ia masih harus berjalan? Ke mana? Ke tempat yang lebih aman? Omong kosong! Tak ada tempat yang aman, tak ada yang tersisa selain kepedihan. Udara dipenuhi bau kematian, debu menyesakkan paru-parunya, dan matanya semakin buram. Ia melangkah, tetapi seakan tak benar-benar bergerak. Mungkin ini hanya permainan nasib yang kejam. Mungkin ia sudah mati, hanya saja tubuhnya belum menyadarinya.
***
Editor: Eyok El-Abrorii.