Musisi Dadang Pranoto (kiri) dan Nida Havia (kanan) tampil dalam acara “Sounds of Aranka,” menghadirkan suasana hangat dan penuh keintiman melalui harmoni musik akustik di panggung sederhana. Foto: Ghifenk

Siang itu, Aranka Tempasan, Pringgasela, terasa seperti sebuah lukisan hidup. Hamparan sawah hijau membentang hingga ke kaki Gunung Rinjani, dihiasi kabut tipis yang menggantung lembut di udara. Gemuruh air dari sungai Tempasan terdengar, menciptakan harmoni alami yang menyatu dengan kicau burung dan langkah pelan para pengunjung.

Di tengah keindahan alam tersebut, di sebuah bale kayu Aranka Tempasan, saya bertemu dengan Dadang Pranoto—seorang musisi yang telah mengarungi perjalanan panjang selama hampir tiga dekade di dunia musik. Dadang, yang dikenal melalui band Navicula dan Dialog Dini Hari, hadir sebagai guest star di Sounds of Aranka beberapa malam sebelumnya, tepatnya Sabtu malam (21/12).

Suasana malam itu terasa seperti perayaan kolektif, di mana musik, alam, dan audiens saling bertemu. Panggung utama berdiri kokoh di bawah temaram lampu temaram yang menciptakan atmosfer hangat.

Penonton, duduk di bangku kayu, ada juga yang beralaskan rumput alam, berteriak dengan lembut, menikmati alunan musik yang mengalir. Ketika suara gitar tua Dadang mulai terdengar, sunyi seketika menyelimuti kerumunan. Semua mata dan telinga tertuju padanya, seolah larut dalam cerita yang ia petik dari senar gitarnya.

Kembali ke Kampung Halaman

Bagi Dadang, Sounds of Aranka memiliki makna yang sangat personal. Itu adalah kali pertama ia tampil di kampung halamannya setelah bertahun-tahun merantau. Ia mengenang masa kecilnya di Pringgasela, termasuk saat bersekolah di SDN 2, yang terletak tak jauh dari tugu Pringgasela. Kehadiran keluarga dan kerabatnya malam itu menambah kehangatan momen tersebut. “Rasanya seperti pulang, bukan hanya secara fisik, tapi juga hati,” ujarnya sambil tersenyum.

Namun, malam itu bukan hanya milik Dadang. Beberapa musisi lain juga turut memeriahkan panggung, seperti Pewira, Nida Havia, Bedanada, dan Pelvist. Masing-masing membawa ciri khas dan warna musik yang memperkaya acara.

Dalam perbincangan kami, Dadang juga membahas kekuatan lirik sebagai alat komunikasi yang mampu menyuarakan isu-isu penting. Ia percaya bahwa musik adalah media universal, tetapi lirik memiliki kekuatan lebih jauh—sebagai alat perubahan sosial.

“Lirik bisa menjadi alat untuk menggugah kesadaran dan membawa perubahan positif,” katanya. Ia menyebut bagaimana lagu-lagu John Lennon menghentikan perang Vietnam atau konser Joni Mitchell yang menjadi cikal bakal berdirinya Greenpeace.

Salah satu lagu paling personal baginya adalah Saat Semua Semakin Cepat, Bali Berani Berhenti. Lagu ini, katanya, terinspirasi dari tradisi Nyepi di Bali, di mana seluruh aktivitas ekonomi dihentikan selama 24 jam.

Nyepi, lanjutnya, bukan hanya sekadar ritual, tetapi contoh konkret dari aksi hemat energi yang sangat relevan di tingkat global. Tradisi ini, yang melibatkan penghentian aktivitas penerbangan, transportasi, dan ekonomi, telah terbukti mengurangi konsumsi energi secara signifikan, menjadikannya salah satu ritual budaya dengan dampak lingkungan yang nyata.

Komunitas sebagai Fondasi Kreativitas

Selama 28 tahun berkarier, Dadang mengakui bahwa komunitas memainkan peran besar dalam perjalanannya bersama Navicula. “Kami besar di komunitas,” kenangnya. Ia menjelaskan bahwa komunitas menjadi tempat di mana kreativitas tumbuh, ide-ide bertukar, dan kolaborasi dimulai. Diskusi-diskusi kecil dan acara yang digelar secara mandiri menciptakan fondasi yang kokoh bagi perjalanan musiknya.

Acara seperti Sounds of Aranka, menurutnya, adalah cerminan dari ekosistem musik yang sehat. Ia percaya bahwa keberhasilan musik tidak dapat dipisahkan dari sinergi antara berbagai elemen, mulai dari musisi, studio, venue, hingga penonton.

Namun, ia juga menyoroti pentingnya peran penulis dan jurnalis dalam ekosistem ini. “Kalau tidak ada yang menulis dan merekam sejarah itu, kita tidak akan tahu akar musik hari ini,” tegasnya. Ia memberi contoh bagaimana Alan Lomax mendokumentasikan musik blues di tahun 1930-an, yang membuat nama seperti Robert Johnson dikenal hingga saat ini.

Dadang menjelaskan bahwa proses kreatifnya sering kali berawal dari intuisi, tetapi ia menekankan pentingnya pemahaman mendalam terhadap topik yang diangkat. Lagu seperti Bumiku Buruk Rupa dari album pertama Dialog Dini Hari, misalnya, berbicara tentang kekeringan dan perubahan iklim.

“Aku sudah ngomongin climate change sejak 2008, jauh sebelum banyak orang membahasnya,” kenangnya. Lagu ini, katanya, adalah cerminan dari kekhawatirannya terhadap kondisi bumi yang semakin kritis. “Waktu itu aku hanya membayangkan kemungkinan terburuk. Tapi sekarang, apa yang aku tulis di lagu itu mulai menjadi kenyataan,” tambahnya.

Ke depan, Dadang tengah mempersiapkan album baru bersama Dialog Dini Hari dan Navicula. Beberapa materi, katanya, sudah memasuki tahap awal, dengan rencana untuk memulai proses rekaman penuh pada Februari mendatang. Ia juga berharap bisa terus mendukung musisi muda, baik melalui kolaborasi maupun mentoring.

Malam itu, Sounds of Aranka bukan hanya panggung musik, melainkan ruang yang mempertemukan semangat, tradisi, dan keberlanjutan. Dadang Pranoto, mengingatkan bahwa musik adalah perjalanan menuju akar, medium perubahan, dan jembatan antar generasi.