Sebuah Cerpen karya
Ahmad Rijal Alwi
“Waktu itu dia berada di barisanku yang mengangkat tangan kiri untuk mereka, namun karena emosi, aku luput memperhatikan dia justru berjabat tangan” tulis Sinah di salah satu lukisannya.
“Silakan diminum kopinya tuan” begitu kata yang diucapkan oleh pak tua kepada tuan berdasi, yang beberapa menit lalu berbasa-basi ia tawarkan mampir ketika kebetulan lewat depan rumahnya. Atas nama keramahan ia mau tidak mau menjamu tuan berdasi itu karena dasinya yang amat rapi.
Tuan berdasi itu menyeruput kopi yang dihidangkan pak tua. Tidak lupa di akhir seruput ia dengan lega berekspresi “aahhh”. Menyaksikan ekspresi tuan berdasi yang seperti itu membuat pak tua melengkungkan senyuman di bibirnya. Meski demikian, pak tua tidak memulai pembicaraan dengan tuan berdasi. Memilih untuk menunggu tuan berdasi yang memulai percakapan.
“Ada korek?” ucap tanya tuan berdasi.
“Mohon maaf tuan, saya tidak merokok”
“Kompor, ada?”
“Ada di dapur tuan”
“Boleh saya menyalakan rokok di sana?”
Sekali lagi, atas nama keramahan, pak tua mengizinkan tuan berdasi menggunakan kompor di dapurnya untuk sekedar menyalakan sebatang rokok. Kembali dari dapur, tuan berdasi duduk di kursi rotan depan teras lagi. Di isapan ke empat, tuan berdasi membuka pembicaraan dengan menanyakan kondisi pak tua.
“Anda sendirian di rumah ini?”
Pak tua mengiyakan pertanyaan tuan berdasi, karena ia memang sendirian di rumah itu. Istrinya meninggal dua tahun yang lalu. Anaknya sedang berkuliah di luar kota. Terakhir pulang ke rumah dua tahun yang lalu ketika sang ibu menghembuskan nafas terakhirnya.
“Anda seniman atau kolektor?”
“Saya bukan keduanya tuan, saya cuma seorang petani”
“Dari mana lukisan yang memenuhi tembok di dalam?”
Rumah pak tua memang penuh dengan lukisan yang terpajang di tembok rumahnya. Dari ruang tamu hingga toilet pasti ada lukisan yang menempel di tembok. Tidak sedikit juga patung yang berbaris rapi di meja. Rumah pak tua layaknya sebuah galeri seni. Setiap sudutnya dipenuhi dengan karya seni.
“Itu karya seni istri dan anak saya tuan”
Sebagai bentuk kecintaan dan kesetiaan pada sang istri, pak tua tak pernah luput untuk merawat semua karya seni yang ditinggalkan istrinya. Meski sudah bertahun-tahun terpajang, semua karya istri pak tua seperti baru saja rampung dikerjakan beberapa hari yang lalu. Semuanya berkilau. Hal itu murni ia lakukan karena kecintaan kepada mendiang istrinya. Sebab pengakuannya, ia tak memiliki kepandaian dalam berkesenian. Satu-satunya kepandaian seni yang ia miliki adalah merawat karya seni peninggalan istrinya.
“Berapa harga untuk satu lukisan?”
Untuk ketiga kalinya, atas nama keramahan. Bersama senyuman ia menjawab kalau tidak menjual lukisan yang ada di rumahnya. Sudah berapa kolektor yang datang dengan menyebut nominal uang yang tidak sedikit untuk membeli lukisan sang istri. Dari sekian banyak yang datang, pak tua menjawab dengan jawaban yang sama. Seolah sudah template. Ekspresi dan nada ketika ia menjawab persis sama di setiap orang yang datang menawar.
Tuan berdasi kembali menyeruput kopinya. Sepertinya ia hanya basi-basi menanyakan harga lukisan. Dia tidak kebetulan lewat. Memang sengaja untuk mampir. Datang membawa penawaran yang menarik untuk pak tua.
“Bagaimana kalau dibuatkan galeri?”
Mendengar tawaran itu, pak tua tetap dengan lengkungan senyum di bibirnya. Ia tetap berekspresi ramah. Mungkin karena bertahun-tahun berinteraksi dengan lukisan istrinya melalui hubungan spiritual, pak tua bisa membaca apa kemungkinan yang akan terjadi jika ia menyetujui tawaran tuan berdasi.
Melihat ekspresi pak tua. Tuan berdasi tidak langsung menyerah begitu saja. Ia mencoba untuk meyakinkan. Dengan menjelaskan peluang adanya pundi-pundi uang yang akan pak tua dapatkan jika setuju. Juga meyakinkan semua lukisan akan terawat sebagaimana mestinya.
“Jika bapak setuju, dalam waktu setahun bapak mungkin akan pindah dari rumah yang kecil ini. Pindah ke rumah yang lebih besar dan layak”
“Sekali lagi mohon maaf tuan, saya tidak tertarik dengan tawaran tuan”
Untuk sekian kalinya, atas nama keramahan. Pak tua tetap dengan senyuman di bibirnya tidak tertarik menjual ataupun memindahkan lukisan sang istri. Lagi pula, untuk sekedar merawat lukisan-lukisan yang menempel di tembok, ia lakukan dengan sepenuh hati bagai sedang bercinta dengan sang istri. Ia pasti cemburu jika lukisan peninggalan istrinya dirawat oleh orang lain.
Istri dari pak tua semasa hidupnya beraliran seni ekspresionisme. Hal itu terlihat jelas dari semua cat yang tergores di atas kanvas yang memenuhi tembok rumah pak tua. Lukisan sang istri tidak lain tentang ekspresi rasa semasa hidupnya. Terdapat ketakutan, kesedihan, juga kondisi sosial lingkungannya.
Terdapat satu lukisan yang mencolok di ruang tamu. Sebuah lukisan dengan hamparan sawah yang luas. Di sudut kiri bawah tergambar siluet manusia yang sedang melihat persawahan. Sepertinya itu lukisan tentang pak tua yang sedang mengawasi sawah miliknya. Yang menarik dari lukisan itu, di pinggir terdapat jalan raya yang di atasnya sedang melintas mobil kontainer tiga buah. Di spion mobil kontainer, tergantung kecil bendera Thailand di mobil pertama dan Vietnam di mobil kedua. Bendera kecil itu menari-nari tertiup angin persawahan.
Tuan berdasi mulai memperlihatkan ketajaman dasi yang melingkari leher dan menjulur di depan dadanya. Dia mulai mengancam. Anak pak tua yang tidak tahu apa-apa di luar kota terpaksa harus dilibatkan agar pak tua luluh. Pak tua di ancam kalau tidak menyetujui rencana pembuatan galeri, anaknya akan dikeluarkan dari kampus. Tanpa alasan yang jelas.
“Anda sayang dengan anak Anda yang sedang berkuliah? Bagaimana kalau dia tiba-tiba dikeluarkan dari kampus?”
“Tuan tidak bisa mengancam saya. Tuan tidak punya dasar mengeluarkan anak saya yang sedang berkuliah”
“Itu mudah saja pak tua. Saya cukup menelepon rektornya, membuat tuduhan anak anda melakukan kesalahan. Kemudian di DO. aahh masalah selesai begitu saja”
Pak tua tidak gentar sedikit pun. Sepertinya lukisan-lukisan yang menggantung di tembok rumahnya menyalurkan energi. Lukisan itu tidak menggambarkan propaganda. Melainkan perlawanan dari kaum tertindas, kaum marginal yang selalu menjadi korban. Bertahun-tahun pak tua dengan baik menyerap semua energi yang diabadikan istrinya.
Keberanian untuk melawan ancaman dari tuan berdasi pak tua sadari bahwa ia tidak seorang diri. Ia bersama istri dan anaknya. Dan anak dari pak tua mewarisi tabiat dari sang ibu secara penuh. Semisal ancaman itu ia dengar di depan matanya, ia pasti akan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan ayahnya. Tidak akan gentar.
Tuan berdasi terkekeh di kursi rotan teras rumah pak tua. Ia kembali meminum kopinya yang sudah dingin. Pak tua menatap ke depan teras rumahnya dengan ekspresi yang tenang. Tidak tampak ketakutan di raut wajahnya walau ia sedang di ancam.
“Seperti dugaanku, ini tidak akan mudah. Lukisan dari belaian tangan Sinah memang ajaib. Meski dia sudah mati, ia tetap tidak bungkam” jelas tuan berdasi mengingat istri pak tua semasa hidupnya.
“Tuan sepertinya mengenal banyak hal tentang Sinah”
“Bagaimana mungkin tidak, dia yang memperkenalkan saya dengan dunia seni. Sekitar dua puluh delapan tahun yang lalu, ketika saya baru saja lulus kuliah”
Sinah sedang mengadakan pameran waktu itu. Di sanalah kali pertama Sinah bertemu dengan tuan berdasi. Ketika aparat membubarkan paksa acara pamerannya. Tuan berdasi yang membantu Sinah mengevakuasi lukisan-lukisannya. Beberapa lukisan Sinah rusak waktu itu, tidak sedikit juga yang dirampas oleh aparat. Pembubaran paksa pameran dilakukan karena di anggap sebagai provokasi. Lukisan Sinah di katakan berisi propaganda dan merugikan pihak penguasa.
Tidak hanya Rendra, Nano, dan Semsar. Sinah juga mengalami hal yang sama. Adanya upaya untuk membungkam dalam berekspresi seni oleh rezim kala itu. Tapi seperti yang lainnya. Sinah adalah peluru yang sudah melesat ketika pelatuknya sudah ditarik. Sinah tidak bisa dibungkam. Ia terus berteriak atas nama kebebasan ekspresi melalui goresan tangannya di atas kanvas.
“Lalu, atas perintah siapa tuan kesini?”
Tuan berdasi itu terkekeh. Pertanyaan yang di lontarkan pak tua cukup menggelitik baginya. Karena, ia tidak mungkin memberi tahu siapa yang memberikan surat perintah untuk datang ke rumah pak tua. Datang dengan dalih menawarkan pembuatan galeri seni untuk semua karya istri pak tua, tapi siapa yang tahu motif di balik semua tawaran itu.
Bisa saja tawaran membuat galeri seni adalah perampasan karya dengan cara halus. Setelah galeri itu jadi lalu karya di pindahkan, siapa yang tahu ketika launching galeri justru menjadi pelelangan karya. Siapa juga yang tahu kalo bisa saja karya itu di duplikat. Yang asli dijual kepada para kolektor, lalu duplikatnya tetap melamun tanpa arti pada dinding galeri. Atau bisa saja ada skenario yang lain. Setelah galeri itu jadi, tiba-tiba terjadi pencurian karya. Yang di mana pelakunya adalah bagian dari mereka. Lalu di hadapan media, pengelola galeri akan mengatakan “saya akan memaksimalkan semua tenaga dan pikiran untuk menangkap pencurinya”. Bagaimana mungkin pencuri mencoba untuk menangkap pencuri? Beberapa bulan kemudian kasus pencurian galeri itu bisa saja tenggelam begitu saja. Hening. Seolah tidak terjadi apa-apa.
Lalu di dalam rumah-rumah dengan gerbang tinggi, tengah berdansa seseorang dengan perut buncitnya bersama perempuan yang setiap pekan berganti. Berdansa disaksikan oleh lukisan-lukisan hasil curian. Jika bisa menangis, tulisan itu pasti sudah membanjiri rumah itu dengan air mata. Jika bisa berteriak, lukisan itu pasti sudah memecahkan semua kaca rumah itu. Jika bisa bergerak, lukisan itu pasti sedang berdiri di atas puing-puing bangunan yang berhasil di hancurkannya demi keadilan dan kebebasan.
“Pemilik benda ini yang memerintahku datang kesini pak tua. Perintah yang sama seperti yang terjadi dua tahun lalu. Kalau tidak salah, itu hari minggu pagi. Ketika Sinah dalam perjalanan ke gereja” ucap tuan berdasi dengan santai dan belum sempat dipahami oleh pak tua.
Pak tua tidak memahami apa maksud tuan berdasi. Tanpa ada suara teriak. Tidak ada suara kesakitan. Pak tua sudah terkapar di lantai teras rumahnya. Dengan darah segar yang memenuhi dada.
― Malang, Juli 2023