“Ini adalah fakta tunggal bahwa banyak orang yang bertindak condong pada teori fatalisme, sementara sebagian besar orang yang berpikir percaya pada takdir ilahi.”
(Honoré de Balzac)
Saya ingin mengulas album ini sebab energi dalam penciptaanya yang terasa sangat kuat dan serius. Bagiku Barasuara salah satu band alternatif rock dengan penulisan lirik bahasa Indonesia yang tak cuma bagus, tapi magis serta mengena.
Album terbaru mereka “Jalaran Sadrah” memikat ku, karena karya mereka sebelumnya hanya saya dengarkan dan berlalu begitu saja. Tapi di “Jalan Sadrah” nuansa itu agaknya berbeda bagi diri ku.
Dengan penulisan lirik tringual atau memadukan bahasa Indonesia, Jawa, dan Latin. Album ini saya putar berulang kali. Entah ku putar tanpa merasa jenuh.
Sementra ini, mungkin puluhan kali ketika video liriknya rilis 21 Juli 2024 di platform digital. Album ini sangat pas dinikmati saat rasa kalut dan kering dengan makna-makna nihil setiap harinya.
Barasuara mengungkapkan proses penciptaan album ini penuh dengan kepasrahan, seperti tema besar album “Jalaran Sadrah” atau “Karena Pasrah” dalam bahasa Jawa.
Proses kreatif album ini diolah oleh, Iga Massardi (vokal, gitar), Marco Steffiano (drum), TJ Kusuma (gitar), Gerald Situmorang (bas), Puti Chitara dan Asteriska (vokal).
Kenapa nuansa Barasuara begitu pasrah dalam album ini? Berbagai kabar dari rilis resmi mereka menjelaskan proses pembuatan “Jalaran Sadrah” berawal pada Januari 2021. Dalam keadaan sudah tanpa manajer, maupun perusahaan rekaman, dan menuju satu tahun dirongrong pandemi.
Keenam anggota Barasuara berkumpul selama seminggu di sebuah vila di Puncak, Bogor untuk konsolidasi sebagai band serta menulis lagu baru dari nol maupun mengembangkan materi yang dibawa dari rumah.
Dari sana, berlanjutlah proses penulisan lagu serta bongkar pasang aransemen dan rekaman yang berlangsung secara berkala hingga awal 2024 di berbagai studio di Jakarta, termasuk di kantor Barasuara serta kediaman Iga, Marco, Gerald dan TJ.
Saya rasa proses band ini dalam penciptaan album ini patut diceritakan. Band yang sudah menginjak dasawarsa ini tentu tak main-main dengan kualitas musiknya meski dengan banyaknya keterbatasan.
Dasawarsa Bara Barasuara
Menengok balik Band Barasuara telah memulai debutnya tahun 2015 atau sudah menginjak 10 Tahun berkarya di dunia musik dan melahirkan banyak karya dari Single, EP, dan Album.
Band Barasuara telah merilis beberapa album studio, EP, dan single:
1. Album studio:
– Taifun (2015)
– Pikiran dan Perjalanan(2019)
– Jalaran Sadrah (2024)
2. EP:
– PQ-Race dan Perjalanan (2019)
– Memainkan Fana (2023)
3. Single populer:
– “Bahas Bahasa” (2015)
– “Sendu Melagu” (2015)
– “Guna Manusia” (2018)
– “Pikiran dan Perjalanan” (2019)
– “Bangkit dan Berlari” (2020)
– “Fatalis” (2022)
– “Merayakan Fana” (2023)
– “Terbuang Dalam Waktu” (2023)
Menilik Sembilan Track Penuh Kepasrahan
Album dibuka dengan track Antea, saya rasa mereka ingin bicara kefanaan bagi mereka yang ditindas di dunia oleh mereka orang yang punya Complex Tuhan–bersikap seperti tuhan.
Ada dua frasa unik yang dimasukan dalam lirik ini yang menarik Mors vincit omnia adalah frasa Latin yang artinya “kematian mengalahkan segalanya”. Meneng widara uleran adalah sebuah kata bijak Jawa yang artinya “terlihat baik namun sebenarnya buruk”.
Mendengar arasemen musik Antea berdurasi 6:16 menit, terasa elektrik yang kental. Energi pada musik ini mengajak tubuh menari, meskipun lirik dalam musik terasa kelam. Namun, saya berpikir itulah daya musik, bisa jadi Antea yang mengerti perasaanmu.
Etalase Kepalsuan dan Merayakan Fana
Kita adalah pameran
Dari ribuan kegagalan
Etalase kepalsuan
Tanpa jiwa dan kebahagiaan
Dari caraku melihat
Kita lelah bersiasat
Sepanjang di perjalanan
Hanya ada keseragaman
Petikan lirik di atas adalah track 2 Etalase, yang dimulai dengan tabuhan drum Marco Steffiano membuka cakrawala tentang representasi eksistensi individu, kondisi lingkungan kita, dan refleksi atas situasi di zaman kiwari.
Lirik dalam musik ini mengajak berefleksi. Dari persoalan-persoalan psikologis tentang kebebasan individu hingga delusi kebesaran digambarkan dalam lirik lagu ini.
Misalnya comotan lirik soal Bagai katak dalam tempurung// Merasa besar padahal tanggung. Delusi kebesaran digambarkan pada lirik ini tentang orang yang menganggap dirinya besar, tapi hanya menyerap cakrawala pengetahuan yang sempit dari realita. Kemudian ada lirik Lebih terkenal tak lebih baik// Sudah terbukti banyak yang munafik//
Punya orang tua berkuasa// Merasa bebas menganiaya, Iga Massardi pernah merespon pada medsosnya dengan menambahkan “(konstitusi)” di ujung statusnya pada lirik tersebut. Saya pikir sebelumnya ini tentang Mario Dandi, akan tetapi pasnya merujuk ke “Anak Haram Konstitusi” mengutip tajuk majalah tempo pada 16 November 2023.
Ada banyak persoalan yang tidak bisa saya terangkan dari makna lirik ini. Membuktikan luasnya referensi pada penulisan lirik ‘Jalaran Sadrah”, sehingga merangsang kita merasa, berpikir, dan bertanya-tanya.
Angin menghembuskan nafasmu
Menyelam di malamku
Perbedaan ruang dan waktu
Berlabuh di pikiranmu
Suara vokal yang berat membuka lagu “Merayakan Fana” menjadi track yang terasa menggambarkan ketidakberdayaan manusia menghadapi kematian.
Tidak pernah terpikirkan bahwa kehampaan itu sesuatu yang harus dirayakan sehingga musik ini terasa nihilistik. Dan Bersuara mengajak untuk itu. Kehidupan yang sadar dan gagasan tentang kematian yang sadar.
Meski video musik Yogi Kusuma menafsirkan lirik ini dengan eksekusi kondisi eksploitatif dunia pekerja pada 2023 bisa memperkaya sudut pandang kan karya ini.
Pada 2024 divisualisasikan guratan tulisan tangan khas seniman Farid Stevy (vokalis FSTVL) dan kekayaan instrumental musiknya berkat kolaborasi musik orkestra dengan Erwin Gutawa.
Habis Gelap, Fatalis, dan Tentang Ibu
Meski track tadi kelam,”Habis Gelap” semakin menambah kelam sebab kekecewaan peradaban manusia tentang perang, para personil dengan personal mencoba mengabadikan perasaanya dengan kondisi kemanusian di Palestina.
Laporan Palestinian Central Bureau of Statistics (PCBS), sejak pecah konflik bersenjata pada 7 Oktober 2023, jumlah korban meninggal warga Palestina mencapai lebih dari 36.000 ribu jiwa dan 86 ribu lainnya luka-luka. Suasana pesimisme pada peradaban negara dan mesin durjana menjadi refleksi Barasuara dalam lagu ini.
Tak ada penyangkalan, saya begitu suka spirit album “Jalaran Sadrah”, kutipan Honoré de Balzac di awal akan membuka babak ini dengan melebur teori dan spiritualitas. Sebab Album Jalanan Sadrah begitu kental dengan ide-ide Fatalisme.
Pada track “Fatalis” sesuai judulnya Barasuara coba filosofis dengan mengangkat tema Fatalisme yang merupakan pandangan dalam filsafat.
Fatalisme dalam kamus daring britannica.com dikonstruksikan sebagai sebuah pandangan filosofis yang menyatakan bahwa segala sesuatu dalam hidup telah ditentukan sejak awal, dan manusia tidak memiliki kendali atas takdir mereka sendiri.
Para penganut fatalisme percaya bahwa apapun yang terjadi, sudah tertulis dan tidak dapat diubah. Namun, konteks filosofis “Fatalisme” dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, istilah ini mengacu pada pandangan bahwa individu tidak berdaya untuk melakukan apa pun selain apa yang mereka lakukan.
Melalui jepretan Yogi Kusuma, visualisasi foto album Jalanan Sadrah dengan batu karang yang dihempaskan oleh gelombang laut coba direpresentasikan Barasuara.
Seperti mencoba menggambarkan nasib batu yang telah ditempatkan di lautan dan menjadi sasaran terpaan amuk ombak di lautan seumur hidupnya.
Alunan arasmen yang lembut membuka lagu “Biyang” sampai musik berdurasi 5 menit ini tuntas. Biyang atau Byung (bahasa Jawa) artinya Ibu Berkolaborasi dengan Sujiwo Tejo sebagai gerong (sinden laki-laki dalam musik Jawa).
Meski semuanya penuh kepasrahan ada sosok Ibu dalam “Biyang” mencoba menggambarkan sosok ibu bagi Barasuara. Seperti penggalan lirik berikut:
Pesan tersirat mengurai asa
Hati yang berserah kan kian menyerap
Kekalnya peran yang ajarkan rasa dunia
Yang hilang kan tampak
Bagai malam berganti fajar
Isu Kesehatan Mental, Film Sore, dan Kontrol Takdir Pada Manusia
Dalam “Hitam dan Biru” Barasuara seperti sedang membicarakan tentang kondisi kesehatan mental seorang yang mengalami kelam atau diselimuti depresi. Dari pada nilai lama tentang penolakan dan penerimaan diri.
Untuk tidak melihat dunia hanya hitam dan putih atau salah dan benar. Tentu krisis moral yang kalian anut, harus dikelola dengan baik, seperti lirik pada lagu ini:
Coba berhenti, kita bicara
Tentang lukamu, gelap pikiranmu
Di jalan ini, kita tak suci
Kita berusaha, tuk menerima
Apakah kau mengakui
Salahmu yang menghantui
Apa kau terima atau menderita?
Atas semua
Laju terekam, semua yang terucap
(Kesaksianmu bicara)
Salah dan benar, tidak penting lagi
(Kita semua pendosa)
Coba berhenti bicara
Dan kita mulai menerima
Tentang dunia
Saya merasa vidio klip tentang merawat Ayah yang sakit atau demensia adalah kenyataan bagi banyak orang di dunia ini, Terbuang Dalam Waktu” mencoba menggambarkan hubungan kita dengan ayah.
Pemakanan baru lagu ini pada soundtrack film “SORE” yang diputar di bioskop pada Juli 2025 memperkaya tafsiran perasaan kita. Salah satu lirik yang membuat saya tertegun adalah “Kita Kan Tua dan Kehilangan Pegangan”.
Menua dan tak ada lagi hal yang diharapkan baik dalam harta, jabatan, bahkan kondisi fisik yang kita miliki pada ideologi yang kita percayai setengah mati.
Lirik yang memorabel buat saya dan bikin berkaca-kaca yakni:
Kita kan tua dan kehilangan pegangan
Lihat senyummu memberikan kekuatan
Sisa nafasku
Cinta tak kenal waktu menjagamu
Manusia (Sumarah) menjadi klimak dari Sembilan Track Jalaran Sadrah yang merangkum konsep manusia yang dikuasai takdir dan tidak bisa mengubahnya, seperti penggalan lirik ini:
Kita hidup di bawah tujuh langit,
Dunia kan berputar pada porosnya
Kita semua
Dituliskan takdirnya
Langit berhias gemintang, bintang
Bertukar pandangan
Manusia
Debu dalam semesta
(Manusia hidup dalam putaran
Manusia kan ditelan peradaban
Manusia tidak bisa sendirian
Manusia harus bisa memaafkan
Manusia, tangis dan perasaan
Pion dalam keseimbangan
Kita kekal di kepulangan
Kita kekal di kepulangan
Nuansa Hikmat Album Jalaran Sadrah
Bagi saya, mendengar Album Jalanan Sadrah adalah sesuatu yang hikmat sangat pas untuk berefleksi atau bermanifestasi tentang kehidupan dan kematian yang disadari.
Barasuara coba menangkap gambaran situasi kehampaan masyarakat dan individu dari kedukaan pasca dihantam pandemi COVID-19, perang, kondisi kekeluargaan, kejiwaan, hingga konsep filosofi fatalisme, pesimisme, nihilisme, dan eksistensialisme yang membentuk kenyataan akan nasib kita ada di dunia.
Dengarkan Barasuara dan Rayakan Nasib Bersama “Jalaran Sadrah” nya.