SELASWARA — Di Teater Arena, angin malam bertiup dari lorong-lorong Taman Budaya NTB dan membawa aroma cat dinding, kertas poster, dan kopi sachet yang diseduh buru-buru di belakang panggung. Di lantai arena, penonton menutup jarak: ada yang menenteng tote bag berisi kaus band, ada yang masih mengenakan name tag kerja.
Malam itu, Kolosal kembali. Edisi kedua dari Konser Lombok ini tidak cuma menyalakan lampu panggung—ia menyalakan kebersamaan: kru, band, lapak, media, dan penonton menarik tali yang sama pada 9 Agustus 2025.
Kolosal dibuka pukul 16.30 WITA dengan diskusi “Strategi Pengembangan Industri Kreatif di Nusa Tenggara Barat”. Hendro Sugito (ASPPEK) duduk sebagai pembicara, dimoderatori Gilang Sakti R. dari kalangan pelaku media.
Untuk mereka yang datang lebih awal, sesi ini terasa seperti briefing lapangan: bagaimana merawat profesionalisme event, menumbuhkan jaringan, dan menata peran sektor kreatif agar tidak sekadar “datang—manggung—pulang”.
Di luar ruang, tenant UMKM bergeliat—lapak merch band, karya visual kustom, jajanan, sampai komunitas reptil yang memancing rasa ingin tahu penonton. Kolosal bukan cuma konser; ia jadi pasar ide tempat musisi, perupa, kolektif, dan penonton saling menyapa.
Selepas magrib, urutan pengisi terasa seperti peta perjalanan selera. Perase mengayun reggae dan menggoyang arena; The Labman menambah tekanan distorsi; Isvara—kembali ke panggung setelah hiatus—mendinginkan ritme dengan aransemen jazzy.
Lalu jeda itu dipecah The Gokil Boys dengan komedi musik khas Lombok Timur, disambung Albert in Space yang memadukan lirik reflektif dan energi rock. Puncaknya, Tanaman Kaktus mengundang skankin’ massal ala new wave ska—lengkap dengan kolaborasi kejutan bersama Yuga Anggana dan rapper Eggie Ross.
Ada satu catatan: Void batal tampil karena kondisi kesehatan personel. Tetapi keseluruhan rangkaian tetap rapi hingga sekitar 23.00 WITA—penonton menyalami panitia; beberapa meninggalkan arena sambil mengulang bait lagu terakhir di kepala.
Tahun ini Kolosal membawa tema “Raga, Ragi, Ragam.” Raga: tubuh yang menari, bernyanyi, mengangkat monitor, membentangkan kabel. Ragi: fermentasi ide—dibiarkan berproses, memberi “asam” yang membuat rasa berlapis.
Ragam: warna skena Lombok yang memang tak satu nada. Tema ini bukan sekadar kalimat di poster; ia terlihat dalam kurasi acara—membuka sore dengan forum pengetahuan, menghidupkan malam dengan lintasan genre, memberi panggung bagi lapak komunitas, dan merayakan kolaborasi lintas disiplin.
Kolosal juga mengingatkan bahwa skena adalah kerja lintas peran. Di balik sorot lampu, ada jaringan pendukung dari penyedia sound & backline, percetakan, dokumentasi, hingga kurator lapak.
Dukungan banyak pihak—dari Kings Maker, Pepadu Badjang, Taman Budaya NTB, Giga, Barline Audio, Bale Cetak, Backstager, hingga media partner seperti Inside Lombok, Mnow, Harian Musik Lombok, Noise Tenggara, Dinamika Kolektif, Event Lombok, dan lainnya—membuat perayaan ini bergema di luar arena.
Kita juga melihat Teater Arena Taman Budaya NTB kembali menjadi rumah yang fleksibel bagi pertunjukan lintas format. Dari penelitian dan dokumentasi ruang yang dilakukan sebelumnya, arena ini memang dirancang sebagai panggung yang akomodatif—mendorong kedekatan antara penampil dan penonton. Ketika genre berganti, ruang ini cepat “bernapas” ulang.
Karena ia merajut kontinuitas. Banyak skena tumbuh dari euforia satu-dua acara lalu menghilang. Kolosal memilih jalan yang berbeda: mengulang dan memperbaiki.
Dari edisi ke edisi, ia berusaha menaikkan standar: alur yang rapi, sesi pengetahuan, dukungan ekosistem, serta dokumentasi yang tertata—sebagian diunggah kembali oleh penyelenggara dan rekan media di kanal daring mereka.
Kolosal juga memperlihatkan kedisiplinan dramaturgi konser: bagaimana menaruh band, menata jeda, memberi ruang untuk humor, lalu menutup dengan pesta kolektif. Ini bukan sekadar soal siapa yang tampil, melainkan bagaimana alur energi dirancang agar penonton pulang dengan cerita—bukan hanya story.
“Ini Kolosal kedua, dan kemeriahan serta pengelolaannya terasa naik level. Dukungan teman-teman kolektif dan pelaku media sangat luar biasa,” kata Chole, nakhoda acara, ketika kami temui di sisi panggung; ucapannya ditutup dengan jabatan tangan orang asing yang berkata “terima kasih sudah bikin ramai lagi.”
Saat lampu-lampu dimatikan menjelang tengah malam, arena pelan-pelan kosong. Kru merapikan kabel, pedagang menutup lapak, poster dilipat untuk dibawa pulang. Tetapi gema malam tidak berhenti di situ.
Rekap, foto, dan potongan video bermunculan di linimasa—dari unggahan Konser Lombok sendiri hingga kanal komunitas dan partner, menandai bahwa perayaan telah usai namun gaungnya masih bekerja.