SELASWARA.COM — Malam itu, di tengah kerumunan di ACE HQ, saya melihat sesuatu yang tidak biasa: perempuan berdiri di barisan paling depan—bukan hanya sebagai penonton yang sopan, tapi sebagai tubuh yang utuh.
Mereka menyanyi, bergerak, bersorak, dan untuk pertama kalinya, tak merasa perlu menoleh ke belakang setiap lima menit.
Di panggung, tiga band perempuan—The Dare, Little Mascara, dan Ladies First—mengisi ruang kecil itu dengan atmosfer yang terasa lebih inklusif dan membebaskan.
Konser ACE TAKEOVER, yang digelar bertepatan dengan Hari Buruh 1 Mei 2025, bukan sekadar perayaan kolektif.
Ia adalah pengingat bahwa gigs yang menampilkan perempuan bukan hanya soal siapa yang berada di atas panggung, tapi juga siapa yang merasa cukup aman untuk berdiri di bawahnya.
Di luar venue, papan bercahaya bertuliskan “ACE” menyambut siapa saja yang datang. Beberapa anak muda duduk di bawah pohon, sebagian memegang kamera, sebagian hanya mengobrol di meja kayu sambil menunggu giliran band tampil.
Tidak ada tekanan. Tidak ada tatapan berlapis makna. Semua terasa cair.
Selama ini, perempuan hadir di skena musik dalam berbagai bentuk—penonton, fotografer, penjaga meja merch, bahkan musisi.
Tapi seringkali, kehadiran itu dibingkai dengan narasi tokenistik: “band ini keren, apalagi mereka cewek semua.” Seolah-olah perempuan perlu tambahan alasan untuk diakui.
Sebab itu, gigs seperti ACE TAKEOVER penting. Bukan karena mereka eksklusif perempuan, tapi karena mereka membuktikan bahwa ketika perempuan diberi ruang, mereka tidak hanya mengisi panggung—mereka mengubahnya.
“Kami ngajak perempuan maju ke depan buat tukar energi,” ujar Desita dari The Dare. Kalimat ini mungkin terdengar biasa, tapi di ruang gigs yang sering kali membuat perempuan mundur, ajakan itu seperti pintu yang dibuka dari dalam.
Di dalam ruangan, tiga spanduk membentang di balik panggung: “Mataram City Sound,” “ACE People,” dan “#SekitarKuAman.”
Simbol-simbol yang memberi sinyal bahwa ini bukan hanya konser, tapi medan kecil dari sebuah perubahan.
Ruang aman dalam konser bukanlah gimmick. Ia bukan sudut kecil bertuliskan “safe zone” dengan satu relawan berjaga.
Ia dibangun dari cara penyelenggara mengatur tiket dan FDC, dari cara band memanggil audiensnya, dari cara penonton saling menjaga tubuh dan jarak.
Ia dibentuk oleh sikap kolektif yang sadar bahwa perempuan membawa sejarah panjang ketaknyamanan—yang hanya bisa dihapus pelan-pelan lewat pengalaman baru.
“Harusnya tanpa gerakan ruang aman pun, perempuan bisa merasa aman di mana saja dan kapan saja,” kata Kesha dari Little Mascara.
Tapi untuk sampai ke sana, kita perlu terus menciptakan gigs seperti ini—di mana panggung bukan hanya milik mereka yang bersuara paling keras, tapi juga mereka yang selama ini hanya berbisik.
Musisi Pamela menyebut bahwa perempuan membawa latar belakang sosial dan kultural yang berbeda, dan itu memengaruhi cara mereka mencipta.
Musik perempuan bukan varian dari musik laki-laki. Ia adalah bahasa yang tumbuh dari tubuh dan dunia yang berbeda. Dan dunia itu perlu didengar.
Gigs yang penuh dengan perempuan seharusnya tidak mengejutkan. Tapi ketika kita masih menyebutnya “gigs perempuan” alih-alih hanya “gigs”, itu tanda bahwa struktur kita masih timpang.
Masih ada jarak antara siapa yang tampil dan siapa yang diberi izin untuk tampil. Dan jarak itu, seperti banyak hal dalam budaya, hanya bisa dipecah dari dalam.
Karena dalam musik, suara bukan hanya soal nyaring. Tapi soal siapa yang cukup aman untuk tidak dibungkam.