SELASWARA – Banjir Sumatera disebut-sebut karena deforestasi. Hal ini santer dikaitkan ulah oligarki (pejabat politik dan pengusaha untuk kepentingan mereka). Deforestasi atau penebangan hutan dibuktikan adanya tumpukan gelondongan yang mengiringi banjir bandang. Gelondongan adalah batang pohon yang ditebang.
Penebangan hutan dan alih fungsi lahan untuk kepentingan bisnis menjadi pemicu banjir, meskipun cuaca ekstrem juga berperan. Namun, masifnya deforestasi mengakibatkan serapan air tidak kuat.
Data yang dilaporkan Kompas.id menunjukkan, hutan Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat rata-rata hilang 36.305 hektar per tahun. Ini dalam rentang waktu tahun 1990 sampai 2024.
Bila dikonversi per hari, sekitar 99,46 hektar hilang per hari. Angka ini setara dengan hilangnya 139 lapangan sepak bola per hari. Ukuran lapangan sepak bola seluas 7.140 meter persegi berdasarkan standar FIFA.
Hutan-hutan yang menjadi penyangga keberlangsungan hidup dan keamanan masyarakat seharusnya masuk dalam aturan ketat. Kemudian ini harus benar-benar dijalankan.
Pemerintah sepatutnya mengendalikan dan mencegah oligarki. Serta tidak memberi maupun menerima ruang untuk mengusik hutan yang vital.
Bila terdapat pejabat politik yang bermain, harus tindak tegas. Jangan sampai pemerintah justru dikendalikan oleh pemodal. Sebab, pemerintah wajib melindungi masyarakatnya sesuai amanat konstitusi.
Pelarangan Drone Untuk Menyembunyikan Aktivitas Di Hutan?
Hilangnya hutan Sumatera juga tertangkap drone yaitu kamera khusus untuk mengambil foto dan video dari udara. Deforestasi itu kini berdampak terhadap masyarakat. (Anda sudah tahu dampaknya).
Tak lama setelah bencana banjir bandang melanda Sumatera dan Aceh, insiden kebakaran melanda Gedung Terra Drone, perusahaan yang bergerak di bidang teknologi.
Sebagian orang berpendapat kebakaran Gedung Terra Drone berkorelasi dengan bencana banjir bandang Sumatera. Sebab, Terra Drone pernah melakukan survei dan pemetaan perkebunan kelapa sawit di wilayah Sumatera.
Hal itu membuat sebagian orang berspekulasi bahwa, kebakaran Gedung Terra Drone disabotase untuk menghilangkan jejak data alih fungsi hutan menjadi bisnis kelapa sawit.
Di samping itu, Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membatasi penggunaan drone di gunung dan hutan, utamanya yang masuk kategori Taman Nasional dan Kawasan Konservasi.
Terdapat pembatasan dan bahkan pelarangan drone di zona-zona tertentu pada gunung dan Kawasan Konservasi seperti di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS).
Namun sejumlah hal ilegal terungkap pada zona-zona pelarangan. Misalnya ditemukan ladang ganja di TNBTS. Hal itu saat Polres Lumajang Polda Jawa Timur mengembangkan kasus narkoba menggunakan drone.
Pelarangan drone ini kerap kali pada hutan yang menjadi lokasi bisnis ataupun illegal logging. Padahal, penggunaan drone sebagai alat penting untuk memantau dan mengawasi hal yang merugikan atau aktivitas ilegal, utamanya pada hutan yang luas dan sulit dijangkau.
Adanya pembatasan penggunaan drone, apakah strategi untuk menyembunyikan perusakan alam, deforestasi, atau aktivitas ilegal yang menguntungkan orang tertentu?. Bila sebagian atau banyak orang berspekulasi seperti itu, wajar saja. Karena ada bukti dan faktanya.
Bukan tidak mungkin masih banyak penebangan hutan maupun hal ilegal lainnya yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan. Sebab, pejabat politik memiliki kekuasaan untuk melakukan itu. Bila tidak menggunakan drone, agaknya sulit mengetahui.

