Ulasan & Sudut Pandang

Mengapa Kita Harus Menolak Revisi UU TNI: Sebuah Surat Terbuka untuk Demokrasi

Bayangkan sebuah bangsa yang baru saja sembuh dari luka panjang. Luka yang menganga akibat kekuasaan yang terlalu lama bersandar pada senjata, bukan...

Written by Bayu Utomo · 3 min read >
Peringatan Darurat!

Bayangkan sebuah bangsa yang baru saja sembuh dari luka panjang. Luka yang menganga akibat kekuasaan yang terlalu lama bersandar pada senjata, bukan suara rakyat.

SELASWARA.COM — Indonesia pasca-Reformasi adalah negeri yang tengah belajar berdiri di atas kaki sipilnya sendiri. Di tahun 1998, rakyat menyuarakan jerit yang telah lama terpendam: hentikan dominasi militer dalam urusan rakyat sipil.

Maka hadirlah sebuah janji besar: Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan kembali ke barak. Negara akan dipimpin oleh mereka yang dipilih rakyat, bukan yang ditentukan oleh pangkat.

Janji itu kita ikrarkan dalam Undang-Undang TNI No. 34 Tahun 2004. Undang-undang ini bukan sekadar kumpulan pasal—ia adalah kompas moral yang menjaga agar bayang-bayang masa lalu tidak kembali menyelimuti ruang demokrasi.

TNI dalam UU tersebut ditetapkan sebagai alat pertahanan negara, netral dari politik, dan hanya boleh menjalankan peran sipil dalam batas-batas yang sangat terbatas dan terkontrol.

Namun kini, dua puluh tahun setelahnya, revisi atas undang-undang tersebut mengancam menghancurkan pagar yang telah kita bangun bersama.

Revisi UU TNI 2024/2025 bukan revisi biasa. Ia adalah pintu belakang yang, jika dibiarkan terbuka, bisa membawa kita mundur ke masa ketika seragam militer bisa dengan mudah masuk ke dalam ruang-ruang sipil tanpa batas.

Kembalinya Bayangan Lama

Revisi UU TNI membawa tiga perubahan besar.

Pertama, penambahan tugas-tugas non-perang (OMSP) yang memberi TNI peran lebih luas di luar pertahanan.

Kedua, perluasan daftar jabatan sipil yang boleh diisi prajurit aktif.

Ketiga, perpanjangan usia pensiun jenderal bintang empat yang kini bisa mencapai 65 tahun dengan izin Presiden.

Kita perlu bertanya: untuk siapa revisi ini sebenarnya? Untuk rakyat, atau untuk segelintir elite yang ingin memperpanjang kekuasaan melalui kendaraan militer?

Dalam revisi ini, tentara diperbolehkan menduduki lebih banyak jabatan sipil. Dari yang semula hanya 10 posisi, kini bertambah menjadi 14, termasuk di lembaga-lembaga seperti BNPB, BNPT, hingga Kejaksaan Agung.

Ini bukan hanya persoalan jumlah, tapi juga persoalan prinsip. Prinsip bahwa urusan sipil harus dijalankan oleh sipil. Bahwa kontrol terhadap negara harus berada di tangan mereka yang dipilih rakyat, bukan mereka yang diangkat berdasarkan hierarki militer.

Demokrasi Tidak Dibangun dengan Sepatu Lars

Reformasi 1998 bukan permintaan yang lahir dari kehendak elite, melainkan jeritan rakyat yang lelah diatur oleh kekuasaan yang tidak bisa dipersoalkan.

Kita ingat bagaimana tentara dulu bisa duduk di parlemen tanpa pemilu, memimpin daerah tanpa pemilihan, bahkan memimpin kampus, partai, dan perusahaan negara.

Semua itu terjadi karena ada doktrin “dwifungsi ABRI”—ide bahwa tentara bukan hanya pelindung, tapi juga pemimpin masyarakat.

Hari ini, semangat itu perlahan hidup kembali dalam revisi UU TNI. Dengan dalih efisiensi dan “sinergi antar lembaga”, perwira aktif diberi izin menduduki kursi-kursi strategis yang seharusnya menjadi hak warga sipil.

Kita seolah lupa bahwa sinergi yang dibangun di atas ketakutan, bukan kepercayaan, hanya akan menghasilkan negara yang tak adil.

Bayang-Bayang Impunitas

Satu hal yang sering luput dari perhatian publik adalah soal penegakan hukum. Ketika prajurit aktif duduk di jabatan sipil, mereka masih tunduk pada hukum militer.

Artinya, jika melakukan pelanggaran hukum, mereka tidak bisa serta-merta diadili oleh lembaga hukum sipil. Inilah yang terjadi ketika Kepala Basarnas, seorang perwira aktif TNI AU, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Alih-alih mendukung penegakan hukum, institusi TNI justru memprotes: prajurit aktif hanya boleh diperiksa oleh Polisi Militer.

Dengan kata lain, revisi ini memperlebar ruang bagi impunitas. Para pejabat militer yang melakukan korupsi di jabatan sipil bisa berlindung di balik tembok militer.

Dan ini adalah ironi terbesar dari narasi “penertiban dan ketegasan militer” yang sering dibanggakan.

Sebab tidak ada ketertiban yang lebih penting daripada tunduknya setiap warga negara—termasuk tentara—pada hukum yang sama.

Salah satu prinsip utama dalam demokrasi adalah civilian supremacy, bahwa militer berada di bawah kendali otoritas sipil.

Prinsip ini bukan untuk melemahkan militer, tapi untuk memastikan bahwa kekuatan bersenjata tidak pernah digunakan untuk melawan rakyat.

Dengan memperpanjang usia pensiun jenderal dan memberi Presiden kewenangan memperpanjangnya dua kali, kita menciptakan Panglima yang terlalu kuat, terlalu lama, dan terlalu dekat dengan kekuasaan.

Kita tidak sedang membangun sistem pertahanan negara yang modern. Kita sedang membangun military state yang dibungkus dalam jargon kebangsaan.

Apa yang Dipertaruhkan?

Demokrasi adalah sistem yang rapuh. Ia tidak hanya dibangun lewat pemilu, tapi juga lewat keseimbangan kekuasaan, keterbukaan hukum, dan ketaatan pada konstitusi.

Revisi UU TNI, jika dibiarkan, akan menjadi preseden buruk. Ia mengirim pesan bahwa peran sipil bisa digantikan oleh militer, bahwa supremasi sipil bisa dinegosiasikan, dan bahwa sejarah kelam bisa diulang jika kekuasaan terus dibungkam dengan senyap.

Kita tidak sedang menolak tentara. Kita sedang menolak kembalinya kekuasaan tanpa kontrol. Kita sedang mempertahankan mimpi kolektif tentang negara demokratis yang kita bangun dengan darah dan air mata sejak 1998.

Kita Harus Bicara

Mungkin kamu bukan aktivis. Mungkin kamu tidak paham hukum. Mungkin kamu tidak pernah berurusan langsung dengan militer. Tapi kamu adalah warga negara.

Dan sebagai warga, kamu berhak atas pemerintahan yang adil, transparan, dan akuntabel.

Kita tidak bisa lagi diam. Demokrasi tidak akan bertahan dengan sendirinya. Ia harus dijaga, dijelaskan, dan—jika perlu—diperjuangkan ulang. Menolak revisi UU TNI bukan soal politik.

Ini adalah soal mempertahankan warisan reformasi yang menjamin bahwa negara ini tidak lagi dikuasai oleh suara yang paling keras, tapi oleh suara yang paling banyak.

Revisi UU TNI adalah lonceng peringatan bahwa demokrasi kita sedang berada di tikungan tajam.

Jika kita membiarkannya berlalu tanpa suara, jangan heran jika suatu saat nanti, ruang-ruang sipil yang kita perjuangkan dengan susah payah akan kembali dikepung oleh lars, senjata, dan keheningan yang mencekam.

Written by Bayu Utomo
Merayakan hidup dengan cara paling amatir~ Profile

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *