Musik

Membaca Musik, Menggulung Wacana, Merawat Percakapan melalui (Se-)Putar Musik

Written by redaksi.selaswara · 1 min read >

SELASWARA — Sabtu malam di MVP Coffee Company, lampu-lampu temaram memayungi lingkaran kecil meja diskusi. Satu demi satu kursi terisi, kopi dingin berjejer, kertas catatan terbuka. Di hadapan audiens yang menatap serius, Kiki Sulistyo, Gilang Sakti Ramadhan, Pamela Paganini, dan Ross Famz berbagi suara tentang bagaimana musik tak sekadar hiburan, melainkan medan sosial, budaya, dan politik yang layak dipertanyakan — dan diperdebatkan.

Inilah suasana Pesta Perilisan Buku (Se-)Putar Musik yang diselenggarakan kolektif media Beatriff, Sabtu (7/6). Dalam satu malam, kompilasi esai yang sebelumnya hanya hidup di kanal digital Beatriff resmi dirilis ke dalam bentuk fisik.

Bagi para penulisnya, buku ini bukan sekadar arsip, melainkan ruang simpan bersama untuk percakapan yang sering luput di industri musik arus utama.

Lewat sesi diskusi yang hangat, Gilang Sakti Ramadhan — Direktur Beatriff — menekankan bahwa “(Se-)Putar Musik” adalah penanda upaya Beatriff membangun ruang produksi pengetahuan yang lebih inklusif.

Foto-foto yang diabadikan malam itu memperlihatkan lingkar pembicaraan yang intim: Kiki membolak-balik halaman buku, Pamela dan Gilang berbicara bergantian, audiens mencatat, bertanya, tertawa kecil.

Sebagaimana kutipan Gilang dalam rilis resmi, buku ini tidak hanya bicara mekanisme industri musik dari hulu ke hilir, tapi juga persoalan struktural di balik panggung: kerja kolektif, posisi musisi di ekosistem kreatif, hingga suara-suara yang jarang terdengar.

“Buku ini tidak hanya dokumentasi, tapi juga kontribusi aktif dalam membentuk lanskap intelektual musik yang lebih reflektif,” tutup Gilang.

Dari Demo Version ke Album Version

Dalam diskusi, Kiki Sulistyo — editor buku — berkisah bagaimana ia menyeleksi, menyunting, menata ulang setiap tulisan agar rangkaian esai terasa utuh.

“Saya melihatnya seperti proses rekaman: kalau tulisan di kanal digital ibarat demo version, maka versi cetak ini album version — lebih utuh, tertata, dan siap diputar berulang,” kata Kiki sambil tersenyum.

Di hadapan audiens yang datang dari lintas komunitas musik Mataram, Kiki menjelaskan bagaimana kategori tema terbentuk, disatukan, lalu disaring ulang hingga rampung menjadi tiga bagian yang seimbang.

Di sela percakapan, penonton tampak menekuri buku sambil sesekali berdiskusi santai — suasana yang terekam jelas dalam foto-foto penutupan, ketika semua berdiri, mengacungkan buku, dan tertawa bersama di satu bingkai.

Selain merayakan buku, acara ini juga menjadi konfirmasi bahwa Beatriff tetap menempatkan diri di posisi unik: ruang alternatif yang mengumpulkan tulisan, diskusi, dan gagasan dari siapa saja yang berani mengkritik, merawat, dan menafsir musik dari berbagai sudut.

Proses kurasi di kanal digital pun tidak kaku — selama tulisan punya argumen yang dapat dipertanggungjawabkan, ia layak diterbitkan. Inilah yang menjadi benang merah: Se-Putar Musik adalah buku, tetapi lebih dari itu ia adalah simpul percakapan yang bisa ditarik kemana saja.

Di sela diskusi, Ross Famz membawakan penampilan musik akustik, seolah mengikat tema percakapan dengan nada-nada yang sederhana. Malam itu tidak terlalu gaduh, tetapi cukup hangat untuk membuat yang datang duduk berjam-jam tanpa merasa bosan.

Dalam satu foto pamungkas, para pembicara berdiri berjejer memegang buku. Di belakang mereka, audiens mengangkat buku ke udara — seolah ingin membuktikan: wacana tidak harus berhenti di satu forum, tapi bisa menggulung, berputar, dan kembali memantik dialog di banyak kepala.

Penampilan Lock Block di Merocket. SELASWARA

Kami Tak Menari, Kami Menghantam

Bayu Utomo in Musik
  ·   2 min read

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *