SELASWARA.COM — Rabu (20/12) malam menjadi begitu istimewa bagi masyarakat Pringgasela, khususnya Desa Pringgasela Selatan. Bagaimana tidak, hal tersebut lantaran Pringgasela Selatan menjadi tuan rumah dalam Apresiasi Desa Budaya Tahun 2023. Penganugerahan desa budaya tersebut dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) melalui Direktur Pengembangan dan Pengembangan Kebudayaan (PPK).
Setidaknya terdapat 5 desa yang terpilih dalam Apresiasi Desa Budaya Tahun 2023, antara lain: Desa Bayan (Lombok Utara); Desa Danau Lamo (Jambi); Desa Denai Lama (Sumatera Utara); Desa Klungkung (Jawa Timur); dan Desa Pule (Jawa Timur).
Selain menjadi ajang Apresiasi Desa Budaya, terdapat juga beberapa keseruan lain, seperti tarian lokal yang dimainkan oleh anak-anak. Ada yang cukup menarik perhatian di malam tersebut, yakni terdapat penampilan dari grup musik yang menggabungkan unsur tradisional dan kontemporer.
Lombok Ethno Fusion (LEF) merupakan sebuah grup musik yang menggabungkan unsur-unsur musik tradisional Sasak dengan musik modern. Grup ini terdiri dari tujuh personel, diantaranya: Chandra Irawan (gitar), Tannya Efritzka (keyboard dan vokal), Datu Dira (drum), Yadi Masran (bass), Adi Cheer (kendang, klentang, dan vokal), Ferdianto Ayong (rincik, petuk, dan klentang), dan Syahrul Barrak (suling).
Ide awal dari LEF adalah untuk menunjukkan kecintaan terhadap budaya Sasak, yang sering dianggap kuno dan tidak kekinian oleh generasi muda. Dengan mengkolaborasikan musik tradisional dan modern, LEF ingin melestarikan, merebranding, dan memperkenalkan budaya Sasak kepada khalayak yang lebih luas, baik lokal maupun internasional.
“Harusnya kita lebih percaya diri dengan diri kita, dengan apa yang kita punya dan segala hal yang menjadi warna menjadi keindahan budaya tradisi yang kita punya. Jadi jangan anggap itu kuno, tapi anggap itu sebagai sesuatu yang spesial,” ujar Syahrul.
Tentu saja, menciptakan musik yang unik dan inovatif tidaklah mudah. LEF menghadapi berbagai tantangan, baik dari segi teknis maupun sosial. Secara teknis, LEF harus mencari cara untuk menyelaraskan dua jenis instrumen yang berbeda, yaitu instrumen tradisional Sasak, seperti kendang, rincik, petuk, klentang, dan suling, dengan instrumen modern, seperti gitar, keyboard, bass, dan drum.
“Kesulitannya itu bagaimana cara kita nemuin sesuatu supaya dia nge-blend, entah itu dari musiknya, atau bagaimana caranya biar tetep enak didenger tapi smooth gitu perpindahannya. Nggak kayak nempel,” kata Tannya.
Secara sosial, LEF juga harus menghadapi kurangnya minat dan apresiasi dari masyarakat, khususnya anak muda, terhadap musik tradisional. Banyak yang menganggap musik tradisional itu tidak menarik dan tidak sesuai dengan selera zaman.
“Ketika kita dengarkan, mereka lebih ke ‘gak mau dulu’, tidak mencoba dengarkan, mereka udah punya mindset dahulu kalau tradisi itu kuno. Jadi mau gak mau kita harus paksa dahulu, jejali dulu,” ungkap Tannya.
Namun, LEF tidak patah semangat. Mereka terus berusaha untuk menunjukkan bahwa musik tradisional dan modern bisa berbaur menjadi satu, tanpa menghilangkan identitas budaya Sasak.
“Jadi visi misi kita itu bahwa tidak ada lagi namanya instrumen tradisional, tidak ada instrumen modern, sama sama instrumen musik, bisa berbaur menjadi satu, nge-blend seperti mbak Anya bilang. Dan poinnya seperti mas Syahrul bilang, ini loh identitas kita,” jelas Chandra.
Salah satu cara yang dilakukan oleh LEF untuk mempromosikan musik mereka adalah dengan tampil di berbagai panggung, baik di dalam maupun di luar pulau Lombok. Menurut Chandra, LEF lebih sering mendapatkan kesempatan untuk perform di luar pulau, seperti di Bali dan Jogja, daripada di tanah kelahiran mereka sendiri.
Hal ini menunjukkan bahwa musik LEF memiliki daya tarik dan potensi yang besar di kancah nasional maupun internasional. Namun, LEF juga berharap agar musik mereka bisa lebih dikenal dan dihargai oleh masyarakat Lombok sendiri, terutama dalam konteks pariwisata.
“Harapan kami, supaya masih relate dengan jenis musik kami dengan kemajuan pariwisata daerah kita sendiri. Bagaimana representatif dari pulau kita sendiri ya. Itu mungkin untuk mengedukasi EO (Event Organizer-red) dan Pemda juga, supaya lebih peka soal apa yang kita harus jual, pariwisatanya, marketnya apa. Tidak semata-mata hanya industrinya saja,” tutur Chandra.
Selain itu, LEF juga memiliki rencana untuk membuat video klip untuk setiap single yang mereka rilis. Video klip tersebut akan menampilkan keindahan alam dan budaya Lombok, sebagai bentuk dukungan terhadap pengembangan pariwisata di pulau tersebut.
“Harapan kita kedepannya, LEF itu bisa memajukan budaya nggak hanya cuma dari perform, tapi sampai social movement atau sound destination-nya. Kita seperti itu harapannya ke depan, apalagi kita mau garap, bukan cuma sekedar garap lagu musiknya aja tapi kita pengen memajukan lombok ini dengan membuat video klip.” Kata Tannya.
“Jadi tiap kita ngeluarin single baru, kita buat video klip dan kita syutingnya di tempat pariwisata, entah itu di tempat yang udah terjamah maupun yang belum terjamah. Kita sampai masuk sampai kedalam dalam, kita nyari tempat yang bagus, ini identitas musiknya.”
Di bagian akhir wawancara, Chandra menekankan pentingnya menciptakan identitas musik yang khas dan mencerminkan budaya Lombok, terutama bagi para wisatawan yang baru datang ke pulau tersebut.
“Jadi poinnya, kayak pertanyaan tadi, bagaimana supaya tamu baru sampai bandara itu langsung tahu ini lagi di Lombok, bukan di Sumbawa atau di Bima, walaupun cuma denger dari audionya. Anak muda harus mencintai kulturnya sendiri,” ucap Chandra.
Untuk rencana ke depan, LEF berambisi untuk terus menghasilkan karya-karya yang merepresentasikan musik Lombok, dan berharap bisa membawa nama Lombok ke seluruh dunia.
“Kita mengumpulkan banyak karya, tetap merepresentasikan musik lombok. Itu rencana dan harapan kita, semoga kita bisa membawa lombok keliling dunia,” tutup Chandra.
Salah satu karya LEF yang berhasil menarik perhatian adalah single perdana mereka yang berjudul “Sesenggak Sasak”. Lagu ini merupakan perpaduan antara musik Jazz, gamelan Sasak, dan Cilokaq, sebuah genre musik tradisional Sasak. Lagu “Sesenggak Sasak” ini bisa didengarkan di YouTube atau di platform musik digital lainnya.
LEF berharap agar musik mereka bisa menjadi inspirasi dan motivasi bagi generasi muda Lombok untuk lebih mencintai dan menghargai budaya mereka sendiri, sekaligus menjadi duta bagi pariwisata Lombok di mata dunia.
“Kami ingin menyampaikan pesan bahwa budaya kita itu keren, unik, dan berharga. Kami ingin membuat orang-orang bangga dengan budaya kita, dan ingin datang ke Lombok untuk melihat dan merasakan sendiri keindahan dan kekayaan budaya kita,” tutup Chandra.