Musik

Kami Tak Menari, Kami Menghantam

Written by Bayu Utomo · 2 min read >
Penampilan Lock Block di Merocket. SELASWARA

Sebuah Tafsir Moshing Pasca MEROCKET

Aku berdiri agak ke belakang, tapi tak terlalu jauh dari titik tumbukan. Di depan, sekelompok tubuh mulai menggeliat saat riff gitar pertama meletus. Sepuluh detik kemudian, lingkaran terbuka, dan yang terjadi setelahnya nyaris seperti badai kecil: dorongan, lompatan, benturan—semuanya dalam satu irama yang terasa lebih jujur dari tepuk tangan penonton kelas festival.

Malam itu di MEROCKET, mosh pit bukan cuma tontonan. Ia adalah cara tubuh berbicara. Gerak yang menyambut distorsi. Keputusan sadar untuk melepaskan kendali, tapi juga bentuk keintiman yang jarang dibicarakan. Tubuh-tubuh yang saling menghantam bukan karena benci, tapi karena ada sesuatu yang tak bisa mereka ungkapkan dengan diam.

Aku melihat seseorang terjatuh, lalu dua pasang tangan terulur dengan cepat, mengangkatnya kembali ke keseimbangan. Tak ada amarah. Tak ada dendam. Hanya tubuh-tubuh yang saling memahami bahwa untuk malam ini, rasa sakit kecil adalah bagian dari kebebasan.

Moshing adalah cara tubuh merespons suara. Musik dengan tempo cepat, distorsi tebal, dan riff menukik seperti mengaktifkan insting purba kita—untuk bergerak, melepaskan, menghantam, bahkan merangkul. Bukan karena dipaksa, tapi karena tubuh tahu caranya merespons sesuatu yang jujur.

Dalam kerangka musikologi, ini bisa dibaca sebagai afek tubuh dalam spektrum bunyi. Tubuh bukan hanya medium pendengar, tetapi resonator emosional. Dan mosh pit adalah tempat di mana resonansi itu menemukan jalannya: bukan lewat mulut atau kuping, tapi lewat lutut, bahu, dan dorongan penuh energi yang hanya bisa terjadi di ruang-ruang yang terbuka terhadap kekacauan.

Studi dari Cornell University menyebutkan bahwa gerakan dalam mosh pit menyerupai partikel dalam gas dua dimensi — random, tapi bisa dimodelkan.

Di titik ini, kita tahu bahwa moshing adalah kekacauan yang teratur. Seperti hidup itu sendiri.

Dan ini bukan hanya terjadi di MEROCKET. Di konser punk DIY di gang sempit, di aula kampus, di garasi rumah kosong—mosh pit selalu jadi tempat ‘berlatih’ bagi tubuh untuk kembali merasa. Kadang kesakitan, kadang euforia. Tapi yang pasti: selalu hidup.

Dalam kekacauan itu ada logika. Dalam tabrakan itu ada ritme.

MEROCKET dan Ruang bagi Tubuh yang Liar

Aku sempat terpikir: kenapa harus saling dorong? Kenapa tidak cukup berdiri dan menikmati musik dari jauh? Tapi ternyata, tidak semua pengalaman musik bisa cukup hanya didengar. Beberapa jenis musik — seperti yang muncul di panggung MEROCKET — perlu dirasakan dengan seluruh tubuh.

Di situ aku paham bahwa moshing adalah tentang solidaritas. Tapi bukan solidaritas yang lembut atau manis. Ini solidaritas yang brutal, berkeringat, dan sengaja tidak elegan. Tubuh-tubuh itu seperti ingin berkata:

“Aku ada. Kamu juga ada. Mari kita tabrakan keberadaan kita di tengah suara ini.”

MEROCKET membuktikan bahwa skena musik di Lombok, punya keberanian yang jarang ditemukan: memberi ruang untuk tubuh liar, untuk ekspresi tanpa sensor, untuk energi yang tak bisa dibendung.

Ini bukan soal tata cahaya atau koreografi panggung. Ini tentang atmosfer—tentang suasana yang membuat siapa pun bisa terhanyut dalam distorsi dan merasa bahwa tubuhnya punya hak untuk bergerak sesuka hati.

Dan ketika moshing terjadi, itu bukan bentuk kekerasan, melainkan komunikasi. Satu bentuk bahasa yang tak diajarkan, tapi secara naluriah dimengerti.

Akhirnya, Ini Bukan Tentang Kekerasan

Beberapa orang mungkin akan terus menganggap moshing sebagai bentuk kekerasan yang terselubung. Tapi siapa pun yang pernah ada di dalamnya tahu: ini bukan soal saling menyakiti, tapi tentang rasa saling percaya.

Bahwa ketika aku jatuh, akan ada yang mengangkatku.

Bahwa tubuh bisa saling menghantam tanpa perlu saling melukai.

Bahwa di balik tendangan lutut, ada tangan yang siap merangkul. Bahwa dalam distorsi dan tubuh yang beradu, tersembunyi bahasa yang tak pernah diajarkan—tapi dipahami bersama.

Moshing bukan tari. Tapi bukan berarti tak punya koreografi.
Ini gerakan tanpa bentuk, tapi bermakna.
Ini bukan hanya tentang menabrak orang asing, tapi tentang menabrak keterasingan itu sendiri.

Dan pada malam itu, di panggung MEROCKET, kami tak menari. Kami menghantam.

Tapi kami melakukannya dengan cinta.

Written by Bayu Utomo
Merayakan hidup dengan cara paling amatir~ Profile

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *