Woman with breast cancer receiving support (AI Image Generator - by: Midjourney 6 (freepik))

Woman with breast cancer receiving support (AI Image Generator – by: Midjourney 6 (freepik))

Internasional Woman’s Day (IWD) sejak tahun 1909 telah menjadi simbol global untuk merayakan perjuangan perempuan serta sebagai langkah untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya tindakan nyata menuju kesetaraan gender. Namun, di balik parade seremonial, postingan media sosial, dan slogan inspiratif, “Apakah kita benar-benar merayakan perempuan dan sadar terhadap permasalahan yang dihadapinya, atau hanya sebatas perayaan semata kemudian menutup mata terhadap masalah yang masih membelenggu mereka? Itu adalah pertanyaan yang terus menghantui saya ketika melihat berbagai problematika tentang perempuan yang masih rentan terjadi khususnya di tempat saya tinggal yaitu Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Tidak dapat disangkal bagaimana peran penting perempuan dalam berbagai aspek dan bidang. Dalam pendidikan perempuan di lombok banyak berprofesi sebagai guru, terutama di tingkat dasar dan menengah, program pendidikan nonformal pun peran mereka banyak seperti pelatihan keterampilan dan pergerakan literasi, dalam ekonomi pun begitu peran perempuan tidak bisa dipungkiri kontribusinya terhadap keberlangsungan ekonomi, perempuan di lombok terutama di daerah pedesaan, rata-rata mereka berperan besar mendukung perekonomian keluarga, contohnya dalam pertanian tidak jarang kita melihat keterlibatan perempuan menggarap lahan persawahan, begitu juga dalam hal perikanan maupun usaha kecil atau kerajinan tangan, bahkan perempuan telah membuat pencapaian yang luar biasa, seperti banyaknya perempuan memimpin perusahaan dan organisasi, menjadi pelopor dalam perubahan sosial, dan mendobrak stereotip gender.

Namun, di tengah banyaknya peran dan keberhasilan tersebut, permasalahan perempuan masih merajalela. Kekerasan Seksual, ketidaksetaraan upah, dan pernikahan dini masih menjadi momok yang melumpuhkan kemajuan dan masa depan perempuan, terutama di daerah terpencil seperti lombok. Di beberapa wilayah, tradisi seperti merariq (kawin lari) sering disalahgunakan untuk membenarkan pernikahan dini, meninggalkan perempuan muda tanpa akses pendidikan dan masa depan yang layak. Selain itu, perempuan terus menghadapi tantangan di tempat kerja. Diskriminasi, pelecehan seksual, dan glass ceiling masih menjadi problem nyata di berbagai sektor. Adanya berbagai permasalahan tersebut justru tidak ada tindakan nyata yang kita lakukan, tindakan konkret sering kali tertunda, padahal berada di negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai sosial dan kemanusiaan.

Sepanjang tahun 2024 Komnas Perempuan mencatat sebanyak 330.097 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan. Angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 14,17% dibandingkan tahun sebelumnya. Komnas Perempuan juga menerima rata-rata 16 pengaduan per hari melalui berbagai saluran, termasuk Google Form, email, dan media sosial. Juga berdasarkan data dari SIMFONI-PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak), hingga tahun 2025, terdapat 3.503 korban perempuan yang tercatat dalam kasus kekerasan.

Saya semakin terasa dihantui dengan pertanyaan di awal ketika terus dibombardir dengan berita kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, seperti pelecehan seksual santriwati pondok pesantren di Sikur, kasus pelecehan seksual oleh manajer hotel di Lombok Utara, guru ASN di Lombok Timur perkosa siswi 5 kali dengan modus iming-iming uang Rp 15 ribu, kasus pelecehan seksual guru mengaji status ASN, dan mungkin banyak lagi yang belum terungkap.

Kemudian kembali berbicara IWD, sering kali dirayakan dengan penuh gegap gempita, seminar, konferensi, dan kampanye media sosial. Namun, apakah itu cukup? Melihat problem yang saya paparkan sebelumnya pasti sudah menjawab dengan pasti bahwa perayaan simbolis tanpa langkah nyata tidak hanya menghilangkan esensi dari perjuangan panjang perempuan, tetapi juga memperlihatkan ketidakseriusan kita terhadap isu-isu mendasar yang dihadapi perempuan. Ironi semacam ini seharusnya menjadi panggilan untuk kita semua sama-sama intropeksi diri.

Hari Perempuan Internasional seharusnya lebih dari sebatas perayaan. Ini harus menjadi momentum bertindak, baik oleh pemerintah, organisasi, maupun individu. Kesetaraan gender tidak hanya sebatas retorika belaka, tapi harus diwujudkan melalui kebijakan yang konkret.

Sejarah perjuangan perempuan harus menjadi contoh untuk mengambil langkah nyata, jika di tahun 1908 terdapat 15.000 perempuan di New York melakukan demonstrasi, menuntut jam kerja yang lebih pendek, upah yang lebih baik. Maka, siapapun itu baik laki-laki maupun perempuan harus berani melawan ketika ada ketidakadilan terhadap perempuan, harus berani membela ketika ada pelecehan terhadap perempuan, dan pendidikan untuk perempuan harus terus didorong. Lebih-lebih di Lombok, kita harus berhenti menutup mata terhadap kenyataan pahit yang masih dihadapi perempuan dan mulai mengambil langkah nyata untuk perubahan. Karena pada akhirnya, kesetaraan gender bukan hanya tentang perempuan, tetapi tentang manusia secara keseluruhan.

***