Lingkungan & Gaya Hidup

Gerakan Anti-Feodal, Rebut Kedaulatan Atas Tanah

Aliansi Demokrasi Baru untuk Kedaulatan Rakyat-NTB (ADBKR-NTB) Serukan Evaluasi dan Pencabutan PSN di NTB. SELASWARA — Di tengah laju pembangunan yang kian...

Written by Sri Yuna · 2 min read >

Aliansi Demokrasi Baru untuk Kedaulatan Rakyat-NTB (ADBKR-NTB) Serukan Evaluasi dan Pencabutan PSN di NTB.

SELASWARA — Di tengah laju pembangunan yang kian menggerus ruang hidup rakyat, suara penolakan kembali menggema dari jantung Nusa Tenggara Barat. Aliansi Demokrasi Baru untuk Kedaulatan Rakyat-NTB (ADBKR-NTB) — gabungan dari AGRA NTB, Asli-Mandalika, BEM FISE UNHAM, BEM ISI Sunan Doe, BEM STIT Palapa Nusantara, FMN NTB, Forum Mahasiswa Lombok Timur, Lembaga Studi dan Bantuan Hukum NTB, Lingkar Studi Perempuan Mataram, MPL Lombok Timur, Oasistala, Solidaritas Perempuan Mataram, Suara Perempuan Nusantara, dan UKM Pilar Seni UNDIKMA — menegaskan sikapnya: menolak segala bentuk proyek yang merampas tanah rakyat, merugikan kaum tani, dan memperparah ketimpangan sosial.

Mereka menuntut pencabutan seluruh Proyek Strategis Nasional (PSN) yang terbukti menggusur lahan warga serta mengevaluasi kebijakan Perhutanan Sosial (PS) dan UU Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023 yang dianggap menjadi payung hukum bagi sistem penguasaan tanah feodal di NTB.

“Kebijakan ini telah menghilangkan hak rakyat atas tanah, menghancurkan fungsi sosial, dan menjadikan tanah semata sebagai alat produksi bagi segelintir pemodal,” ujar perwakilan aliansi dalam konferensi pers yang digelar di Mataram.

Bukti Nyata Perampasan: Mandalika dan Meninting

Dua proyek raksasa menjadi sorotan tajam: PSN Mandalika dan Bendungan Meninting.

Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika disebut telah menghilangkan sumber penghidupan 186 pedagang dan lebih dari 2.000 orang, sebagian besar perempuan, yang selama ini menggantungkan hidup di kawasan Tanjung Aan. Kini, rencana penggusuran di Dusun Ebunut, Muluk, dan Pedau mengancam 224 jiwa.

Di Bendungan Meninting, setidaknya tiga desa terdampak: Geria, Gerung, dan Bukit Tinggi. Selain kehilangan lahan, masyarakat kini menghadapi krisis air bersih, terutama perempuan tani yang kehilangan sumber penghasilan dan terpaksa menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI).

Kondisi serupa juga terjadi di Sambelia, di mana perusahaan PT Sadhana Arifnusa mendapat izin Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas 2.000 hektare. Izin ini, yang berubah menjadi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), diduga diperoleh melalui kekerasan aparat dan praktik kriminalisasi terhadap 602 anggota KPHP Sambelia.

Ladang rakyat kini dialihfungsikan untuk kepentingan industri energi co-firing PLTU — skema yang disebut “transisi energi palsu”.

Bisnis Konservasi dan Luka Sosial di Rinjani

Aliansi juga menyoroti Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) yang dinilai menjelma menjadi “tuan tanah besar” di balik kedok konservasi.

TNGR disebut membuka pintu bagi investasi geothermal, kereta gantung, sea plane, dan glamping di Segara Anak, tanpa memberikan jaminan keselamatan kerja bagi para porter yang mayoritas berasal dari keluarga buruh tani.

Masalah agraria di kaki Rinjani kian pelik dengan hadirnya PT Sembalun Kusuma Emas (SKE) yang memperoleh Hak Guna Usaha (HGU) seluas 150 hektare pada 2021. Meski petani Sembalun memenangkan putusan Peninjauan Kembali (PK), pemerintah disebut belum mengeksekusi putusan tersebut. “Lebih dari 2.700 petani masih hidup dalam ketidakpastian,” tegas pernyataan aliansi.

Krisis Ekologis dan Pendidikan yang Komersial

Selain agraria, krisis ekologis menghantui wilayah Desa Korleko akibat aktivitas tambang Galian C yang telah berlangsung 13 tahun. Limbah tambang merusak sawah, kebun, dan mengancam keberlanjutan budaya tani setempat.

Di sisi lain, sektor pendidikan pun disebut semakin menjauh dari rakyat. Mahalnya biaya kuliah dan liberalisasi pendidikan melalui skema Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) mempersempit akses bagi anak buruh tani.

“Negara melepaskan tanggung jawabnya dan menyerahkan pendidikan tinggi pada mekanisme pasar,” tulis ADBKR-NTB dalam rilisnya.

Dari Momen Nasional ke Isu Lokal

Pasca peristiwa 30 Agustus 2025 yang berujung pada penetapan 20 tersangka dan 4 orang masih ditahan, aliansi juga menuntut pengusutan transparan terhadap provokasi dan aktor intelektual pembakaran Gedung DPRD NTB. Mereka mengecam kriminalisasi terhadap aktivis dan mahasiswa, serta menyerukan solidaritas masyarakat sipil untuk mengawal proses hukum secara adil.

Seruan Hari Tani Nasional ke-65

Dalam peringatan Hari Tani Nasional ke-65, ADBKR-NTB menegaskan:

“Tidak ada demokrasi tanpa landreform. Tidak ada kedaulatan pangan tanpa tanah di tangan kaum tani.”

Aliansi mengajukan 15 tuntutan utama, di antaranya:

  • Wujudkan Reforma Agraria Sejati sebagai basis pembangunan industri nasional
  • Wujudkan pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan mengabdi pada rakyat
  • Cabut dan Evaluasi PSN Mandalika dan Meninting karena terbukti melanggar HAM
  • Cabut izin perusahaan tambang Galian C di Desa Korleko
  • Pemerintah melalui BPN harus segera menerbitkan surat pembatalan HGU PT. SKE dan memberikan jaminan hak atas tanah kepada petani Sembalun yang telah menggarap tanah lebih dari 29 tahun
  • Pemerintah harus menghentikan seluruh proses izin dan eksploitasi di Gunung Rinjani
  • Pemerintah harus membentuk tim investigasi independen untuk mencari aktor intelektual pembakaran gedung DPRD NTB.

ADBKR-NTB juga menyerukan penghentian kriminalisasi terhadap aktivis, pembebasan segera seluruh demonstran, serta pemulihan nama baik mereka di mata publik.

Gerakan ini, yang berakar dari kepedulian terhadap nasib kaum tani, pekerja, dan mahasiswa, menandai babak baru perlawanan rakyat terhadap hegemoni pembangunan yang menyingkirkan manusia dari tanahnya sendiri. Di tengah jargon kemajuan dan investasi, ADBKR-NTB mengingatkan: tanah bukan sekadar aset, melainkan ruang hidup, identitas, dan masa depan rakyat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *