Search
Close this search box.
Search
Close this search box.

“Ya, sudah, Mas. Kalau mau bertamu di sini ikuti aturan kami. Di sini saya suruh Mas telepon pengurus rumah kos ijin dulu. Di sini tidak sembarangan orang bisa masuk. Ini itu prostitusi online, bukan jual kacang goreng,” tegas seorang pekerja sex komersial (psk) kepada seorang yang ingin menggunakan jasanya.

Hamzah yang sudah tiba di mulut gang rumah kos itu seketika merugi. Ia merasa tidak ada psk lain paras cantiknya seperti perempuan bernama Fitri itu. Hasratnya meronta-ronta ingin bersentuhan. Hamzah yang membaca pesan dari layar kaca handphone (HP) di genggamnya lalu menjawab.

“Berarti tidak aman?,”

“Bukan tidak aman, tapi memang aturan kami seperti itu di sini. Anda harus ijin dulu ke bos kami yang menjaga rumah kos,” lanjut Fitri.

Ke dua bola mata Hamzah memandang arah gang menuju bangunan rumah kos tempat Fitri bekerja. Mengantarkannya ke lamunan sudah berada di dalam kamar bersama si paras cantik itu. Hanya saja, raganya masih di pinggir jalan, terhalang oleh pagar besi sebagai portal komplek. Saat itu, jarum jam menunjuk 23:00 WIB.

“Ke tempat saya saja bagaimana,?”

Tetap saja, Fitri menyarankan Hamzah untuk meminta ijin ke pemilik kos. Komplek di sana memang tidak untuk kalangan psk. Hamzah sudah bertahun-tahun berada di kota itu. Karenanya, wajar saja Fitri memiliki aturan seperti yang dikatakan.

Kalau psk, tempatnya di kawasan lain untuk bermukim. Kompleknya di kecamatan sebelah. Psk mayoritas mendekam di hotel menunggu pelanggan. Apalagi, setelah adanya kasus ditutupnya dua rumah kos berkedok hotel, menjajakan dunia sex komersial.

Saat itu, sedikitnya enam spanduk dibentangkan oleh warga di sekitar dua hotel. Spanduk itu bertulis ‘Kami Menolak Prostitusi Online dan Menuntut Dua Hotel Ditutup’. Warga di sana amarahnya sudah meluap sejak bertahun-tahun membiarkan. Warga menuntut dua hotel ditutup.

Luapan amarah itu muncul akibat seorang pria hidung belang kedapatan kabur tanpa membayar psk. Pria itu lantas ditangkap oleh satpam dan beberapa warga yang mengetahui pada malam itu. Aksi yang dilakukan pria hidung belang itu terekam CCTV. Vidionya lalu beredar di HP warga. Emak-emak heboh. Setiap sudut gang sempit RW tak henti-henti membicarakan. Warga sudah lama meresahkan.

Setelah memutuskan mencari yang lain, Hamzah mengemudi mobil yang digunakan ke arah pusat padatnya kota. Di sana, ia menumpahkan kerugiannya. Seharusnya, Neng Fitri sudah menjadi milik saya malam ini. Namun, mengapa ia harus bekerja di tempat yang banyak aturan? gumam Hamzah dalam pikiran.

Fitri membutuhkan uang untuk sekolah anaknya, usia sekitar 8 tahun. Dan perlu uang untuk kebutuhan sehari-hari. Mau melanjutkan kehidupan dari mana kalau tidak dari uang. Zaman sekarang semuanya perlu uang. Berak saja harus ada uang dulu. Apalagi menghidupi anak dan diri sendiri.

Hamzah terdampar di trotoar jalan raya. Ia tidak peduli dengan orang sekitarnya. Pun orang sekitar tidak ada yang peduli dengan Hamzah. Tiba-tiba seorang pria menghampirinya.

“Sedang apa, Mas?,” tanya pria itu.

“Istirahat saja,” jawab Hamzah.

“Baru pulang kerja, ya?,”

Hamzah mengenakan pakaian kemeja putih dan celana hitam panjang, menggunanakan sepatu pantopel. Serta, membawa tas dipunggungnya.

“Dari tadi,” kata Hamzah. Mobil yang digunakan diparkirnya di seberang jalan. Sementara, pria yang menghampiri Hamzah terus mengajak berkomunikasi. Dari tetek bengek hingga upah yang minim dibicarakan.

“Saya Rio, petugas parkir di toko sebelah,” ujarnya sambil mengulurkan tangan.

“Hamzah,” sautnya sambil bersalaman. Dengan seketika Hamzah tak sadarkan diri. Ternyata Rio telah menghipnotis pria hidung belang itu. Modusnya berkenalan dan bersalaman. Selanjutnya, Rio tetap berbincang-bincang dengan Hamzah. Di sisi lain, nampak satu rekannya Rio berada di samping mobil yang digunakan Hamzah. Jenisnya mobil Daihatsu Sigra.

Hamzah seorang pekerja honorer di salah satu lembaga politik milik negara. Sudah lima tahun lamanya pria usia 35 tahun itu bekerja di sana. Kendati belum diangkat menjadi pegawai negeri, Hamzah berupaya bekerja dengan keras, meskipun harus menelannya pahit gaji tidak sesuai dengan pekerjaan.

Tiba-tiba Rio meminta kepada Hamzah untuk memberikan kunci mobil. Hamzah kemudian memberikan tanpa rasa curiga. Rio kemudian menyebrang jalan raya untuk menghampiri mobil berwarna hitam itu. “Gas,” kata Rio kepada satu rekannya yang sudah lama menunggu. Rio masuk lewat pintu kanan mobil langsung menyetir. Sedangkan rekannya, duduk di sebelahnya Rio, masuk mobil lewat pintu kiri depan. Setelah menancapkan gas mobil, dua orang tak dikenal Hamzah itu hilang dari peredaran jalan raya sejauh mata memandang. Hamzah dengan seketika sadar. Sama halnya dengan ia seketika tidak sadar saat diajak bersalaman oleh Rio.

Hamzah pun merasa tertipu. Mobil telah digondol dua pelaku. Dan itu mobil ternyata milik kantor lembaga politik, tempat Hamzah bekerja. Mobil operasional kerja. Platnya warna merah. Dini hari itu bena-benar apes dirasakan Hamzah. Bebebrapa kali dia teriak. Penggguna jalan yang melintas sudah sepi kendati sesekali ada. Itu pun pemuda kencan yang hendak mengantar pacarnya kembali ke rumahnya.

Mengalami kejadian itu, Hamzah memilih kabur dari peredaran kota daripada melapor ke polisi. Sebab, Hamzah tidak percaya kepada polisi. Ia bergegas ke pelabuhan dengan membawa bekal uang seadanya. Di kota lama itu, ia mengontrak. Tapi, sudah setengah tahun menunggak. Pemilik rumah kontrak setiap minggu menagih. Hamzah benar-benar kacau.

Meskipun pekerja honorer, secara perhitungan Hamzah cukup menghidupi diri yang belum berkeluarga di kota itu. Namun sayang, gaji yang didapat dari kerja kerasnya digunakan untuk menyewa pekerja seks komersial setiap minggu. Hamzah telah dirasuki candu wanita. Mulai dari remaja, muda, hingga paruh baya diembatnya untuk disewa.