SELASWARA.COM ― Film “Atlas” memuat ketakutan dan kecurigaan terhadap perkembangan teknologi. Inovasi AI yang meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir seharusnya membuat banyak orang berpikir tentang sejauh mana perkembangan tersebut dapat berbalik arah, menodong, dan membahayakan manusia. Hal ini menjadi dorongan yang cukup bagi orang-orang untuk menonton film tersebut.
Sutradara Brad Peyton berhasil mengemas film “Atlas” dengan cerita yang terfokus dan solid. Deretan aktor berpengalaman membuat ia berhasil menyajikan film thriller fiksi ilmiah yang dirilis di Netflix pada 24 Mei 2024, menjadi tontonan yang menghibur dan menarik.
Pengalamannya menggarap film “Journey 2: The Mysterious Island” (2012), “San Andreas” (2016), dan “Rampage” (2018) membuat sutradara asal Kanada ini memiliki intuisi yang khas dalam menyajikan film bergenre fiksi ilmiah.
Film dibuka dengan kondisi masa depan Bumi yang berada dalam kekacauan, bermula dari pemberontakan oleh robot apokaliptik yang dinobatkan sebagai teroris AI pertama bernama Harlan (Simu Liu). Suasana kacau yang ditimbulkan membuat efek berantai yang harus segera ditangani.
Kendati pemberontakan tersebut bisa diredam oleh pasukan ICN (International Coalition Of Nations), Harlan berhasil kabur ke sebuah planet yang belum diketahui. Hingga 28 tahun berlalu, Jendral Jake Boothe (Mark Strong) berhasil mengendus keberadaan Harlan melalui salah satu robot AI bernama Casca (Abraham Popoola) yang diinterogasi oleh Atlas Shepherd (Jennifer Lopez).
Atlas Shepherd (Lopez) merupakan perempuan yang dibesarkan bersama Harlan. Ibunya, Val Shepherd (Lana Parrilla), adalah pengembang di Shepherd Robotic yang juga mengembangkan teknologi Neuralink, sebuah teknologi yang memungkinkan pertukaran informasi dua arah antara manusia dan robot AI secara langsung.
Temuan tersebut akhirnya digunakan sebagai kompas untuk menemukan Harlan. Sebuah pasukan khusus dipimpin oleh Kolonel Elias Banks (Sterling K. Brown) dikirim menuju tempat persembunyian Harlan dengan menggunakan robot AI yang telah disempurnakan dengan teknologi Neuralink.
Berangkat dengan pasukan khusus tersebut, Atlas harus bertahan hidup dengan membentuk ikatan yang tersinkronisasi dengan robot tempur AI yang disebut Smith (Gregory James Cohan). Trauma dan keengganan terhadap AI harus disingkirkan untuk menangkap dan menghancurkan Harlan sebelum dia dapat kembali melakukan serangan keduanya terhadap umat manusia.
Berbagai adegan epik yang melibatkan pertempuran robotik, seperti film “Pacific Rim” dan “Transformers”, serta suasana pertempuran pesawat luar angkasa seperti “Star Wars”, disajikan dengan menarik dalam film ini.
Aksi robot-manusia juga bukanlah hal yang baru. Kita akan mengingat film lawas seperti “Terminator” atau “RoboCop” dengan berbagai peralatan canggih di tubuh mereka.
Berbagai produk AI telah diluncurkan di tengah masyarakat. Layanan gratis menjadi pintu masuk paling lebar untuk pengguna. Belum lagi produksi konten oleh berbagai kreator yang mendorong semakin masifnya berbagai produk AI terdistribusi.
Keberadaannya memudahkan berbagai aktivitas yang dilakukan manusia. Sektor digital telah mendominasi perkembangan AI. Jenisnya beragam, mulai dari produksi gambar, produksi teks, hingga video. Jenis ini paling banyak kita temukan.
Namun, AI yang muncul di permukaan hanyalah sebatas pucuk dari gunung es. Di balik itu, pengembangan AI telah dilakukan secara masif di berbagai sektor lainnya seperti kesehatan, transportasi, manufaktur, bahkan militer.
Satu tahun yang lalu, Elon Musk, konglomerat teknologi SpaceX dan Tesla, bahkan meminta pengembangan AI secara massal dihentikan. Dalam wawancaranya dengan Fox News, ia mengungkapkan kekhawatirannya jika teknologi tersebut dikembangkan tanpa regulasi dan tidak memperhatikan batas-batas tertentu. Pada 22 Maret 2023, Elon Musk bersama 1.800 orang menandatangani petisi mengenai sikap tersebut.
Lain lagi dengan Yuval Noah Harari. Baru-baru ini, dalam sebuah dialog dengan Ian Bremmer, ia menyoroti kapasitas AI yang tak tertandingi dalam mengambil keputusan secara otonom dan menghasilkan konten orisinal. Harari menggarisbawahi pesatnya peralihan kendali manusia atas kekuatan dan cerita ke mesin. “AI adalah teknologi pertama dalam sejarah yang dapat mengambil alih kekuasaan kita,” ungkap Harari.
Lompatan AI hari ini dan hadirnya film “Atlas” bisa menjadi ilustrasi sederhana tentang arah perkembangan AI kelak. Alih-alih menyambut antusias berbagai produk AI yang hadir di tengah-tengah kita, harus selalu ada kehati-hatian saat berhadapan dengan teknologi tersebut.
Sikap Atlas terhadap robot AI “Smith” yang enggan melakukan sinkronisasi utuh hendaknya menjadi sikap kita juga. Ia benar-benar secara teliti mencermati berbagai risiko yang ditimbulkan. Sekalipun dorongan pengalaman traumatik pada masa kecil tetap ada, AI harus terus secara sadar digunakan dengan hati-hati.