Ada kalimat yang terdengar menggelikan jika dipikirkan sebentar: manusia jatuh berkali-kali, tapi belajar hanya sesekali. Di dunia yang sering mengagungkan healing dan self-improvement, gagasan itu terasa seperti bantahan kecil terhadap bisingnya motivasi — dan mungkin, secara jujur, lebih dekat dengan apa yang sebenarnya kita alami sehari-hari.
Itu pula yang menjadi napas dari pertunjukan stand-up comedy tunggal karya Sisik, bertajuk EMPAT BABAK: Empat Kali Jatuh Nol Kali Belajar. Bukan acara komedi yang hanya mengejar tawa, bukan juga curhatan sentimental yang menuntut simpati. Ia berdiri di tengah-tengah: menyentuh luka, menawarkannya ke publik, lalu mengundang kita tertawa bersama-sama di atas puing-puingnya.
Konsep Empat Babak lahir dari struktur film: pengenalan, peningkatan aksi, krisis, dan penyelesaian. Namun hidup, seperti yang kita tahu, tak pernah serapi itu.
Bagi Sisik, “jatuh” berarti saat seseorang berada pada titik hidup yang paling rendah — ketika kehilangan orang tua dan kehilangan pasangan datang bertubi-tubi tanpa sempat memberi ruang bernapas. “Masalah-masalah itu datang begitu cepat sampai saya belum sempat menyelesaikan yang satu, tiba-tiba sudah ditampar dengan yang lain,” ujarnya. “Ibarat jatuh tertimpa tangga, tertimpa Blackpink.”
Ada kelelahan dalam kalimat itu, tapi juga keberanian yang aneh: keberanian untuk menertawakan hal-hal yang sebenarnya menghancurkan.
Pertunjukan ini tidak dibuat agar penonton pulang sekadar merasa lucu. Sebaliknya, ia dirancang agar penonton melihat diri sendiri di dalamnya. Bahwa manusia pernah mencapai titik paling runtuh — dan kadang tidak belajar apa-apa darinya.
“Setiap orang punya cara menyikapi kesedihan,” kata Sisik. “Bagi saya, panggung adalah tempat untuk pulang.” Dengan stand-up, ia membungkus tragedi menjadi kelakar, bukan untuk meremehkan rasa sakit, tetapi untuk merayakan keberhasilan bertahan dari rasa sakit itu.
Di panggung, penonton mungkin tertawa. Tapi di dalam tawa itu, ada pemahaman yang tidak terucap: kamu tidak sendiri.
Sisik tidak mengharapkan penonton pulang dengan hidup baru, resolusi besar, atau motivasi berlebihan. Ia hanya berharap ada sedikit kehangatan yang tertinggal di dada setelah menyimak kisah muram yang diberi bumbu komedi.
“Kalau ada satu perubahan kecil,” katanya, “saya ingin penonton jadi sedikit lebih sadar bahwa semua orang memikul sesuatu. Bahwa kita masih punya teman untuk bercerita. Kita masih punya ruang untuk bersandar. Jangan ditanggung sendiri — kita manusia, bukan nabi boy.”
Pada akhirnya, EMPAT BABAK bukan pertunjukan tentang kemalangan — melainkan tentang kemampuan manusia untuk bangkit tanpa syarat harus kuat. Tentang keberanian untuk tampil di panggung, membuka luka yang belum kering, dan mengundang orang asing untuk tertawa di sekitarnya.
Dan mungkin, itulah yang membuat acara ini terasa penting: ia mengingatkan bahwa hidup memang sering menjatuhkan kita berulang-ulang… tetapi justru di situlah kita menemukan alasan untuk terus melanjutkan babak berikutnya.

