Cerpen Rencana Melamar (ilustrasi: Zan).
Cerpen Rencana Melamar (ilustrasi: Zan).

Suara-suara pidato presiden Soeharto menembus tembok-tembok bale batu beberapa rumah tetangga. Di zaman krisis seperti itu, alat elektronik seperti tv atau radio hanya dimiliki oleh orang-orang kaya, misalnya tuan tanah, bos mako, dan pemilik gudang gabah. Di era itu, bapak masihlah seorang bocah tengik yang dititip di rumah salah satu pemilik gudang gabah. Bapaknya bapak meninggal di Kalimantan, jauh dari tanah kelahiran. Sejak mendiang istrinya meninggal, ia bertransmigrasi ke pulau Borneo, menggarap lahan sawit seorang tuan tanah di sana.

Sebagai sorang bocah titipan, bapak tak memiliki banyak kebebasan; kendatipun ia dititipkan di rumah saudara bapaknya. Perekonomian yang sulit membuat orang-orang berperilaku lebih keras kepada orang lain, tak terkecuali kepada anak-anak di bawah umur seperti bapak. Di antara sorak-sorai suara para petani selepas sebuah pidato swasembada diperdengarkan di radio, bapak diperintah untuk menjemur batang-batang tembakau dan selanjutnya mengarit rumput untuk pakan ternak sapi milik pamannya itu.

Sebenarnya lahan tempat pamannya menanam tembakau dan tanaman pertanian lainnya itu adalah lahan milik bapaknya bapak, tetapi sejak ia meninggal di Kalimantan, bapak adalah buruh dengan upah makan dan menumpang tinggal di rumah pamannya itu. Pengajaran dengan tangan besi adalah satu-satunya pengajaran yang cocok bagi anak-anak yang hidup pada zaman itu, kenang bapak ketika menceritakan masa kecilnya.

Kau menyela ceritaku, menyuruhku agar menyantap udang krispi yang aku pesan. Sungguh, sudah berkali-kali kau memintaku untuk menceritakan latar belakang keluargaku. Hari inilah aku memulai cerita-cerita ini, dari paling awal. Katamu, kau ingin benar-benar mengenal aku dan keluargaku sebelum mantap memberikan jawaban atas lamaranku kepadamu.

“Bapak menamainya udang giling,” aku melanjutkan dengan mengomentari pesananku. Bapak biasanya akan menyampurkan makanan dengan hal-hal aneh, misalnya udang krispi dicampur jeli. Jika melakukan eksperimen makanan seperti itu, ibu akan menertawakan dan mengatakan, ‘Seperti kurang bahagia waktu kecil saja’. Benar, bapak memang kurang bahagia di waktu kecilnya. Hal-hal kecillah yang membuatnya berbahagia, seperti mandi di telaga sesaat sebelum waktu mengaji, atau memungut sisa panen kacang secara diam-diam dengan teman sebaya.”

“Tidak disangka, krisis moneter berdampak sejauh itu.” Komentarmu singkat. Kau, yang lulusan ilmu matematika tak pernah menyimak lebih jauh tentang hal-hal sosial seperti itu. Bagimu, krisis pada era sembilanpuluhan itu adalah kekacauan yang hanya mengganggu perekonomian orang-orang tua.

“Apakah transmigrasi dilakukan secara besar-besaran?” Kau bertanya.

“Apakah kau tidak tahu?”

“Aku tidak tahu apa-apa tentang ilmu masa lalu.”

Sejak pertama mengenalmu, kau banyak ingin diceritakan tentang sejarah negara kita. Bagimu, aku yang sarjana sejarah memiliki pengetahuan yang luas tentang itu. Padahal kau juga tahu bahwa aku meraih gelarku di tahun paling akhir, sangat memaksa, berlomba-lomba dengan tanggal DO. Tentu saja, mahasiswa macam aku tak belajar banyak. Aku bertemu denganmu saja karena seorang teman kelasmu mengirimkan nomor teleponmu karena mengira kau menjual kehangatan bagi siapa saja yang kesepian sepertiku malam itu.

“Transmigrasi itu adalah program pemerintah, gelombang besarnya diterapkan untuk orang-orang Jawa, namanya Pelita. Makanya pada waktu itu Soeharto dituding hendak melakukan jawanisasi.”

“Bagaimana kakekmu sampai bisa mendapat kesempatan? Dia kan bukan orang Jawa.”

“Kau tahu? Segala hal dapat dilakukan jika sedang dibutuhkan. Kakekku saat itu sangat membutuhkan uang untuk keperluan berobat nenek. Para dukun tak main-main memasang tarif, sementara kakek tak mau menjual lahannya yang luas, ia memikirkan anak cucunya kelak.”

“Kakekmu bijak.”

“Memang.”

“Lalu, bagaimana bapakmu bertahan sebagai seorang buruh di lahannya sendiri?”

“Kau tahu? Manusia akan bertahan pada posisi terburuk jika tak memiliki pilihan lain. Lagipula, kala itu bapak hanyalah seorang bocah yang tak memiliki siapa-siapa. Ibunya telah meninggal, bapaknya juga. Namun, bapak selalu mengusaikan cerita-cerita sedihnya dengan pujian bahwa sekiranya dulu pamannya itu tidak mendidiknya dengan cara itu, barangkali sekarang ia tak akan sekuat itu.”

“Bapakmu bijak.”

“Memang.”

“Tetapi bagaimana bapakmu bisa sarjana jika ia tumbuh sebagai seorang yang tak memiliki banyak kesempatan?”

“Panjang ceritanya.”

“Ceritakanlah.”

Aku berpikir, dari mana hendak meneruskan. Sorot matamu, menunjukkan bahwa kau akan serius menyimak setiap lekuk ceritaku. “Bapak sekolah sampai SMA. Setelah itu menikah dan ditawarkan mengajar di sebuah madrasah atas dasar kedekatan kakek dengan Tuan Guru pendiri madrasah itu. Aku belum menceritakan bahwa sebelum ke Kalimantan, kakek adalah seorang guru ngaji dan salah satu murid kepercayaan Tuan Guru itu. Setelah menikah, didorong oleh keadaan dan dorongan ibu, bapak mengambil kuliahnya.”

“Tidak sepanjang yang aku pikirkan.” Kau berseloroh.

“Cerita ini menghabiskan sepertiga dari cerita hidup bapak.”

“Dan kau lahir.” Ucapmu dengan tawa.

“Ke mana sebenarnya arah pertanyaanmu ini?” Aku ikut tertawa.

“Aku hanya ingin mengenal keluargamu lebih jauh.”

“Kau bahkan belum menjawab satu pertanyaanku.”

“Akan aku jawab nanti.”

Kau selalu seperti jalan di lereng gunung. Kelokannya membuatku ngeri, tetapi selalu ingin aku ulangi untuk melaluinya. Ada semacam kepuasan setiap aku selesai melihat caramu berbicara, caramu menatap lekat wajahku ketika aku berbicara, dan paling penting ketepatan ekspresi wajahmu setiap menyimak topik yang aku bicarakan.

“Apakah kau sudah menyampaikan rencanaku itu kepada ayahmu?”

“Apakah penting bagimu?”

Aku meminum es coklatku. Aromanya, menyeruak ke rongga tenggorokan dan hidungku. Pertanyaan semacam itu selalu ingin langsung aku berikan jawaban, tetapi sepertinya ada semacam keluh di kepala yang membuat aku melakukan sesuatu terlebih dahulu, seperti saat ini, meminum es coklat ini. Barangkali, mendengar cerita tentang bapakku akan membuatmu tambah berpikir untuk menyampaikan rencanaku melamarmu kepada ayahmu. Sebab ayahmu adalah seorang pengusaha konstruksi, sementara keluargaku hanya hidup dari honor bulanan seorang guru.

“Apakah kau benar-benar mencintaiku?”

Kau diam, dan untuk pertama kali mengalihkan sorot matamu dari wajahku ketika aku bertanya. Kau merunduk, lamat-lamat tangis tumpah dari matamu.

Denpasar, 2024