Cerpen Yuspianal Imtihan (art: zan)

Cerpen Yuspianal Imtihan (art: zan)

Kampus yang hijau, kampus tempat pak Imran mengajar ini ada satu tempat yang menjadi pusat tongkrongan paling asyik dan produktif dalam menciptakan karya seni bagi para mahasiswa prodi Seni Pertunjukan. Namanya kantin bawah nangka. Tapi, karena bulan ini sudah masuk musim penghujan, semua bentuk kegiatan para mahasiswa tersebut dialihkan ke tempat tongkrongan yang lain: di seputar area GOR. Selain karena bisa terhindar dari berbasah-basahan, GOR ini juga bisa menghalau rasa takut berlebih saat mereka mendengar bunyi pekak petir. Seperti sore ini, hujan lebat sekali. Pak Imran mengumpulkan kelima mahasiswa binaannya yang nakal tapi selalu saja andil mengikutinya berkarya. Karya apapun itu. Percisnya, hari ini, pak Imran membuka kelas mengarang fiksi. Tapi kali ini, pak Imran tak menyiapkan bahan presentasi atau bahan diskusi dalam perjumpaan ini. Dia ingin karya hari ini bisa lahir tanpa tekanan dan alur ceritanya mengalir dengan bebas saja.

“Oke, apakah kalian percaya, bahwa akan ada banyak orang yang juga nantinya ikut terlibat dalam penulisan cerpen ini?” Tiba-tiba pak Imran langsung melempar pertanyaan kepada para mahasiswanya itu sambil meletakkan berlembar-lembar kertas kosong dihadapan mereka. Mendengar pertanyaan tersebut, mereka pun mulai menghela nafas dalam dalam dan mulai memberi jawaban.

“Tidak. Aku tidak percaya, pak.” Ujar Bulan

“Aku juga tidak percaya.” Ucap Nur menyamakan persepsi.

“Waduh, gimana ya, kayaknya mustahil deh pak. Saya rasa tidak mungkin hal semacam itu bisa terjadi.” Jelas Guna.

“Menurutku, itu mungkin saja bisa terjadi pak. Lagipula, sepanjang pengalamanku dalam membaca ratusan judul cerpen, meskipun tidak persis sama, tapi pola dan gagasan semacam ini sudah banyak dilakukan oleh pengarang sebelumnya. Bahkan setahuku, seorang pengarang di dalam ceritanya sekalipun, bisa saja diatur oleh kemauan dan keinginan para tokoh yang dihadirkan.” Jelas Kiki memberi pernyataan berbeda dari ketiga temannya.

“Iya, betul, bagi seorang pengarang professional dan handal, itu sangat mudah dilakukan pak, lagian apa susahnya. Meski menurutku sih, ya, pasti butuh ketekunan dan keliaran imajinasi sih pak. Jadi, aku juga sangat setuju dengan apa yang dikatakan bang Kiki tadi.” Jelas Sulistyo mendukung apa yang dikatakan Kiki.

“Wow! Nah baiklah. Anggap saja jawaban-jawaban kalian yang barusan itu sebagai pembuka cerpen ini. Karena kupikir, cukup mudah ditebak lah, ya. Bahwa jawaban yang kalian berikan pasti akan berbeda satu sama lain. Ini pasti akan membuatnya cukup menarik. Hehe… silahkan dilanjutkan. Sebab memang sejatinya keberagaman selalu datang dari perbedaan. Ingat, segala bentuk gagasan sangat diterima di dalam cerpen ini.” Kata pak Imran menutup pertemuan hari ini, sambil sedikit memberi simpulan dari pertanyaannya yang absurd di awal tadi. Kemudian dia pun berdiri dan langsung meninggalkan mereka begitu saja. Tanpa harus menunggu dicium tangannya terlebih dahulu sebagai tanda bakti mereka terhadap dosennya. Yang pasti berlembar-lembar kertas kosong yang dibawanya tadi, sudah diserahkan kepada mereka. Dan mereka sepertinya sangat faham apa yang harus dilakukan dengan kertas kosong tersebut.

Hujan masih turun dengan derasnya. Entah kapan berhentinya. Diseberang GOR tempat kelima mahasiswa binaan pak Imran melanjutkan tugas ini, tampak beberapa mahasiswa dari prodi berbeda yang tidak tahan ingin segera pergi dari kampus hijau ini. Mereka pun segera memutuskan untuk melawan hukum alam. Memilih pergi daripada terjebak hujan dalam waktu yang terbilang entah. Akibatnya, mereka kemungkinan besar besoknya akan mengirim pesan singkat ke dosen mereka masing-masing lantaran tidak dapat mengikuti perkuliahan dengan alasan sakit.

“Dasar orang-orang aneh.” Kata Bulan mengawali pembicaraan.

“Apanya yang aneh?” Tanya Kiki.

“Iya, apanya yang aneh?” Tanya Sulistyo kembali menguatkan.

Lo iya, menurutku aneh saja sih, pak Imran lasingan datang begitu saja, dan tumben sekali tanpa basa-basi malah langsung melempar pertanyaan seperti itu kepada kita. Maksudku, apa coba hubungannya dia langsung menyodorkan pertanyaan semacam itu, lalu tanpa clue apapun malah langsung memberikan kertas kosong ini kepada kita. Enggak jelas banget sih jadi pembina. Tantangannya jadi kurang menarik aja sih kalau kayak gini caranya.”

Bulan mulai menggerutu. Tapi, sejurus kemudian ia pun mulai merogoh bolpoin kesayangannya dari dalam tasnya yang berwarna ungu itu. Beberapa saat kemudian setelah ia menulis apa yang dia katakan tadi, Bulan kemudian melanjutkan gerutuannya.

“Ku pikir pak Imran tadinya mau meminta kita membedah atau setidaknya meresensi sebuah cerpen. Tapi, kalau hanya diberikan kertas kosong begini, artinya dia meminta kita untuk menulis. Lagipula, asal kalian tahu ya, aku sendiri saat ini sedang tak ingin bercerita tentang apapun atau kepada siapapun sebenarnya. Masalah hidup keluargaku belakangan ini sedang sangat kacau. Bahkan seluruh dunia sebetulnya tidak perlu tahu kalau akhir-akhir ini aku jadi lebih sering merasa sedih. Hmmm, pak Imran ini mungkin sudah kehilangan rasa empatinya ya? sehingga ia tidak peduli akan kesedihan seseorang. Meskipun itu kesedihan yang teramat perih. Padahal kalian tahu tidak? Sejak aku tahu sebentar lagi kami akan ditinggalkan mama. Iya, mamaku memilih pergi meninggalkan papa bersama selingkuhan-nya. Duh, kasihan sekali papa yang juga saat ini kebetulan sedang sakit parah di rumah. Kalau bukan karena mengejar nilai, aku harusnya hari ini tidak boleh pergi meninggalkan papa sendirian di rumah. Hari ini saja, papa pasti sedang sendirian, tak ada siapapun, entahlah apakah papa masih bisa bertahan apa tidak dalam menjalani hari-harinya yang kian renta tanpa pendamping hidup.”

Tampak air mata Bulan mulai jatuh membasahi pipinya yang kiri dan kanan. Juga raut wajahnya yang bulat dengan dagu sedikit memanjang dan menjadikannya tampak sangat manis itu kini tampak didera luka yang cukup dalam. Bulan tampak hancur hatinya. Sambil terisak-isak dia pun meletakkan bolpoin kesayangannya. Menyeka air matanya dengan kedua tangannya.

“Yang sabar ya Bulan.” kata Sulistyo sembari memberikan tisu murahan kepada Bulan.

Dia kemudian memberikan pesan semangat dan beberapa saran kepada Bulan agar selalu kuat menghadapi cobaan hidup yang dia rasakan saat ini. Kiki dengan bolpoin murahannya itu juga turut melanjutkan teks selanjutnya.

“Bulan. Dengar. Tak ada yang perlu di tangisi. Kamu harus kuat menerima kenyataan ini. Tapi sebagai temanmu. Aku ingin menyarankan agar kamu dapat berpikir logis dan bersikap secara manusiawi saja mulai hari ini. Jadi menurutku, biarkan saja mama mu itu pergi menjemput kebahagiaannya. Jangan kamu mengutamakan ego mu saja. Aku yakin sekali kalau mama mu juga butuh seseorang yang bisa menjaga dan melindunginya. Tidak seperti papa mu yang sudah tua, sakit-sakitan, di tambah barusan kamu bilang kalau dia mungkin saat ini sedang sendirian atau mungkin saja saat ini papa mu sedang dalam kondisi sekarat. Jadi, biarkan saja drama cinta mama mu itu berlangsung dengan aman dan lancar, sampai mereka berhasil mengakhirinya di pelaminan nanti. Biarkan mama mu mengakhirinya dengan cara yang sah. Jadi Bulan, kamu ikhlaskan saja mama mu. Selain sah, aib keluarga juga tetap bisa dirahasiakan, kan itu yang terpenting. Sudahlah, lebih baik nanti kalau kamu pulang. Bilang ke papa mu untuk ikhlas saja menerima kenyataan. Aku doakan semoga papa mu cepat sembuh dari penyakitnya dan menemukan pengganti mama mu dah ke.”

“Kamu serius dengan semua yang kamu ucapkan ini?” Tanya Bulan.

“Loh iya Bulan. Iya, menurutku hal ini jauh lebih baik dari semua rasa sakit yang sekarang kamu hadapi. Begitupun dengan yang dialami papa mu.” Tegas Sulistyo kembali mencoba menyakinkan.

“Sekali lagi. Apa kamu Serius memberikan aku saran yang begini Sulistyo? Apa kamu tidak berfikir kalau saran darimu ini sedikit berlebihan?”

“Oke,oke Bulan, dengarkan saranku ya.” Kali ini Kiki mencoba menyela perdebatan mereka.

“Apa yang dikatakan Sulistyo tadi ada benarnya kok. Menurutku, sudah waktunya kamu sebagai anak membalas budi baik mama mu yang telah melahirkanmu dengan selamat, mama mu yang telah tulus dalam menjaga dan merawatmu hingga saat ini. Coba lihat keadaanmu sekarang, kamu bahkan bisa tumbuh dan memiliki paras yang cantik begini, ini semua berkat mama mu lo. Kurang berjasa apalagi mama mu itu. Jadi, memang sebaiknya kamu tidak boleh melupakan peran penting seorang mama. Jangan durhaka jadi anak, apalagi kamu anak yang cantik dan pintar di kampus hijau ini, cantik mu juara lo.”

“Eh sebentar-sebentar!, Nur kamu mau pergi kemana? Perasaanku kok jadi enggak enak ya.” Tiba-tiba si Guna, mahasiswi yang dari tadi duduk diantara Kiki dan Sulistiyo itu pun menyela pembicaraan.

“Mungkin dia pergi mencari pak Imran.” kata Kiki menjawab.

“Bajingan, bangsat! Dasar tengik! Enak sekali lidah kejimu itu memintaku menerima semua yang dilakukan mamaku. Mana mungkin hal semacam itu bisa dibenarkan dalam hukum manapun di dunia ini, bener-bener bajingan kamu ya. Lah kalau mau begitu, mending mereka cerai dululah, masak iya mamaku nanti poliandri? Lagian mamaku kan bukan Drupadi yang konon katanya punya lima suami. Kok aku jadi heran begini sama kalian, sejak kapan kalian memiliki pemikiran seliberal ini.” Bulan menghardik Kiki dan Sulistyo. Matanya tajam setajam umpatan yang dilontarkan kepada mereka berdua.

“Kenapa Nur tiba-tiba pergi ya? Apa jangan-jangan karena rumor itu ya? Masak sih kalian sama sekali tidak memerhatikan sikap si Nur sejak tadi?” Tanya si Guna menyela lagi.

“Matamu! Guna. Coba kamu jangan terus-terusan menyela dan mengalihkan pembicaraan yang tidak penting begitu. Aku kan belum selesai dengan mereka. Aku juga belum puas menghardik mereka. Lagipula, dalam hati kecilku ini, aku juga masih ingin menerima pernyataan-pernyataan yang sangat tidak masuk akal dari mulut si Sulistyo dan si Kiki bin kikilikitik ini.” Bulan kembali menghardik, wajahnya memerah lantaran si Guna menyela pembicaraan mereka yang mulai masuk dalam mode serius.

“Ah iya, woi, Nur hamil tiga bulan.” Tiba-tiba si Kiki kini ikut mengalihkan pembicaraan mereka.

“Tuhkan. Pantesan dari tadi pas pertama datang dia selalu tampak murung. Kabarnya dia juga sering terlihat mual dan hampir setiap hari muntah-muntah di kosnya, kasihan si Nur we, ndak habis pikir, padahal tadi malam kami ngobrol ngalor-ngidul soal type cowok idaman masing-masing lewat telephone. Sebelum akhirnya memberitahunya kalau hari ini kita diminta kumpul sama pak Imran.” Jelas Guna

“Oleh siapa?” Bulan akhirnya penasara dan bertanya.

“Entahlah, soalnya aku tidak diberi tahu siapa nama lelaki itu.” Jawab Kiki.

“Masak iya sih kamu diceritain? Si Nur? Maksudku, apa iya dia yang cerita kalau dia saat ini sedang hamil padamu?” Sulistyo pun ikut bertanya agak detail.

“Iya, Nur yang menceritakan semuanya padaku. Pada Sabtu pagi. Seminggu yang lalu. Dia sendiri yang mendatangi kosku tengah malam dan menceritakan semuanya padaku. Awalnya, aku kira dia hanya bercanda. Namun, setelah ia memperlihatkan tespect dengan dua garis merah sempurna. Barulah aku percaya kalau dia memang beneran hamil. Dia juga mengizinkanku kok meraba-raba perutnya. Kayak ada yang bergerak-gerak gitu di dalam perutnya. Dia bilang, kalau dia sudah sering melakukan itu bersama seorang lelaki saat mereka pergi kemah. Mereka biasa melakukannya di dalam tenda, sering juga di semak-semak katanya. Meski gaya terbatas dan lebih apes berakhir gatal-gatal. Tapi katanya, sensasinya itu malah terasa unik, penuh gairah, jauh lebih menantang dan yang terpenting murah-meriah katanya begitu. Aku sendiri benar-benar tak menyangka Nur yang polos dan lugu akan dapat melakukan itu semua. Maksudku, kita tahu sendiri kan, kalau dia itu seorang gadis dengan pakaian tertutup dari atas sampai bawah, kayak agamis-lah gitu ya. Yang barangkali, secara sepintas kita tidak akan mungkin bisa menuduhnya melakukan hal-hal yang tidak pantas meskipun hal-hal di luar kendali kita memang siapa yang bisa menebaknya kan ya. Tapi sekali lagi, bagiku ini kok rada aneh saja kedengarannya. Nur yang agamis itu kok bisa begitu ya?” Jelas Kiki panjang lebar.

“Sebagai teman dekatnya, teman satu kamarnya, yang paling se-frekuensi dengannya, maka akan kunyatakan bahwa pada hari ini aku sungguh benar-benar kecewa padanya, terlepas dari rumor ini benar atau tidaknya. Masak iya sih dia lebih dulu menceritakan semua yang dia lakukan di luar se-pengetahuan ku dan sekarang justeru mengatakan diri hamil padamu ketimbang aku. Tak mungkin. Aku tak mungkin mempercayai ceritamu begitu saja. Hey, aku ini teman satu kamarnya lo ya, dan lihat. Lihat payudara ku yang besar ini. Aku ini seorang perempuan, seharusnya aku yang pantas diceritakan terlebih dahulu. Intinya, aku tidak bisa terima kalau dia lebih memilih menceritakan kisahnya apalagi aibnya kepada seorang lelaki terlebih dahulu. Hilang harga diriku sebagai seorang perempuan kalau begini.” Tutur Guna sembari melampiaskan kekesalannya pada Nur.

“We, Guna. Listen to me. Tidak ada urusannya dia hamil dengan jenis kelaminmu. Fahami itu. Ini jelas urusannya hanya soal kepercayaan saja. Barangkali, Nur lebih memercayaiku menjaga rahasianya ketimbang kamu. Iya. Itu saja, sesimple itu.” Kiki menyanggah apa yang dikatakan Guna.

“Nah, iya sih betul itu, aku juga setuju dengan yang dikatakan bang Kiki tadi. Ini jelas tak ada kaitannya dengan jenis kelaminmu itu.” Tegas Sulistyo mendukung Kiki

“Ssssst, Sudah-sudah! Dia datang lagi tuh.” Bulan menyela.

“Sudah dari mana?” Tanya Bulan kepada Nur yang kembali datang menghampiri mereka sambil membawa gambar buah nanas.

Abis gambar nanas. Lihat nanasnya mirip kepala Marco kan ya?” Jawab Nur sambil memperlihatkan gambar buah nanas yang dikatakan mirip kepala Marco. Secara Marco merupakan salah satu tokoh favoritnya di serial anime one piece.

“Kamu beneran hamil ya, Nur?” Tanya Guna sambil menatap dan mencoba meraba perutnya yang agak buncit sedikit itu.

“Iya, aku hamil tiga bulan, tapi lusa akan aku gugurin karena semalam lelaki yang menghamiliku itu mengatakan lewat telephone kalau dia tidak mau tanggung jawab.” Ucap Nur santai.

“Eh, Bulan. Dengar. Papa mu kan punya banyak harta warisan kan ya, setahuku kamu juga kan kamu ini anak semata wayang. Kalau papa mu nanti meninggal dunia, berarti semua hartanya nanti buat kamu dong. Beuh auto kaya raya dong kamu ya?” Sulistyo tiba-tiba mengalihkan pertanyaan kepada si Bulan yang tampak ikut memerhatikan perut si Nur.

“Aku sendiri heran, kenapa orang-orang yang sangat dekat sekalipun bisa tidak saling percaya ya?” Bulan melempar pertanyaan sambil terus menatap perutnya si Nur.

“Eh Nur, kok kamu tega banget sih. Kamu hamil di luar nikah begini dan memilih tidak bilang-bilang padaku? Kamu anggap apa aku selama ini? Aku ini kan sahabatmu, teman satu kamarmu juga. Kenapa bukan aku orang pertama yang kamu kasih tahu prihal masalahmu lebih-lebih perihal kehamilanmu ini? Bukankah aib mu ini bisa kamu dititipkan padaku, agar aku bisa menyimpannya dengan baik. Menjadikannya senjata jika sewaktu-waktu kamu berkhianat dan membenciku. Kenapa Nur? kenapa?” Tanya Guna memasang wajah kesal padanya.

“Oke, aku mulai dari kamu dulu deh kalau begitu. Sulistyo, nanti kamu bisa memanggil ku mama ya. Setelah sah. Eh, tapi kamu mau gak? Soalnya aku sedang mengandung anak dari bapak mu lo ini.” Tiba-tiba Nur membuat mereka kaget kecuali Sulistyo yang tampak santai.

“Hah, Jadi lelaki yang di maksud Kiki tadi bapaknya Sulistyo?” Tanya si Guna.

“Apa! Kamu dihamili bapaknya Sulistyo?” Bulan juga menanyakan hal yang sama.

“Maksudmu, apakah aku nanti juga bisa meminta tidur denganmu bila bapakku sedang tidak berada di rumah? Dulu sewaktu masih ada mama, aku biasanya juga sering tidur dengannya.” Sulistyo mencoba memberikan umpan balik.

“Lo iya sih. Kenapa tidak, kapan dan di mana pun kamu mau akan aku temani. Kan kamu nanti akan jadi anak tiriku.” Jawab Nur lagi lagi dengan nada santainya.

“Tapi Nur, Ibunya Sulistyo kan masih menjadi istri yang sah?” Tanya Bulan.

“Rencana ku sudah matang sempurna kok tenang saja. Jadi, aku akan berusaha memfitnah-ibunya mati-matian, agar ia segera diceraikan. Eh enggak, yang instan saja deh skenarionya. Aku menginginkan mamanya Sulistyo ini nantinya dibunuh saja. Tapi cara matinya mau aku dramatisir sedikit. Bisalah dengan sedikit lebih keji dan sadis gitu cara matinya. Kematian yang seperti itu, selain bisa menambah efek ngeri dan menjijikkan untuk dilihat. Klimaks atas drama kematiannya juga bisa terkesan lebih epic saja jika dimuat di media massa. Misalnya nih ya, nanti kedua matanya dicongkel pakai obeng bekas berkarat, lengan dan kakinya dipatah patahin dulu kemudian digergaji, nanti dari atas kepala sampai ke badannya disirami dengan timah panas biar sekalian meleleh. Itu tuh, kemaluannya mesti ditusuk pakai linggis yang sudah dipanasi dulu kek gitu dan yang terakhir lidah yang sudah dipotong potong kecil-kecil dan kedua bola matanya itu dikasih makan si Sulistyo ini. Gimana? Scenario kematiannya yang tadi aku bikin agak lama, agar rasa sakitnya juga lebih lama bersemayam dihatinya. Termasuk dihati orang-orang yang suka berbicara sembarangan tanpa pikir panjang macam mereka ini. Tutur Nur sambil melempar senyum sinis ke arah Guna, Sulistyo dan Kiki.

“Eh, sebentar, Bulan. Apa Ibumu beneran pergi meninggalkan papa mu yang lagi sekarat di rumah?” Tanya Sulistyo dengah wajah yang mulai sedikit pucat.

“Hahahaha enggaklah, mana ada, orang Ibu-bapak ku baik-baik saja kok di rumah, aku tadi itu cuma bercanda doang. Jadi tiba-tiba saja aku tadi itu ada rencana mau menulis cerpen yang temanya drama keluarga gitu, eh malah kamu tanggapi begitu seriusnya. Nih cerpennya malah sudah jadi.” Jawab Bulan sambil tertawa terbahak-bahak dan merasa lega setelah menyelesaikan satu ide ceritanya.

“Mmm kalau kamu Nur, jadinya kamu ini beneran hamil apa gimana?” Tanya Guna sambil melirik ke arah Kiki dan Bulan.

Nur kemudian menatap Guna, matanya menatap tajam dengan bibir bagian kanan terangkat. Sementara itu, wajah Kiki dan Bulan juga ikut pucat menunggu jawaban Nur selanjutnya.

****