Cerpen Rifat Khan: Di Sebuah Kamar Hotel (ilustrasi: zan)
Cerpen Rifat Khan: Di Sebuah Kamar Hotel (ilustrasi: zan)

Dua lalat asyik bercengkerama di pucuk daun, gerimis tipis turun, dan langit begitu muram. Singkat saja, seekor lalat itu bunting dan melahirkan Dia. Dia adalah sosok perempuan, cantik jelita, punya bola mata seperti permata. Sendirian dan takjub pada segala yang ia lihat untuk pertama. Tiba-tiba sebuah pil raksasa melayang-layang di udara. Dia ternganga menatapnya. Pil raksasa itu perlahan turun dan membuka diri menjadi dua. Sebuah gelombang besar seakan menarik dia segera masuk ke sana. Pil raksasa tertutup. Kemudian terbang dan membawanya pada sebuah tempat. Dia kini sudah duduk pada sebuah singgasana, terpaku dan menatap semua yang ada di depan matanya; seorang perempuan tengah disiksa, dipukul dan dipalu. Seorang perempuan lain juga sedang ditusuk dengan besi panas, perempuan satunya lagi tengah dijahit bibirnya dengan jarum yang tampak menyala-nyala. Mata dan hatinya perih menyaksikan semua itu.

Dia memberanikan diri bertanya, entah pada siapa. Tempat apakah ini?

Belum ada yang menjawab pertanyaannya, dia terbangun dari tidurnya. Hanya sebuah mimpi, pikirnya. Tapi ini mimpi yang begitu aneh. Pertanyaan kedua yang muncul di hatinya, “Kenapa tak ada lelaki di tempat itu?” Belum sempat dia memikirkan jawaban dari pertanyaan itu, dia tersadar, jam kerja sudah menunggunya. Dia buru-buru ke kamar mandi segera membersihkan diri. Sehabis itu, di depan lemari, dia sejenak terdiam. Mula-mula dia ingin mengambil rok pendek, tapi dia teringat kejadian lalu, beberapa lelaki yang mabuk di gang menggodanya, “Wih pahanya mulus” Ada juga yang bilang, “Kencan yuk semalam!” Dia mendumel dalam hati.

Dia benci lelaki mabuk, tapi dia lebih benci lagi dengan Randuse. Randuse adalah suami kakaknya. Kakaknya bernama Sumini. Sumini lebih dewasa dua tahun darinya. Wajah Sumini cantik, punya bola mata seperti permata. Sumini dan Randuse menikah dua tahun lalu, dan belum punya anak. Rumah tangga mereka awalnya baik-baik saja. Sampai pada sebuah peristiwa terjadi : Saat Randuse kerja, Sumini ingin membeli eskrim ke Alfamart. Ia memutuskan untuk pergi sendiri. Tapi sial, masih jam sepuluh malam, dua lelaki mabuk ia temukan di gang. Dua lelaki itu menggoda Sumini, bahkan sampai mengejar. Sumini ketakutan dan memilih pulang. Kejadian itu ia ceritakan pada suaminya. Bukannya membela Sumini, Randuse malah memarahi Sumini habis-habisan.

“Kalau keluar rumah, bahkan satu inci saja, seorang istri harus izin sama suami!” Ucapannya keras dan melukai hati Sumini. Tapi Sumini menaruh rasa sabar lebih besar di dadanya.

Randuse kembali bilang, “Itu sudah akibatnya, gak izin ke suami, ya kualat”. Sejak itu, Sumini tiap kali ada keperluan apa-apa selalu memberi tahu Randuse. Bahkan hanya untuk sekedar mengangkat jemuran di halaman.

Kejadian selanjutnya; Sumini sering ketiduran saat suaminya pulang kerja. Randuse memang pulang selalu larut dan Sumini tak selalu bisa menunggu dan menyambutnya. Itu membuatnya marah, “Kalau suami pulang, ya sambut lah. Ini malah asyik tidur. Istri macam apa kalau begini!!” Sumini lagi-lagi meninggikan volume sabar di dadanya. Sering juga ia makan duluan sebab lapar dan tak bisa menunggu Randuse pulang untuk makan bersama. Randuse juga marah-marah.

“Perempuan kok begini? Suami lelah cari uang, malah gak ditemani makan” Sumini mengelus dadanya. Rasa sabar di dadanya mulai rapuh, namun ia coba kuatkan lagi. Sejak itu, selapar apapun, sengantuk apapun, ia akan duduk di sofa, menunggu kepulangan Randuse dan memasang senyum paling manis. Tapi toh, beberapa bulan kemudian, keadaan semakin memburuk. Dengan gagah, Randuse bilang, ia ingin poligami. Ada perempuan lain yang membuat tidurnya tak nyenyak, yang membuat hatinya kembali berbunga dan ia benar jatuh cinta.

“Perempuan menampung banyak pahala jika mengizinkan suaminya menikah lagi, asal ikhlas” Ucap Randuse, di sela tangisan Sumini. Sumini semakin terisak. Dadanya terasa berat. Sumini pun memilih pergi, dan menyerahkan gugatan cerainya ke pengadilan.

***

Dia sedih mengingat semua masalah kakaknya itu. Rok pendek itu ia lepas, rok yang merupakan pemberian Sumini. Dia memilih memakai baju gamis dan berjilbab. Penampilan yang berbeda selama dia bekerja. Di dalam bis, perjalanan ke tempat kerja memakan waktu 35 menit. Biasanya, dia akan memasang headset di telinga, melihat pemandangan dari jendela. Tapi angin terlalu lihai membawa harum tubuh seorang lelaki yang duduk di depannya. Harum melati. Ini kali kedua dia mencium aroma itu dari lelaki yang sama; lelaki berkulit putih yang mengenakan mantel. Hidung lelaki itu agak mancung, dan entah kenapa dia ingin tinggal selamanya di sana. Apalagi, kalau dia melihat bola mata lelaki itu, dia sangat ingin memilikinya. Tapi dia sadar, dia hanya perempuan dan hanya pekerja di sebuah toko bunga sederhana.

Dia turun di simpang tiga, sedangkan lelaki bermantel itu masih melanjutkan perjalanan. Di toko bunga, teman kerjanya terlihat heran melihat penampilannya hari itu. Bahkan bosnya yang keturunan Cina mendekat dan bilang padanya, “Apa nanti pelanggan gak kabur kalau penampilanmu begini?” Dia hanya senyum tak menjawab apa-apa. Di toko bunga, semua berjalan seperti biasa, ada satu dua bunga terjual dan malam sudah datang, dia harus segera pulang. Perjalanan 35 menit lagi akan dia lalui, dan tepat malam minggu, pemuda di gang adalah masalah terbesar.

Turun dari bis, dia berjalan pelan, melewati perempatan dan menyusuri gang. Empat orang pemuda sedang mabuk dan bergitar. Dia mencoba berjalan sopan, mengambil HP di tas dan berpura menelepon untuk menenangkan diri. Saat sudah dekat, seorang pemuda berseloroh, “Meskipun gamis-an, pinggul mbak masih telihat bohai. Mau dong!”

Dia mempercepat langkah, seorang lain beranjak mendekatinya. “Jalan-jalan yuk mbak, menikmati dunia” Bau tuak menyeruak dari mulut pemuda itu. Dia semakin mempercepat langkah. Pemuda tadi nekat menyentil pinggangnya. Dia ketakutan, tapi untung, pemuda tadi memilih mundur kembali ke kelompoknya.

***

Di kamar, dia menghela napas panjang. Dia melepas baju gamis tadi, tubuhnya sedikit berkeringat. Dia mengumpat dalam hati. Dia pun sempat berpikir, apa dia harus bercadar agar lelaki-lelaki mabuk tadi tak lagi menggoda. Agar mereka takut, dan menduga-duga kalau dia membawa bom. Hmmm, tidak mungkin, pikirnya. Pasti akan tetap mereka goda. “Ini bukan masalah penampilan” Pikirnya lagi. Dia mengumpat sekali lagi. Rasa bencinya semakin bertambah pada lelaki yang mabuk, namun rasa cinta dan rindunya semakin menggebu pada lelaki bermantel dan beraroma melati itu. Dia sangat ingin mengenalnya, atau bila perlu, dia sangat ingin bilang, “Hai, aku Hana, maukah kau jadi kekasihku?” Kemudian di khayalannnya, lelaki itu akan tersenyum dan langsung memeluknya.

Namun itu tak akan mungkin terjadi. Dia hanya perempuan, pikirnya, dan tak akan mungkin memulai lebih dulu. “Bukankah ada emansipasi?” Tanya hatinya yang sebelah kiri. “Emansipasi matamu!” Jawab hatinya yang sebelah kanan. “Ini masalah lain, cuk!” Ucap jantungnya sembari berdenyut. Pusing kepalanya, dia ingin meremas rambutnya, tapi tak jadi. Tapi besok dia harus kerja, harus, tak ada kata tak jadi, jam tujuh dia harus sudah berada di bis. Sebuah keberuntungan jika dia menemukan lagi bis yang sama, yang selalu ditumpangi lelaki itu.

***

Semesta kembali mendukung, dia berada di bis yang sama dengan lelaki itu. Persis di sebelahnya. Dia mencoba menahan gugup, bahunya bersentuhan dengan bahu lelaki itu. Dia mengambil headset dari dalam tas, mencoba mencolokkannya ke HP. Tapi sial, headset terjatuh. Tangannya sigap hendak mengambil headset tadi, tangan lelaki itu lebih sigap hendak mengambilnya juga. Tangan mereka bersentuhan, tatapan mereka beradu, bis saat itu memutar lagi romantis. Persis sebuah adegan sinetron, adegan slowmotion terjadi. Pandangan mereka masih beradu, lelaki itu memberi senyum. Dia gemetar, jantungnya berdetak jauh lebih kencang. Sejak itu, obrolan terjadi antara dia dan lelaki itu. Obrolan sederhana tentang apa saja; tentang awan yang selalu berarak, tentang pekerjaan yang membuat hidup terasa sia-sia, atau tentang bis yang tak pernah bosan berjalan sepanjang waktu. Mereka pun bertukar kontak WA dan saling memberi tahu akun FB. Dia girang bukan main, di dalam kamar dia menjerit senang. Melihat dirinya di cermin dan meyakinkan dirinya bahwa dia memang cantik dan mampu membuat lelaki itu memikirkannya. Kadang dia berkhayal, bisa duduk berdua dengan lelaki itu di dalam pil raksasa dan berkeliling dunia, seperti di dalam mimpinya, selamanya.

Dia putuskan mengutak-atik HP, membuka aplikasi FB dan mencari akun lelaki itu. Ketemu, foto profilnya menggunakan mantel, tampan dan menggemaskan. Dia ingin memulai obrolan lewat mesengger, tapi tak jadi. Dia kemudian menekan tombol like di beberapa postingan lelaki itu. Hampir 20 postingan dia tanggapi dengan super. Selang beberapa menit, sebuah pesan datang dari lelaki itu. Dia deg-degan, jantungnya serasa ingin keluar sebentar.

“Mau chat-kan? Tapi malu, makanya sengaja like semua postingan” Bunyi pesan lelaki itu. Dia senyum-senyum sendiri.

Dia pun membalas, “Nggak juga, hanya kebetulan suka saja dengan postinganmu” Dia memang suka, lelaki itu sering membuat status dengan mengutip puisi ataupun tulisan orang-orang ternama, seperti puisi Sapardi, Kahlil, atau pun kutipan penulis-penulis dunia lainnya. Dia merenung menunggu balasan lelaki itu. Dia sangat ingin menulis chat kalau dia sangat ingin mengajak lelaki itu duduk menikmati kopi di Classic Coffee. Sebuah kedai sederhana yang tak jauh dari tempat kerjanya. Kata orang, di sana, kita bisa melihat bintang jatuh yang selalu muncul setiap malam.

Balasan lelaki itu pun datang ; “Oh, suka juga ya sama kutipan-kutipan itu? Ehm, besok malam, sepulang kamu kerja, mau kan kalau kita ketemu dan ngobrol sambil minum kopi di Classic Coffee?”

Tubuhnya serasa melayang, apa yang dia inginkan juga diinginkan lelaki itu. Untungnya, bukan dia yang mengajak lebih dulu. Dengan cepat, dia pun membalas, “Mau, sangat Mau”.

***

Classic Coffee memutar lagu Bonjovi malam itu. Dia sudah duduk berdua dengan lelaki itu. Aroma melati tercium kuat. Seorang pelayan membawakan dua cangkir kopi. Pembicaraan ringan tentang pekerjaan di mulai. Datar dan agak bertele-tele. Sebenarnya, dia sangat ingin menanyakan satu hal, apakah lelaki itu punya kekasih. Tapi dia tak punya keberanian. Lelaki itu malah bercerita panjang lebar tentang film Before Sunset. Film yang juga hampir sepuluh kali dia pernah tonton. Tapi dia menikmati setiap kali lelaki itu bicara, dia menikmati ketika memandang bibir lelaki itu yang tampak sedikit basah. Tanpa dia sadari, tubuhnya sendiri semakin basah oleh cinta kepada lelaki itu.

Sepulangnya, di kamar, dia merasa tubuhnya mengambang jauh. Dia benar-benar yakin bahwa dia memang sungguh mencintai lelaki itu. Bukan sekedar perasaan suka. Lelaki itu berhasil memenuhi pikirannya. Dia akhirnya bisa tertidur pulas dan bangun dengan wajah tersenyum. Hari-harinya terasa berwarna, bukan sekedar hanya duduk berdampingan di bis, dia dan lelaki itu lebih sering bertemu; minum kopi bersama, nonton film di bioskop, bahkan sesekali ke pasar malam dan makan bakso di simpang empat. Dia menikmati semua itu. Sangat menikmatinya.

Sampai pada sore Rabu yang cerah, harum melati menyeruak ke penciumannya. Dia sedang menata bunga dan lelaki itu datang ke toko untuk pertama kalinya.

“Hai, aku ingin beli satu bunga”

“Untuk?”

“Untuk orang spesial. Kira-kira bunga yang mana?”

Hatinya sedikit mekar, apa mungkin lelaki itu akan memberinya kejutan sebab jam 12 malam nanti tepat hari lahirnya. Apakah lelaki itu iseng mencari tahu tanggal lahirnya yang memang dia pajang di profil FB. “Hai, kenapa diam? Kalau gini servisnya, pelanggan bisa kabur” Ucap lelaki itu sedikit bercanda.

“Hmmm. Ini saja” Katanya, setelah mengambil satu bunga berwarna putih yang sangat indah. “Oke. Aku ambil” Ucap lelaki itu.

***

Jam 12 malam, di kamar, dia terus memiliki harapan kalau lelaki itu akan datang. Mungkin tiba-tiba mengetuk pintu dan memberinya kejutan. Atau sekedar menelpon dan mengucapkan selamat ulang tahun. Tapi tak ada. HP-nya belum juga berbunyi dan pintu kamar belum juga terketuk. Sudah jam 12 lewat 15 menit, tak terjadi apa-apa. Dia tiba-tiba murung dan mulai berpikir, apakah lelaki itu memang punya kekasih. Jangan-jangan dia sedang merayakan moment bahagia bersama seseorang di malam ini. Pikirannya tambah berkecamuk, dia mulai menduga-duga, jangan-jangan, apa yang dia lalui dengan lelaki itu selama ini hanya perkara urusan pertemanan. Bukankah dua orang teman sangat normal menghabiskan waktu sekedar ngobrol di kedai kopi, atau sekedar nonton bareng di bioskop, atau pun sekedar makan bakso bersama. Dia ingin berteriak, tapi dia sadar jam sudah larut. Akhirnya HP-nya berdering. Bukan panggilan dari lelaki itu, tapi panggilan dari Sumini. Panggilan dia terima.

“Hai cantik, selamat ulang tahun ya. Eh, aku lupa ngasi kabar, aku resmi menyandang status janda hari ini. Ha ha ha” Ucap Sumini tanpa aba-aba. Dia bingung hendak menjawab apa pada Sumini. Apakah dia harus ikut berduka atas perceraian itu, atau dia harus bahagia sebab pilihan Sumini dikabulkan di pengadilan. Entahlah. Tapi dia jelas tahu, tertawa Sumini di akhir tadi bukan dalam artian tertawa sebenarnya.

Ehm, terus apa rencanamu selanjutnya?” Dia lebih memilih menanyakan itu.

“Rencana? Ehm, Aku akan ke Suriah”

“Suriah? Mau apa di sana?”

“Mau belajar merakit bom” Jawab Sumini, diakhiri dengan tertawa.

Panggilan tiba-tiba terputus. Entah karena sinyal atau memang sengaja dimatikan. Dia kembali menghela napas lumayan panjang. Pikirannya kembali ke lelaki itu. Dia iseng membuka Fb dan dia temukan di beranda, lelaki itu memposting foto ibunya. Ibunya sedang memegang bunga yang dibelinya tadi sore. Caption-nya sederhana; Selamat Ulang Tahun Ibu.

Pikirannya kembali tenang. Paginya dia kembali bekerja dengan riang, menata bunga, menunggu pelanggan yang datang. Hingga sebuah pesan WA masuk dari lelaki itu.

“Semoga harimu menyenangkan. Nanti malam, sepulang kerja, aku tunggu di Classic Coffee. Banyak hal ingin aku bicarakan. Datang secantik mungkin ya”.

Dia kembali melayang, pelanggan yang satu pun belum datang tak lagi menjadi beban pikirannya. Dia tak sabar mununggu jam pulang. Dia akan bertemu dengan lelaki itu, lelaki yang berulang membuatnya jatuh cinta. Dia pun berdandan sebelum pulang dan langsung menuju Classic Coffee.

Dia temukan lelaki itu sudah duduk menunggu. Dua cangkir kopi sudah tersedia di atas meja. Dia pun duduk di samping lelaki itu. Tanpa basa-basi, lelaki itu membuka obrolan.

“Banyak rahasia dalam hidup ini, Han. Baik itu rahasiaku atau pun rahasiamu. Apa yang aku tahu tentangmu, mungkin hanya sekian persen dari segala yang kau alami. Entah itu tentang pekerjaan atau pun tentang kehidupan keluargamu. Hanya sedikit hal yang aku tahu, tentang kamu yang dulu mengenakan rok pendek dan sekarang mengenakan pakaian tertutup. Mungkin juga tentang aku, yang gemar memakai mantel dan parfum yang memiliki aroma melati.”

Dia belum sepenuhnya mengerti apa yang dibicarakan lelaki itu. “Maaf, ini bukan cerita tentang film kan?” Dia berusaha menanggapi di tengah kebingungannya.

“Bukan. Ini tentang aku dan kamu. Jujur, banyak hal aku tutupi. Tapi memang bukan berniat berbohong atau apa. Karena memang kamu tak pernah mempertanyakan juga. Aku sudah menikah, Han. Aku sudah punya istri. Istri yang sangat cantik”

Dia merasakan satu gelombang menghantam dadanya. Matanya berkaca, airnya ingin tumpah, namun dia tahan. Dia mencoba menyeruput cangkir kopi di depannya. Terasa pahit dan menyesakkan.

Lelaki itu kembali bicara, “Istriku memang cantik, patuh dan sangat mencintaiku. Ia menghargaiku, mau kemana saja, bahkan hanya sekedar untuk mengangkat jemuran, ia akan meminta izin dahulu. Ia selalu rela menunggu kepulanganku, sengantuk apapun, bahkan selapar apapun ia selalu menunggu untuk makan malam bersamaku. Ia sangat mencintaiku, Han”.

Dia masih diam. Akhirnya dia beranikan diri bicara, “Sudah selesai ceritanya? Aku boleh pulang duluan kan?”

Lelaki itu terdiam. Dia pun terdiam sejenak. Lalu dia merapikan tas dan beranjak untuk pulang. Kakinya terasa tak menyentuh lantai. Ia berjalan dan tak berniat menoleh lagi ke belakang. Hingga dia sampai pada pintu kedai, lelaki itu ternyata mengejarnya. Langit begitu muram di malam itu. Lelaki itu menggenggam tangannya dan berdiri tepat di depannya.

“Apa yang membuatmu risau, Han? Bukankah kita sudah terbiasa berdua. Melewati segalanya. Saat duduk di kedai, orang-orang lalu lalang. Apakah kita peduli? Gak kan? Kita tak peduli. Saat makan bakso bersama, sepasang kekasih bertengkar di samping kita, apakah kita peduli? Gak juga kan. Malah kita hanya tertawa. Di dalam bis, kita asyik berbagi headset mendengarkan lagu yang sama. Apakah kita peduli ada penumpang lain yang sibuk menelepon dan sebagainya. Tidak, Han. Kita tak peduli semua itu. Sekali lagi, ini hanya tentang kita. Tentang kita”

Dia meraskan angin bertiup sedikit lembut di dadanya. Dia coba mengangkat wajah dan memandang lekat ke lelaki itu. Hidungnya yang agak mancung, bola mata yang masih sama di mana dia ingin tinggal selamanya di sana. Genggaman tangan lelaki itu terlepas, tangan itu beranjak naik mengelus rambutnya dengan pelan. Dia merasakan sentuhan itu dan memejamkan mata sebentar.

Lelaki itu kembali bicara, “Han, perpisahan semacam ini tak baik. Apa hanya karena kejujuran kau akan menjauh dan mengakhiri segalanya. Banyak cerita yang masih perlu kita bagi. Ikutlah denganku malam ini. Di ujung sana, ada sebuah hotel sederhana. Kita perlu duduk berdua dan meluapkan apa saja yang ada di kepala kita. Aku tahu, kau mencintaiku. Matamu tak mampu menyangkal itu. Ikutlah denganku”

Dia benar-benar mematung, seolah tak berdaya untuk sekedar menolak. Lelaki itu berbalik, menggenggam tangannya lagi dan melangkah pelan. Bersama. Sampai di hotel, lelaki itu memesan sebuah kamar sederhana di hotel yang memang sederhana. Di dalam kamar, lampu remang-remang. Mereka duduk berdua di tepi ranjang. Kemudian lelaki itu beranjak dan mematikan lampu. Kamar hotel benar-benar gelap. Tak ada yang tahu apa yang terjadi setelah itu. Bahkan aku sendiri, sebagai penulis cerita ini, pun tak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Hanya mereka yang tahu. Hanya mereka berdua.

***

Majidi, 2023.