Sejak 6 Agustus 2025, rakyat Sembalun semakin sulit mengakses BBM bersubsidi.
SELASWARA — Kebijakan Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Kabupaten Lombok Timur mengenai penerbitan surat rekomendasi pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi menimbulkan persoalan baru bagi masyarakat Sembalun.
Kebijakan ini merujuk pada Peraturan BPH Migas Nomor 02 Tahun 2023 dan berlaku sejak 6 Agustus 2025, dengan instruksi yang ditujukan kepada seluruh kepala desa/lurah.
Hanya dalam sepekan, dampak kebijakan tersebut sudah terasa. Mayoritas warga Kecamatan Sembalun kesulitan memperoleh BBM bersubsidi jenis Pertalite. Penjual eceran yang sebelumnya berjualan di tepi jalan kini tidak lagi bisa beroperasi.
Akibatnya, beban keuangan masyarakat bertambah, terutama untuk menunjang aktivitas harian seperti mengangkut hasil pertanian dan menjalankan usaha kecil lainnya.
Para penjual eceran pun terhimpit. Mereka tidak bisa lagi menjual Pertalite karena tidak masuk kategori Usaha Mikro yang berhak mendapat rekomendasi. Syarat tambahan berupa kepemilikan mesin untuk membuat barcode pun tak mampu mereka penuhi.
Seorang pedagang di Sembalun menyebut, “Kami tidak punya mesin untuk membuat barcode. Akhirnya hanya bisa menjual Pertamax.” Harga Pertamax yang mereka jual mencapai Rp15.000 per liter, jauh lebih mahal bagi masyarakat pedesaan.
Kondisi ini kian pelik mengingat jarak dari pusat Kecamatan Sembalun ke SPBU Pertamina terdekat sekitar 33 km. Letak geografis yang terisolasi seharusnya menjadi pertimbangan dalam kebijakan distribusi BBM.
Alih-alih membantu, kebijakan baru BBM justru menambah beban rakyat Sembalun.
Alih-alih membantu, pemerintah justru mempersempit akses masyarakat terhadap kebutuhan dasar. Masyarakat seperti dipaksa beralih ke BBM nonsubsidi dengan harga tinggi.
Kenaikan biaya ini berpotensi meluas ke sektor lain, mulai dari naiknya ongkos angkut hingga harga jual-beli barang. Pada akhirnya, rakyatlah yang kembali menanggung beban.
Kebijakan ini memperlihatkan kelemahan tata kelola subsidi BBM secara nasional. Dari kota besar hingga pelosok desa, pemerintah terlihat abai pada suara rakyat. Seperti gelombang protes di Pati, Bone, dan berbagai daerah lain terhadap pajak PBB maupun kebijakan lain yang dianggap arogan, kini rakyat Sembalun pun ikut merasakan ketidakadilan serupa.
Namun, alih-alih mendengar, pemerintah justru sibuk dengan agenda seremonial. Rakyat melihat wajah negara yang kian arogan, menutup telinga, bahkan represif. Korban pun terus berjatuhan di berbagai daerah.
Kami, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Anak Cabang Sembalun sebagai perwakilan petani dan masyarakat Sembalun, menyatakan tuntutan:
- Evaluasi segera surat rekomendasi pembelian BBM subsidi yang diterbitkan Dinas Koperasi dan UKM Lombok Timur berdasarkan Peraturan BPH Migas Nomor 02 Tahun 2023, serta aturan lain yang mempersulit rakyat.
- Permudah proses pengurusan rekomendasi dan hapus syarat yang memberatkan, seperti kewajiban memiliki mesin untuk barcode, karena mayoritas penjual eceran tidak mampu memenuhinya.
- Pemerintah daerah wajib menyediakan solusi alternatif untuk memastikan ketersediaan BBM bersubsidi di Sembalun, misalnya melalui distribusi khusus atau penunjukan agen resmi yang mudah dijangkau masyarakat.