Search
Close this search box.
Search
Close this search box.

Bagaimana Jika Udara Memeluk Sekaligus Menusuk?

“Seharusnya Malam Ini Tidak Ada Pemberhentian”

Tepat di antara dinginnya udara yang riuh oleh kesibukan kota

Aku adalah pejalan kaki yang disesatkan oleh lampu-lampu tepi jalan

Aku adalah pejalan kaki yang digelincirkan oleh kerikil-kerikil tepi jalan

Aku adalah pejalan kaki yang dihujani oleh pohon-pohon tepi jalan

/

Tepat di antara dinginnya udara yang riuh oleh kesibukan kota

Bagaimanapun juga, aku telah melewati batas kecemasan yang menghiasi jalan

Bagaimanapun juga, aku telah melewati batas tumpukan yang mengotori jalan

Bagaimanapun juga, aku telah melewati batas genangan yang membanjiri jalan

/

Tepat di antara dinginnya udara yang riuh oleh kesibukan kota

Ada baiknya aku berhenti untuk mengumpat di hadapannya

Ada baiknya aku berhenti untuk menangis di hadapannya

Ada baiknya aku berhenti untuk berdoa di hadapannya

/

Tepat di antara dinginnya udara yang riuh oleh kesibukan kota

Aku bepergian demi menyampaikan pesan-pesan keadilan

Aku bepergian demi mengibarkan panji-panji keadilan

Aku bepergian demi melantunkan ayat-ayat keadilan

– Malang, 2024

“Sekarang, selanjutnya bagaimana?”

Dia sudah tenggelam

Meninggalkan kepingan-kepingan keindahan

Pergi dengan pelan

Tanpa sepatah kata yang terlontah dari kilaunya

/

Dan lautan tetap saja bergelombang

Menggemuruh pada kayu yang mengapung di pundak

Bertahan dengan keriuhan

Tanpa pamrih mengejawantahkan  kelembutan air

– Surabaya, 2024

“Kesimpulan”

Selepas itu

Bagaimana jika udara daratan dan lautan

Tidak lagi bersebrangan

Dan aku masih dalam perjalanan

Belum rampung semua

Bahkan sesederhana mempersiapkan

Perjamuan sehabis pemujaan

Sebelum itu

Dengan cekatan aku hindari

Semua beling yang bercecar

Meski begitu aku juga belum sampai

Kecuali pada pengisian air

Kuali-kuali yang tidak lama lagi

Pecah, lalu melebur pada tanah

Pringgasela, 2024