Di tengah riuh rendah orasi, teriakan lantang seorang aktor terkenal memecah kebisuan yang selama ini menghantui demokrasi kita. Reza Rahadian, dengan penuh emosi, berdiri di depan ribuan massa, menggenggam mikrofon seolah memegang kendali atas amarah kolektif bangsa ini.
“Ini bukan negara milik keluarga tertentu,” katanya, menggugah kesadaran kita tentang sebuah ancaman yang semakin nyata: demokrasi yang mulai diperdagangkan oleh mereka yang berkuasa.
Kita hidup di zaman di mana kata ‘demokrasi’ semakin kehilangan maknanya, dikebiri oleh kekuatan-kekuatan yang lebih mementingkan kekuasaan daripada keadilan. Revisi UU Pilkada yang diinisiasi oleh DPR menjadi bukti nyata bagaimana aturan main dapat diubah sesuai keinginan penguasa, terutama bagi mereka yang memiliki kepentingan pribadi atau dinasti politik.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang sejatinya melindungi esensi demokrasi, dianulir dalam hitungan hari oleh mereka yang seharusnya menjadi representasi suara rakyat. Pertanyaannya, suara siapa yang sebenarnya mereka wakili?
Pilkada seharusnya menjadi panggung bagi mereka yang berjuang demi kesejahteraan rakyat, bukan sekadar alat bagi keluarga politik untuk memperkuat cengkeraman mereka di berbagai daerah. Namun, apa yang terjadi sekarang justru sebaliknya. Kita disuguhi parade calon kepala daerah yang tidak lain adalah kerabat dekat petahana.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia, sekitar 52% dari kepala daerah yang terpilih pada Pilkada 2020 memiliki hubungan keluarga dengan pejabat sebelumnya. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar tentang integritas proses demokrasi kita.
Ada ungkapan populer yang mengatakan, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Kita kini menyaksikan bagaimana kekuasaan absolut dalam lingkaran sempit keluarga politik merusak nilai-nilai demokrasi yang telah diperjuangkan dengan darah dan keringat oleh para pendahulu kita.
Revisi UU Pilkada yang digulirkan DPR adalah cerminan betapa mereka yang berkuasa tak lagi peduli pada aspirasi rakyat, melainkan hanya pada kelanggengan kekuasaan mereka sendiri.
Konsekuensi dari politik dinasti ini tidak hanya merusak tatanan demokrasi, tetapi juga menimbulkan dampak nyata bagi masyarakat. Beberapa studi menunjukkan bahwa daerah yang dipimpin oleh dinasti politik cenderung mengalami stagnasi dalam pembangunan dan korupsi yang lebih tinggi.
Ini karena pemimpin yang dipilih bukan berdasarkan kapasitas dan kompetensinya, melainkan hubungan darah dan kekuatan patronase. Masyarakat akhirnya menjadi korban, dengan kualitas pelayanan publik yang buruk dan akses terhadap keadilan yang semakin sulit.
Namun, perlawanan terhadap ketidakadilan ini bukanlah tanpa harapan. Gelombang protes yang menggema di berbagai kota di Indonesia menunjukkan bahwa rakyat masih memiliki suara, dan suara itu dapat mengguncang fondasi kekuasaan yang korup.
Dari Jakarta hingga Makassar, kita melihat bagaimana semangat demokrasi masih hidup dalam diri setiap warga yang turun ke jalan, meski harus berhadapan dengan represi aparat. Ini adalah bukti bahwa rakyat Indonesia masih peduli, dan mereka tidak akan diam saja melihat demokrasi dirampas dari tangan mereka.
Kita semua tahu bahwa perjuangan untuk mempertahankan demokrasi tidak pernah mudah. Sejarah mencatat, demokrasi sering kali dilahirkan dari konflik dan diujung tanduk oleh mereka yang merasa terancam oleh perubahan. Jika kita membiarkan UU Pilkada direvisi demi kepentingan segelintir orang, maka itu artinya kita sedang menggali kubur bagi demokrasi itu sendiri.
Lebih dari sekadar penolakan revisi UU Pilkada, protes yang ada merupakan seruan untuk mengembalikan demokrasi ke jalur yang benar. Ini adalah seruan untuk menolak politik dinasti yang hanya akan membawa kita kembali ke zaman di mana kekuasaan hanya dimiliki oleh segelintir orang, sementara yang lainnya hanya menjadi penonton.
Kita perlu lebih banyak kandidat independen dan aktivisme masyarakat sipil untuk menantang dominasi dinasti politik. Menggalang dukungan melalui pendidikan politik, meningkatkan partisipasi publik, dan mendorong transparansi dalam proses pemilihan adalah langkah-langkah yang harus kita tempuh.
Kita tidak boleh membiarkan negara ini menjadi milik keluarga tertentu; negara ini adalah milik kita semua. Demokrasi adalah milik rakyat, dan hanya rakyat yang berhak menentukan arah masa depan bangsa ini.
Sudah saatnya kita berdiri bersama dan mempertahankan apa yang seharusnya menjadi milik kita—sebuah demokrasi yang sejati, di mana setiap suara dihargai dan setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk memimpin. Gelap pasti tidak akan datang, jika kita percaya hari ini!