Seikat puisi yang berisi basa-basi yang tidak akan pernah basi. Sebuah dimensi yang hanya berwarna putih. Setiap diksi menjelma menjadi lautan yang begitu dalam, yang di dasarnya tergeletak semua ego, ambisi, dan ketidakberdayaan. Kemudian di antara terumbu karang, berenang bebas semua kata-kata mutiara. Silakan menyelam dan rasakan tekanan air itu meremuk tulang.
“Ketiadaan”
Ketiadaan, apa kau dengar suara bising di sini?
Di ujung batas rindu aku merindu
Dan kemudian di antara suara yang penuh bising
Tidak banyak yang bisa dilakukan selain menikmati candu
Sebab seperti yang kau tahu, aku bukan jalan yang lurus
Setiap persimpangan adalah aku
Setiap batu yang mengubah kelokan air adalah aku
Dan setiap tembok yang menahan angin adalah aku
Ketiadaan, apakah yang menetes itu air matamu?
“Maaf aku tidak berani memastikan, sebab hujan amat lebat” jawab Ketiadaan dengan lirih
“Tolong eratkan pelukan pada tubuhku yang bergemuruh” tambahnya ketika hujan semakin deras
Di kemudian hari nanti entah apa yang ada
Mengejar suatu hal yang abu-abu
Sebuah lencana yang berlari atau demikian menunggu
Semua pintu masuk telah tertutup rapat
Lalu kuncinya dikubur
Lengkap dengan batu nisan di atas pusara
Bertuliskan sajak-sajak pemulung
Terakhir, aku menabur mawar putih dan beberapa bunga dahlia hitam
– Malang, 2023
“Keheningan”
Maaf, malam begitu panjang
Semua di luar rencana
Upaya untuk tetap menyeimbangkan diri di jalan kehendak
Di antara duri yang menancap di setiap pijakan
Dan waktu yang perlahan habis penuh serapah
Pada semua air mata
Terlempar semua ketidakpantasan
Setiap luapan mata air yang menggenang di pipimu
Memantulkan cahaya penerang jalan
Pada garis perjalanan karakter
Di ruangan sebelah
Hiruk pikuk kesibukan tidak akan pernah hilang
Sebab di sanalah aku akan hidup
Di antara semua kematian dan kehidupan
Maaf jika itu mengganggu tengadahmu
Lalu pada jurang yang begitu curam
Yang berisi lautan kekhawatiran
Telah habis terbakar oleh lafaz-lafaz sujudmu
Karenanya aku mencintaimu
Pada setiap alur cerita yang membosankan dan menakjubkan
– Malang, 2023
“Riang”
Benarkah lengkingan teriakanmu
Adalah bentuk cinta
Yang belum bisa kamu utarakan
Kamu adalah bunga melati
Yang luput dari pelukan Ketiadaan
Dan setiap senyumanmu berlinang kerinduan Keheningan
– Malang, 2023
“Kehangatan”
Persimpangan, batu, tembok, dan labirin
Kemudian dirimu
Bagian dari saksi atas duri-duri yang menusuk jalanan
Dan juga air keabadian pelarut air mata yang menggaram
Malam panjang disini
Yang perlahan memudar
Pada ruang-ruang yang tidak tersenyum
Biarkan pelukanmu lulus disela ramainya serangan serapah
– Malang, 2023
Penulis : Ahmad Rijal Alwi, dari Desa Pringgasela, sekarang aktif di komunitas Pringgasela Literasi.